Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3 – Cemburu Pertama

Hari ketiga sekolah baruku. Seharusnya aku sudah terbiasa. Tapi ternyata... tidak semudah itu.

Sejak kejadian balap motor sore kemarin, ada hal aneh yang muncul di hatiku. Sesuatu yang mengganggu kepala... dan perasaan.

Aku mulai memperhatikan Rey.

Setiap dia lewat di lorong sekolah.

Setiap dia bicara dengan temannya.

Bahkan setiap dia tersenyum—meski itu jarang.

Dan hari ini... aku melihat sesuatu yang bikin kepalaku panas.

---

Di parkiran belakang sekolah, aku melihat Rey berdiri dengan Vina.

Ya, Vina. Mantannya. Cewek centil yang udah nyebelin sejak hari pertama.

Mereka bicara agak dekat. Vina tertawa, tangan kirinya sempat menyentuh lengan Rey.

Aku gak tahu kenapa, tapi detik itu juga aku merasa... marah.

Bukan karena aku suka Rey—nggak, tentu saja enggak.

Tapi karena dia suamiku.

Secara hukum. Secara sosial.

Dan di mataku, dia seharusnya gak berdiri sedekat itu sama cewek lain.

Aku melangkah cepat ke arah mereka.

“Rey,” panggilku tajam.

Mereka berdua menoleh. Rey langsung menegakkan badan. Vina tersenyum sok manis.

“Eh, Leya. Kita lagi ngobrol doang, kok,” katanya.

Aku tidak bicara. Tatapanku hanya tertuju ke Rey.

“Gue tunggu lo di motor,” kataku dingin, lalu pergi.

---

Di atas motor, Rey akhirnya datang.

“Lo marah?” tanyanya pelan.

“Gak ada urusan,” jawabku sambil mengenakan helm.

Dia memegang tanganku pelan. “Gue gak ada apa-apa sama Vina.”

Aku menatapnya. “Gue gak tanya.”

“Tapi lo cemburu.”

Aku menatapnya tajam. “Lo pengen gue tonjok?”

Dia tersenyum. Tapi kali ini... senyum itu bukan senyum sombong. Ada sesuatu di baliknya.

Entah kenapa, aku malah malu sendiri.

“Naik. Kita pulang bareng.”

Aku diam. Tapi akhirnya naik juga ke boncengan belakang motornya.

Angin sore menyapu wajahku. Tapi pikiranku masih terjebak dalam satu kalimat:

Apa iya... gue tadi cemburu?

---

Malamnya, aku duduk di balkon. Rey ikut duduk tak jauh dariku, membawa dua kaleng soda.

“Dulu gue pikir nikah itu kayak neraka,” katanya tiba-tiba.

Aku melirik. “Terus sekarang?”

“Masih neraka. Tapi... lo bukan setannya.”

Aku hampir menyemburkan minuman. “Apaan sih!”

Dia tertawa. “Gue serius. Kita belum lama nikah, tapi... kayaknya lo satu-satunya orang yang ngerti kerasnya hidup gue.”

Aku terdiam.

Pikiranku melayang ke geng, ke orang tuaku, ke segala tekanan yang harus kupikul.

“Gue juga capek, Rey.”

Dia menoleh. “Mau kabur bareng?”

Aku tertawa pelan. “Lo ngajak kabur istri lo dari rumah kita sendiri?”

Dia angkat bahu. “Kenapa nggak?”

Kami tertawa. Dan di tengah malam yang tenang itu, aku sadar—hubungan ini sudah berubah.

Sedikit. Tapi cukup membuat jantungku nggak tenang.

---

Besok paginya, Rey mengantarku ke sekolah lagi. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Kami jadi pusat perhatian.

“Itu suami istri yang viral kemarin,” kata salah satu siswa.

“Mereka couple goals banget, sumpah,” ujar cewek lain.

Aku menoleh ke Rey. Dia mengedipkan mata padaku. Gila. Cowok ini makin sok asik.

Kami berjalan ke kelas. Tapi sebelum masuk, aku menarik tangan Rey.

“Gue pengen kasih lo sesuatu,” kataku.

“Apa?”

Aku membuka tas dan mengeluarkan sebuah gantungan kecil berbentuk sayap. Logam hitam dengan ukiran tulisan "RA" kecil di ujungnya. Lambang gengku.

“Kalau lo beneran niat jaga nama kita... pakai ini di kunci motor lo,” ujarku.

Dia menerima gantungan itu, memperhatikannya sejenak, lalu tersenyum.

“Lo juga,” katanya sambil mengeluarkan gantungan berbentuk tengkorak kecil. Simbol Black Shandoe.

Kami saling tukar simbol geng. Tanpa banyak kata. Tapi maknanya besar.

Mulai hari itu... kami bukan cuma dua musuh yang terpaksa menikah.

Kami mulai jadi... sekutu.

Dan dari sekutu... bisa jadi lebih.

Tapi di balik itu semua, badai yang lebih besar mulai mengintai. Dari masa lalu Rey. Dan dari musuh gengku yang lama menghilang...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel