Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 – Sekolah Baru, Masalah Baru

Suara deru motor sport terdengar saat aku memasuki halaman sekolah baruku. Seragam putih abu-abu yang kupakai terasa aneh di tubuhku, seperti baju pinjaman dari hidup orang lain. Aku, Leya—ketua geng Rogue Angel—dipaksa pindah ke sekolah Rey, suamiku, musuhku, cowok paling nyebelin se-Indonesia.

Aku berjalan dengan langkah percaya diri. Semua mata langsung menatapku. Cewek baru. Cantik. Tapi tatapanku tajam, dan langkahku seperti mau masuk medan perang.

“Eh, itu Leya, kan? Anak yang kemarin viral nikah muda?” bisik salah satu cewek di lorong.

“Gila, cantik banget... Tapi serem,” timpal cowok berambut gondrong.

Aku tidak peduli. Semua komentar itu cuma suara semut di kepala. Yang bikin aku kesal adalah—sekarang aku harus satu sekolah dengan Rey.

Dan parahnya... dia satu angkatan.

---

Ruang kelas 12 IPA 1. Aku masuk tanpa senyum. Guru langsung mengenalkanku di depan.

“Anak baru ini akan jadi bagian dari kelas kita mulai hari ini. Silakan perkenalkan diri.”

Aku melirik satu per satu wajah mereka. Beberapa cowok langsung duduk tegap, cewek-cewek menatapku curiga.

“Nama gue Leya. Nggak suka basa-basi. Jangan usik hidup gue, gue juga nggak bakal ganggu hidup lo semua.”

“Leya duduk di sebelah Rey ya,” ucap Bu Guru dengan santai.

Mataku membulat. “Apa?”

“Rey duduk sendiri, jadi kau bisa di sana.”

Aku melirik ke arah belakang, tempat Rey duduk sambil bersandar santai di kursinya. Dia menatapku tanpa ekspresi, hanya mengangkat alis seolah berkata, “Siap nikmatin neraka bareng gue, Nyonya?”

Aku menghela napas panjang, lalu berjalan ke bangku belakang. Duduk di sebelah Rey.

“Selamat datang di neraka, Sayang,” gumam Rey pelan.

“Gue bakar lo kalau lo reseh,” balasku dingin.

---

Istirahat pertama. Aku duduk di kantin, sendirian. Tak lama kemudian, Vina datang. Mantan Rey. Cewek centil yang katanya paling cantik di sekolah ini. Bibirnya merah menyala, dan ekspresinya penuh sinisme.

“Eh, kamu Leya ya? Cewek yang nikah sama Rey?”

Aku mengunyah gorengan tanpa menatapnya. “Kenapa? Mau kirim undangan selamat?”

Dia tertawa kecil, sinis. “Cuma mau bilang, Rey nggak pernah suka cewek kayak kamu. Dia tipe cowok elegan, bukan... pemberontak jalanan.”

Aku menatapnya tajam. “Dan gue tipe cewek yang nggak takut bikin wajah lo berubah bentuk kalau lo makin bacot.”

Dia mundur selangkah. Mungkin tak menyangka aku akan sebar-bar itu.

Dari kejauhan, Rey memperhatikan kami. Lalu berjalan ke arah meja kami. Dia menatap Vina sekilas.

“Vina, balik ke meja lo.”

“Tapi Rey—”

“Aku bilang sekarang.”

Vina mendengus dan pergi. Rey duduk di sampingku.

“Kamu selalu semenyebalkan itu?” tanyanya sambil nyeruput es teh.

“Dan lo selalu sok pelindung kayak pahlawan?”

“Kalo lo ribut sama mantan gue tiap hari, gue bisa pindah meja.”

Aku diam. Lalu berkata, “Gue nggak minta lo jagain gue.”

“Gue nggak jagain. Gue cuma jaga biar nama keluarga kita nggak masuk gosip pagi.”

---

Sore harinya, aku pulang lebih dulu. Tapi malam itu, aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Di garasi belakang rumah, Rey sedang mengelap motornya—motor sport warna hitam matte, dengan logo Black Shandoe di bodi sampingnya.

“Masih aktif di geng?” tanyaku pelan, berdiri di ambang pintu.

Dia tak menoleh. “Kadang. Lo juga kan?”

Aku tersenyum kecil. “Motor lo keren.”

