
Ringkasan
> Namaku Leya, cewek keras kepala, bar-bar, dan ketua geng motor Rogue Angel. Hidupku jungkir balik saat aku dijodohkan dengan Rey—cowok dingin, penuh rahasia, dan pemimpin geng motor rival, Black Shandoe. Kami dijodohkan oleh keluarga kaya kami demi kepentingan bisnis, tanpa cinta, tanpa pilihan. Awalnya kami saling membenci. Tapi hidup serumah membuat kami perlahan saling mengenal. Di balik tatapan tajamnya, Rey menyimpan luka. Di balik sikap galakku, aku menyimpan ketakutan. Saat geng motor kami terlibat konflik berdarah dan masa lalu kami terbongkar satu per satu, cinta bukan lagi hal yang sederhana. Apakah kami bisa menyatukan dua dunia yang bertabrakan—atau justru saling menghancurkan? ---
BAB 1 – Pernikahan Tanpa Cinta
Langit malam itu gelap. Sama seperti isi hatiku.
Aku duduk di pelaminan, mengenakan gaun putih yang katanya indah. Tapi buatku, ini cuma simbol pengikat paksa antara dua orang asing. Rey duduk di sampingku—dingin, diam, dan menatap ke depan seperti aku ini tak ada.
"Selamat, Rey… Leya," ucap salah satu tamu.
Rey hanya mengangguk tanpa senyum. Aku juga malas membalas. Kalau bukan karena paksaan orang tua kami, aku bahkan tidak akan pernah menyentuh tangannya.
Ya. Aku, Leya, cewek bar-bar, pemimpin geng Rogue Angel, dinikahkan dengan musuhku sendiri—Rey, ketua Black Shandoe.
Pernikahan ini bukan cinta. Ini bisnis. Politik keluarga.
Dan aku muak.
Semua tamu undangan bersorak dan bertepuk tangan saat kami berdiri menyambut restu orang tua. Kamera di mana-mana, menyala bak sorotan wartawan. Tapi dalam hati, aku ingin kabur dari semua ini.
"Lihat dong, pasangan muda yang serasi!" kata salah satu tante dari pihak Rey.
Serasi? Aku bahkan belum pernah ngobrol lama sama cowok ini, kecuali saat kami saling lempar ejekan waktu tawuran motor dulu.
Rey berdiri di sampingku, wajahnya datar. Bahkan saat cincin disematkan, dia cuma berdehem pelan. Aku balas tatapannya dengan sinis.
"Nikmatin pernikahan kita, Mas Rey," ucapku manis, dengan nada mengejek.
Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Gue cuma main sesuai skenario, Nyonya. Lo juga jangan sok akting bagus."
Aku mendesis. Kalau saja ini bukan di depan umum, mungkin aku udah melempar buket bunga ke mukanya.
---
Acara selesai. Mobil pengantin melaju ke rumah baruku. Rumah Rey. Atau... lebih tepatnya, rumah neraka.
Sepanjang perjalanan kami diam. Sopir yang menyetir, sementara kami berdua seperti patung es. Aku melirik ke arahnya.
"Lo seneng? Sekarang kita sah suami istri."
Dia tak menjawab. Cuma menghembuskan napas panjang. Tangannya sibuk mainin cincin di jari.
"Tenang aja. Gue nggak bakal ganggu hidup lo. Asal lo juga nggak usik hidup gue."
"Sepakat," katanya dingin. "Dan jangan bawa urusan geng lo ke rumah ini. Gue gak suka ribut di dalam rumah."
Aku tertawa sinis. "Yakin bisa hidup damai sama musuh?"
"Gue bisa kalau lo juga bisa."
Mobil berhenti. Kami sampai di rumah besar bernuansa modern. Pelayan-pelayan membukakan pintu dan menyambut kami dengan sopan.
Kamar kami di lantai dua. Kamar pengantin yang luas. Tapi suasananya terasa kosong.
Rey langsung melempar jasnya ke sofa. Aku menatap tempat tidur besar itu.
"Gue ambil sofa. Lo ambil ranjang."
"Gue gak butuh kasihan. Kita bisa gantian."
Dia mendengus. "Santai aja. Gue gak bakal nyentuh lo. Ini bukan bulan madu."
Aku berjalan ke arah balkon, membuka pintu gesernya. Angin malam menyambut. Di kejauhan, suara motor geng meraung di jalanan. Itu mengingatkanku siapa aku sebenarnya.
"Kenapa diem?" tanyanya dari belakang.
"Lo pikir pernikahan ini bakal bertahan?"
"Gue nggak mikir apa-apa. Gue cuma nurut. Bukan karena takut, tapi karena gue tahu... ada yang lebih penting dari harga diri."
Aku menoleh ke arahnya. "Kayak apa?"
"Geng gue. Dan lo juga tahu itu. Kita nggak boleh bikin dua keluarga ini runtuh."
Aku mengangguk pelan. Diam-diam aku menghargai logikanya. Tapi hatiku masih keras.
"Tapi jangan berharap gue bakal tunduk. Gue tetap Leya. Tetap ketua Rogue Angel."
Dia menatapku lama. "Dan gue tetap Rey. Pemimpin Black Shandoe."
Kami saling pandang. Dua pemimpin. Dua musuh. Dua hati yang dipaksa menyatu.
Dan malam itu, walau tidur terpisah, aku tahu... badai pertama baru saja dimulai.
---
Pagi harinya, sinar matahari menyusup lewat celah gorden. Aku membuka mata perlahan, mencoba mengingat di mana aku berada. Gaun putih sudah tergantung di lemari, dan tubuhku terbungkus kaos longgar—punyaku sendiri. Tapi aroma ruangan ini... asing.
Aku menoleh ke sofa. Rey tidur di sana, dengan kaki panjang terjulur, satu tangan di dahi. Wajahnya terlihat tenang—untuk pertama kalinya tidak menyeramkan.
Aku melangkah pelan ke kamar mandi. Cuci muka, ganti baju, dan turun ke ruang makan. Di bawah, meja sarapan sudah disiapkan pelayan. Mewah. Rapi. Tapi hambar.
"Ibu dan Ayah Rey ingin kalian makan bareng pagi ini," kata salah satu pelayan.
Gila. Sarapan keluarga? Setelah pernikahan yang dipaksakan?
Aku duduk, lalu Rey muncul lima menit kemudian. Masih dengan wajah datar, dia duduk di sampingku. Orang tua kami masuk tak lama kemudian, tersenyum seolah semua baik-baik saja.
"Gimana malam pertamanya?" tanya ibuku dengan senyum menggoda.
Aku nyaris menyemburkan jus jeruk yang baru saja kuteguk.
"Biasa aja, Bu," jawabku cepat. "Capek banget."
Rey hanya diam, lalu mengunyah roti panggang. Aku tahu dia juga malas berakting.
Ayah Rey lalu berkata, "Kami harap kalian mulai belajar bekerja sama. Dalam rumah tangga... dan nanti di luar, dalam urusan keluarga."
Aku melirik Rey. Dia mengangguk pelan.
Setelah sarapan selesai, kami kembali ke kamar. Di tengah jalan, dia menatapku sekilas.
"Lo kuat juga tadi. Gue kira lo bakal ngamuk."
Aku mengangkat bahu. "Gue bukan cewek manja. Lagian, mau sampai kapan kita terus begini?"
Dia berhenti. "Maksud lo?"
Aku berdiri menatap matanya. "Kita udah nikah. Gak suka, iya. Tapi daripada terus ribut, kenapa gak sepakat aja untuk jalani ini kayak partner bisnis?"
Dia terdiam. Lalu mengangguk. "Gue bisa terima itu. Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Lo gak boleh bawa cowok lain ke rumah ini."
Aku menatapnya tajam. "Gue juga gak bakal tahan kalau lo bawa cewek lo ke sini."
Dia tersenyum miring. "Oke. Deal."
Dan entah kenapa, sejak kesepakatan itu... rasanya rumah ini sedikit lebih bisa ditoleransi.
