BAB 6 – Rahasia Keluarga dan Ancaman Baru
Pagi itu, aku bangun dengan kepala sedikit berat.
Entah karena semalaman menangis bahagia atau karena efek dari pelukan dan ciuman Rey yang masih membekas di kulitku. Tapi satu hal yang pasti—hubungan kami berubah.
Rey duduk di ujung ranjang, sudah pakai seragam. Sinar matahari dari jendela membuat wajahnya terlihat lebih hangat.
“Pagi,” katanya sambil menyerahkan segelas susu.
“Lo bikinin susu?” aku mengerutkan kening, heran.
“Biar lo tambah galak,” katanya sambil nyengir.
Aku melempar bantal ke arahnya dan dia tertawa.
Aneh. Rasanya seperti kami beneran pasangan normal. Bukan dua ketua geng motor yang dipaksa nikah karena ambisi keluarga.
Tapi semua itu berubah... hanya beberapa jam kemudian.
---
Surat Misterius
Di loker sekolahku, ada secarik kertas terlipat rapi.
Tanpa nama, tanpa alamat. Tapi ditulis dengan tinta merah mencolok:
“Berhenti berpura-pura jadi istri yang setia, atau rahasia lo gue bongkar ke semua orang. Termasuk Rey.”
Tanganku gemetar. Aku membaca ulang. Hati langsung berdegup tak karuan.
Rahasia?
Aku menyimpan banyak rahasia, tapi hanya satu yang paling aku takut Rey tahu:
hubunganku dengan ayahnya.
---
Flashback Singkat
Sebelum aku tahu Rey akan jadi suamiku, aku pernah diancam oleh seorang pria tua saat acara keluarga besar. Ternyata dia adalah ayah Rey.
Dia tahu aku pemimpin Rogue Angel. Dia tahu masa laluku dengan Guntur. Dia bahkan tahu aku pernah terlibat dalam kecelakaan balap yang menewaskan salah satu anak dari geng rival.
Dan dia... membayar aku untuk menjauh dari Rey.
“Kamu bukan untuk anak saya. Kamu cuma masalah,” katanya saat itu.
Aku menolak. Tapi dia tetap menjodohkan kami.
Dan sekarang... seseorang tahu hal itu?
---
Di Atap Sekolah
Aku duduk diam, melamun. Rey datang dan duduk di sebelahku.
“Lo kelihatan aneh,” katanya.
“Aku cuma... mikirin masa depan,” jawabku datar.
Rey mendekat. “Leya, ada apa? Lo bisa cerita.”
Aku nyaris cerita. Tapi ada rasa takut.
Takut dia benci aku. Takut semuanya hancur.
“Enggak, aku cuma capek,” kataku akhirnya.
Dia meraih tanganku. “Apa pun yang ganggu lo, kita hadapin bareng.”
Deg... kalimat itu lagi.
Tapi kali ini, bukannya tenang, aku malah makin gelisah.
---
Ancaman Kedua
Malamnya, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal.
“Kalo lo gak mau Rey tahu, datang ke gudang kosong belakang bengkel tua jam 10 malam. Sendiri.”
Aku menggigit bibir.
Ini jebakan. Tapi aku nggak punya pilihan.
Aku harus jaga nama baik Rey. Aku harus jaga geng Rogue Angel. Dan yang paling penting... aku nggak bisa biarkan Rey tahu aku nyaris dibayar buat menjauhi dia.
---
Gudang Tua
Tempatnya gelap, sepi, dan bau karat.
Aku masuk perlahan. Di sana berdiri seseorang dengan hoodie hitam dan masker. Tak bisa kulihat wajahnya. Tapi dari suara dan posturnya... dia bukan orang asing.
“Apa maumu?” tanyaku dingin.
Dia mengeluarkan ponsel, memutar rekaman suara.
Suara pria tua: “Saya akan bayar berapa pun. Asal Leya menjauh dari anak saya. Rey nggak boleh dekat dia.”
Aku terdiam. Itu suara ayah Rey. Bukti yang bisa menghancurkan keluarganya.
“Aku bisa sebarin ini ke media sosial. Ke geng lo. Ke Rey. Tapi...” katanya.
“Tapi apa?”
Dia tertawa. “Kalau lo mundur dari posisi ketua Rogue Angel, dan tinggalin Rey... file ini aman.”
---
Perang Batin
Aku pulang dengan pikiran berantakan.
Menyerah? Bukan aku banget. Tapi ini bukan tentang aku doang. Ini tentang Rey. Tentang perasaannya, kepercayaannya, dan keluarganya.
Apa aku tega menghancurkan semuanya?
Rey sedang tidur saat aku masuk kamar. Nafasnya teratur. Wajahnya damai.
Aku duduk di sampingnya, memandangi sosok yang diam-diam mulai aku cintai sepenuh hati.
“Gue harus milih antara kebenaran atau lo, Rey...” bisikku.
Dan malam itu, aku menangis. Tanpa suara. Tanpa pelukan.
Karena aku tahu, babak baru akan dimulai.
---
Keesokan Harinya
Aku membuat keputusan.
Aku datang ke markas Rogue Angel. Berdiri di tengah aula, di hadapan puluhan anggota.
“Mulai hari ini...” suaraku gemetar, “...gue mundur dari posisi ketua.”
Semua langsung ribut.
“KENAPA, LEYA?!”
“Apa lo dipaksa?”
“Guntur balik lagi ya?!”
Tapi aku tak menjawab. Aku hanya menatap lurus. Tegas.
---
Di luar markas, Rey berdiri. Menatapku bingung.
“Lo ngapain?” tanyanya.
Aku menahan air mata. “Maaf, Rey.”
Dia menahan lenganku. “Leya, jangan gila.”
Tapi aku menarik diriku dan pergi.
Meninggalkan Rey. Meninggalkan geng.
Meninggalkan semua... untuk melindungi orang yang aku cintai.
---
Tapi apakah itu cukup?
Karena seseorang di balik ancaman ini... sepertinya belum selesai.
Dan Rey... belum tahu segalanya.
---