Dia akhirnya menoleh. “Lo juga suka motor, ya?”

Aku mengangguk. “Dari kecil. Gue diajarin nyetir RX-King sebelum bisa naik sepeda.”

Dia tertawa kecil. Untuk pertama kalinya, aku dengar suara tawanya. Bukan tawa sinis. Bukan tawa menghina. Tapi tawa yang jujur.

“Kita beda dunia, tapi mirip,” katanya pelan.

Aku berjalan pelan ke arah motorku—CBR merah yang terparkir tak jauh dari motornya. “Gue ikut balapan ilegal setiap minggu sebelum nikah.”

Dia menatapku, serius. “Gue juga.”

Kami saling pandang. Sekilas saja. Tapi pandangan itu membuat malam jadi aneh.

Bukan karena musuh sedang saling bercerita. Tapi karena untuk pertama kalinya... aku merasa nyaman di dekat Rey.

Dan itu menakutkan.

---

Keesokan harinya, di sekolah, aku menemukan hal yang lebih menjengkelkan lagi: sekolah ini punya geng motor internal. Bukan yang resmi, tentu, tapi cukup terkenal di kalangan siswa. Mereka menyebut diri mereka Gearbloods, kumpulan cowok-cowok norak yang merasa paling jago ngebut dan nongkrong di parkiran belakang.

Dan yang lebih parah—mereka kayaknya nggak suka aku.

"Cewek baru itu siapa sih? Gayanya kayak ratu jalanan aja," kata salah satu dari mereka saat aku lewat.

Aku berhenti. Menoleh pelan.

"Gue denger lo jago balapan," kata cowok tinggi kurus dengan rambut pirang palsu. "Tapi ini wilayah kami, ngerti?"

Aku menyipitkan mata. "Gue bukan cari wilayah. Tapi kalau lo cari masalah, gue selalu punya waktu."

Anak-anak Gearbloods tertawa mengejek, tapi aku tahu mereka mulai waspada. Aura geng itu nggak bisa dibohongi. Dan aku bukan anak baru biasa.

---

Siang itu, aku naik ke atap sekolah. Tempat paling tenang dan jauh dari drama. Tapi ternyata... Rey sudah ada di sana.

Dia duduk di tembok pembatas, satu kaki terlipat, menatap langit yang mendung.

"Lo ngikutin gue?" tanyaku.

Dia menoleh malas. "Ini tempat favorit gue dari dulu."

Aku duduk di sebelahnya, beberapa meter jaraknya.

"Lo tahu soal Gearbloods?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Mereka sok jago. Suka bikin onar, tapi nyalinya kecil."

"Mereka ngeledek gue tadi."

Rey menoleh, tatapannya langsung berubah dingin. "Mau gue urus?"

Aku tersenyum kecil. "Gue bisa urus sendiri. Tapi... kalau lo bantu, gue anggap itu bonus."

Dia tertawa kecil. "Lo makin cocok sama gue."

Aku menoleh. "Lo serius?"

Dia diam sejenak. Lalu berkata, "Entah. Tapi makin lama gue liat lo, makin gue mikir... mungkin pernikahan kita nggak seburuk itu."

Aku mendadak diam. Kata-katanya menggema di kepalaku.

"Maksud lo?"

Dia menatap lurus ke depan. "Kita sama-sama keras. Sama-sama rusak. Tapi... mungkin, dua orang rusak bisa saling menyembuhkan."

Aku menatapnya lama.

Dan untuk pertama kalinya... aku nggak ingin melawan ucapannya.

---

Sore itu, aku menyalakan motorku. Rey menyusul dengan motornya sendiri. Kami berdua melaju ke jalanan kosong di pinggir kota. Jalanan itu biasa dipakai buat balap liar.

"Lo siap?" tanyanya dari balik helm.

Aku menaikkan gas, senyumku mengembang. "Gue lahir buat ini."

Dan dalam hitungan ketiga, kami melaju. Dua motor. Dua nyawa. Dua hati yang sedang dipaksa menyatu lewat kecepatan.

Dan di ujung jalan itu, saat kami berhenti dan tertawa di bawah langit jingga, aku sadar satu hal...

Aku mulai nyaman. Sama dia.

Dan itu... adalah masalah terbesar yang nggak pernah aku bayangkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel