Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 5. Kuil Cahaya Tertinggi

Setelah pertempuran yang melelahkan, Arka dan Asha melanjutkan perjalanan mereka menuju kuil kuno di pegunungan timur. Udara semakin dingin, dan jalan yang mereka lalui semakin terjal. Di tengah kelelahan, tekad Arka semakin bulat. Ia tahu kuil itu adalah kunci untuk memahami lebih dalam tentang kekuatannya.

“Kita hampir sampai,” kata Asha sambil menunjuk ke puncak bukit yang mulai terlihat di kejauhan.

Di atas puncak itu, tampak sebuah struktur besar yang tertutup kabut tipis. Pilar-pilar batu raksasa menjulang tinggi, memancarkan aura megah meskipun terlihat tua dan terkikis oleh waktu.

“Ini dia… Kuil Cahaya Tertinggi,” ujar Asha pelan. “Kuil ini dulu adalah tempat suci bagi para pewaris untuk berlatih dan memahami kekuatan mereka. Tapi, setelah kehancuran terakhir, tempat ini menjadi sunyi.”

Arka menatap kuil itu dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu yang memanggilnya, sesuatu yang terasa familiar meskipun ia belum pernah ke sana sebelumnya. “Asha, apa yang harus kita lakukan di sana?”

“Cari jawaban,” jawab Asha. “Ada sebuah ruang di tengah kuil yang disebut Inti Cahaya. Tempat itu menyimpan kenangan dan pengetahuan dari pewaris-pewaris sebelumnya. Tapi untuk mencapainya, kau harus melewati ujian.”

Mereka memasuki kuil itu dengan hati-hati. Udara di dalam terasa dingin dan lembap. Langit-langitnya tinggi, dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menceritakan kisah para pewaris dan pertempuran mereka melawan kegelapan.

“Ada banyak cerita di sini,” kata Arka sambil memandangi ukiran itu.

“Benar,” jawab Asha. “Ini bukan hanya tempat latihan, tetapi juga tempat menyimpan sejarah panjang pertempuran antara cahaya dan kegelapan. Dan sekarang, kau adalah bagian dari sejarah itu.”

Langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari batu putih. Di tengahnya terdapat simbol lingkaran dengan sinar-sinar yang memancar, lambang kekuatan cahaya.

“Di balik pintu ini adalah Inti Cahaya,” kata Asha. “Tapi kau harus masuk sendiri. Ujian di dalamnya hanya untukmu.”

Arka menelan ludah, merasa gugup. “Apa yang akan aku hadapi di sana?”

“Aku tidak tahu pasti,” jawab Asha. “Setiap pewaris menghadapi ujian yang berbeda. Tapi satu hal yang pasti: kau harus menghadapi dirimu sendiri.”

Dengan napas berat, Arka mendorong pintu besar itu. Suara gemuruh terdengar saat pintu terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas yang diterangi oleh cahaya keemasan lembut.

“Semoga berhasil, Arka,” kata Asha sebelum pintu itu menutup di belakangnya.

Di dalam ruangan itu, suasana terasa hening dan magis. Di tengah ruangan, terdapat bola cahaya besar yang mengambang, memancarkan energi hangat yang menggetarkan jiwa.

Arka melangkah mendekat, tapi tiba-tiba bayangan muncul dari cahaya itu. Bayangan itu berbentuk dirinya sendiri, tetapi dengan tatapan dingin dan senyuman penuh ejekan.

“Jadi, ini dirimu?” kata bayangan itu, suaranya terdengar persis seperti Arka. “Kau mengaku sebagai pewaris, tetapi kau bahkan tidak yakin pada dirimu sendiri.”

Arka mundur selangkah, terkejut. “Siapa kau?”

Bayangan itu tertawa. “Aku adalah dirimu. Aku adalah keraguan, ketakutan, dan kelemahanmu. Kau tidak bisa maju sebelum mengalahkanku.”Bayangan itu menyerang dengan cepat, membentuk bilah energi gelap di tangannya. Arka mencoba menghindar, tetapi serangan itu terlalu cepat. Sebuah luka kecil muncul di lengannya.

“Cepat menyerah,” kata bayangan itu. “Kau tahu kau tidak cukup kuat untuk tugas ini.”

Arka terengah-engah, darahnya mendidih. Ia mencoba memanggil energi keemasan, tetapi rasanya sulit, seperti ditahan oleh sesuatu di dalam dirinya.“

Lihat? Bahkan kekuatanmu meragukanmu,” ejek bayangan itu.

Namun, saat Arka hampir tenggelam dalam keputusasaan, suara pria tua dari Mata Air Kenangan kembali terdengar di pikirannya.

“Percayalah pada dirimu sendiri. Kekuatan ini adalah cerminan dari hatimu.”

Arka menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia menatap bayangan itu dengan tatapan baru.

“Kau benar,” katanya akhirnya. “Aku memang ragu dan takut. Tapi itu tidak membuatku lemah. Aku akan belajar, tumbuh, dan menjadi lebih kuat.”

Bayangan itu menyerang lagi, tetapi kali ini Arka tidak mundur. Ia mengangkat tangannya, memanggil energi keemasan yang kini terasa lebih stabil. Cahaya itu memancar dari tubuhnya, menyelimuti ruangan dengan kehangatan.

Ketika bayangan itu mendekat, Arka melepaskan serangan cahaya yang langsung menghancurkannya. Bayangan itu menghilang, menyisakan keheningan.

Bola cahaya di tengah ruangan bersinar lebih terang, dan suara lembut bergema. “Kau telah lulus ujian pertama, Pewaris. Namun, perjalananmu masih panjang.”

Arka menatap bola cahaya itu, merasa lebih percaya diri dari sebelumnya. Ia tahu ini baru awal dari tugas besarnya, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

Arka berdiri di tengah ruangan itu, merasakan energi dari bola cahaya yang perlahan menyatu dengan dirinya. Tubuhnya terasa ringan, seolah kekuatan itu tidak hanya menyembuhkan luka-lukanya tetapi juga mengisi setiap sudut jiwanya dengan keyakinan baru.

Bola cahaya itu berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Arka, kau telah melangkah ke jalan yang sulit, jalan yang tidak bisa kau hindari sebagai pewaris. Tetapi ingatlah, kekuatan ini hanyalah alat. Yang akan menentukan nasibmu adalah hatimu sendiri.”

“Apakah itu berarti aku belum benar-benar menguasai kekuatan ini?” tanya Arka.

“Kekuatanmu berkembang bersama dirimu. Kau telah melangkah ke tahap berikutnya, tetapi masih banyak yang harus kau pelajari. Di luar sana, kegelapan semakin kuat, dan musuh yang kau temui barulah permulaan.”

Arka mengangguk. Ia merasa kata-kata itu benar. Meski ia telah melewati beberapa ujian, perjalanannya masih jauh dari selesai. Ia mengambil napas dalam, berjanji pada dirinya sendiri untuk terus maju.

Bola cahaya itu mulai meredup, dan pintu di belakangnya terbuka kembali. Asha berdiri di sana, menatap Arka dengan cemas.

“Kau berhasil?” tanyanya, suaranya mengandung rasa ingin tahu sekaligus kekhawatiran.

Arka tersenyum kecil. “Aku masih hidup, itu cukup sebagai jawaban.”

Saat mereka meninggalkan ruang Inti Cahaya, Asha memimpin Arka menuju bagian lain kuil yang lebih gelap dan tertutup debu.

“Apa ini?” tanya Arka, melihat dinding-dinding di sekelilingnya yang penuh dengan ukiran kuno.

“Ini adalah ruang arsip,” jawab Asha sambil menyalakan obor kecil. “Di sini tersimpan semua catatan tentang pewaris dan pertempuran besar mereka. Mungkin kita bisa menemukan petunjuk tentang apa yang kita hadapi.”

Arka mendekati salah satu ukiran. Di situ digambarkan seorang pria dengan jubah panjang, memegang bola cahaya yang mirip dengan apa yang baru saja ia lihat. Di sekelilingnya, sosok-sosok bayangan tampak menyerang, tetapi pria itu tetap berdiri kokoh.

“Siapa dia?” tanya Arka.

“Dia adalah pewaris pertama,” jawab Asha. “Dia yang pertama kali menerima kekuatan dari Cahaya Tertinggi untuk melawan kegelapan. Menurut legenda, dia mampu menyegel kegelapan itu untuk waktu yang sangat lama. Tapi seiring berjalannya waktu, segel itu melemah.”

Arka memandangi ukiran itu dengan penuh perhatian. “Jadi, tugas kita adalah memperkuat segel itu?”

“Tidak,” Asha menggeleng. “Tugasmu lebih besar. Kegelapan sekarang tidak lagi ingin disegel, tetapi menghancurkan cahaya sepenuhnya. Ini bukan tentang bertahan, tetapi memenangkan pertempuran terakhir.”

Kata-kata Asha membuat Arka terdiam. Beban yang ia pikul terasa semakin berat, tetapi ia tahu bahwa tidak ada jalan untuk mundur.

Saat mereka melangkah keluar dari kuil, hari sudah menjelang senja. Langit oranye keemasan memberi mereka pemandangan yang tenang, kontras dengan pergulatan yang baru saja mereka lalui di dalam kuil.

Namun, saat Arka menatap cakrawala, ia melihat bayangan hitam berkumpul di kejauhan.

“Apa itu?” tanyanya.

Asha mempersempit matanya, mencoba mengenali ancaman tersebut. “Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga.”

“Mereka?”

“Pasukan kegelapan. Pemimpin mereka pasti tahu bahwa kita berada di sini. Kita harus bersiap.”

Arka mengepalkan tangannya, merasakan cahaya keemasan berdenyut di dalam dirinya. Ia tahu bahwa pertarungan berikutnya akan lebih sulit, tetapi kali ini, ia merasa lebih kuat.

“Biarkan mereka datang,” katanya pelan. “Aku tidak akan mundur lagi.”

Asha tersenyum tipis. “Itu yang ingin kudengar. Tapi jangan terlalu sombong. Ini baru permulaan.”

Dengan cahaya dari kuil di belakang mereka dan kegelapan yang menjulang di depan, Arka dan Asha bersiap untuk menghadapi gelombang baru dari ancaman yang mendekat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel