Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5 – Duel di Tikungan Maut

Suara mesin motor meraung di tengah gelapnya malam.

Asap tipis dari knalpot berbaur dengan hawa dingin di tikungan mati—jalanan yang sudah lama jadi tempat balap liar paling terkenal, sekaligus paling berbahaya.

Rey berdiri di samping motornya, helm digantung di lengan kiri. Wajahnya tenang, tapi aku tahu dari sorot matanya: dia siap untuk perang.

Di seberangnya, berdiri Guntur, mengenakan jaket hitam dengan emblem “RA” lama yang sudah pudar. Senyum sinisnya menempel di bibir sejak dia datang.

“Masih pakai motor lama?” tanya Guntur sambil menatap kuda besi Rey.

“Gak perlu ganti kalau yang ini masih bisa ngalahin lo,” balas Rey singkat.

Aku berdiri di sisi kanan Rey. Meski dia melarangku datang, aku tetap memaksa ikut. Ini bukan cuma duel Rey dan Guntur—ini soal harga diri kami berdua.

Guntur melirikku. “Gue heran lo milih dia, Leya. Dulu lo nggak pernah suka cowok pendiam.”

Aku tersenyum miring. “Dulu gue juga bodoh.”

Tawa sorak-sorai meledak dari para penonton balap yang mulai mengerumuni area. Semua orang tahu malam ini bukan sekadar adu kecepatan—ini duel kekuasaan.

---

Perjanjian

“Kalah—angkat kaki dari kota ini,” kata Guntur keras.

“Menang—lo jangan pernah sentuh atau sebut nama Leya lagi,” balas Rey.

Kami semua setuju.

Start-nya dari ujung jalan menurun, melewati tiga tikungan patah, dan finish di bawah jembatan tua.

Satu celah saja, dan pengendara bisa langsung terbang ke semak atau jurang kecil di sisi kanan.

Aku menggenggam jaket Rey sebelum dia naik motor.

“Lo yakin bisa?” bisikku.

Dia menatapku dalam. “Gue gak akan kalah. Bukan demi geng. Tapi demi lo.”

Deg. Hatiku berdetak cepat.

---

Lima... Empat... Tiga... Dua...

“SATU!!” teriak seorang penonton.

Dan kedua motor meluncur seperti peluru.

Sorak-sorai pecah. Cahaya lampu motor menyayat gelapnya malam. Suara knalpot memekakkan telinga, memantul di dinding-dinding bangunan tua.

Aku ikut berlari ke pinggir jalur tikungan untuk melihat lebih jelas.

Guntur unggul di awal. Motornya lebih ringan. Dia nyaris menutup jalur Rey di tikungan pertama.

Tapi Rey... dia bukan anak kemarin sore.

Di tikungan kedua, Rey memotong dengan gaya berani—melintasi tepi luar jalan dengan kecepatan tinggi, nyaris keluar dari lintasan.

Penonton berteriak histeris. Aku nyaris tak bisa bernapas.

“REY!!”

Dia berhasil kembali ke jalur. Guntur kaget dan mempercepat laju. Keduanya sejajar menuju tikungan terakhir. Tikungan tersulit. Tikungan maut.

Guntur nekat ambil sisi dalam. Tapi jalurnya terlalu sempit.

CRAKKK!!

Ban belakang motornya terseret ke kerikil. Tubuhnya goyah.

Dan...

BRAKK!!

Guntur tergelincir! Motornya terbalik dan terguling ke samping!

Orang-orang panik. Beberapa berlari ke arahnya.

Tapi motor Rey tetap melaju, mulus dan cepat. Dia melewati garis akhir tanpa goresan.

Aku menutup mulut. Antara lega dan terkejut.

Rey menang. Dia... menang.

---

Setelah Kemenangan

Beberapa menit kemudian, Rey berjalan ke arahku. Jaketnya sobek sedikit di bahu. Napasnya berat. Tapi matanya tetap fokus padaku.

“Lo nggak apa-apa?” tanyaku.

Dia mengangguk. “Gue menang.”

Aku memeluknya. Tanpa mikir. Tanpa malu.

Di depan semua orang. Di tengah jalanan. Aku peluk Rey seerat mungkin.

Dia kaget sejenak. Tapi kemudian membalas pelukanku.

“Sial... gue beneran takut tadi,” bisikku.

“Gue juga,” katanya sambil mengusap rambutku.

Kami berdiri lama seperti itu. Seolah dunia lain menghilang.

---

Dan Guntur?

Guntur tidak terluka parah. Tapi harga dirinya hancur.

Dia tidak bicara banyak saat dibantu bangkit oleh anak buahnya.

Tapi sebelum pergi, dia sempat melirik ke arah kami. Tatapannya menusuk. Tapi tidak sekuat dulu.

Dia tahu... dia sudah kalah. Bukan cuma di lintasan. Tapi juga di hatiku.

---

Malam itu, Rey bukan cuma jadi pemenang. Tapi jadi seseorang yang perlahan... mengisi ruang yang lama kosong di hatiku.

Dan aku mulai sadar...

Aku mulai jatuh cinta sama suamiku sendiri.

---

Tengah malam, di kamar kami yang remang, aku masih belum bisa tidur.

Rey keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah, pakai kaos hitam dan celana pendek. Dadanya naik turun pelan. Dia tampak... nyaman. Dan untuk pertama kalinya, aku menatapnya sebagai cowok—bukan cuma suami formal.

“Lo belum tidur?” tanyanya sambil duduk di ujung ranjang.

Aku geleng. “Masih mikirin balapan tadi. Lo gila sih.”

Dia tertawa kecil. “Tapi menang, kan?”

Aku tersenyum. Lalu beralih dari duduk ke posisi selonjor, bersandar di bantal.

“Apa lo masih mikirin geng kita?”

“Enggak,” katanya jujur. “Sekarang gue cuma mikirin lo.”

Hening. Detik itu juga jantungku berdetak lebih cepat.

Aku berbalik menatapnya. “Kenapa lo bisa tahan sama gue, sih?”

Dia mendekat pelan. “Karena lo satu-satunya yang bisa bikin gue ngerasa hidup.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rey menyentuh pipiku.

Pelan. Hangat. Aku tidak menepis. Aku juga tidak mundur.

Kami saling menatap. Nafas kami nyaris bersatu. Jaraknya tinggal sejengkal.

Dan kemudian...

Dia menciumku.

Bibirnya menyentuh bibirku. Lembut. Ragu-ragu. Tapi jujur. Aku terdiam, membeku. Tapi kemudian aku membalasnya.

Ciuman pertama kami. Tidak terburu-buru. Tidak liar. Tapi penuh rasa. Penuh pelampiasan yang selama ini terpendam.

Dan malam itu... tidak hanya ciuman yang terjadi. Kami menyatu. Dalam diam, dalam pelukan, dalam emosi yang akhirnya meledak...

Malam itu, aku tak hanya jadi istrinya. Aku benar-benar menjadi miliknya.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel