bab 6. Pertempuran di Gerbang Cahaya
Kegelapan di kejauhan semakin mendekat, menghapus rona oranye keemasan senja menjadi bayangan kelam yang menutupi cakrawala. Arka berdiri tegak di depan kuil, tubuhnya terasa bergetar, bukan karena takut, tetapi karena adrenalin yang melesat melalui nadinya.
Asha berdiri di sampingnya, matanya waspada menatap ancaman yang datang. “Mereka akan menyerang dalam hitungan menit. Kita tidak bisa membiarkan mereka memasuki kuil. Tempat ini terlalu penting.”
“Berapa banyak yang datang?” tanya Arka, mencoba menyiapkan dirinya.
“Lebih dari cukup untuk menghancurkan kita jika kita tidak hati-hati,” jawab Asha datar. “Tapi kita punya keuntungan. Tempat ini dirancang untuk melindungi pewaris. Kita bisa menggunakan medan ini untuk melawan mereka.”
Arka mengangguk. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan energi yang mengalir di dalam tubuhnya. Cahaya keemasan muncul perlahan, menyelimuti tangannya seperti api yang berkobar lembut. Ia membuka mata dan menatap Asha. “Aku siap.”
Tidak lama kemudian, pasukan kegelapan mulai terlihat dengan jelas. Puluhan makhluk berbentuk humanoid dengan kulit hitam pekat dan mata merah menyala berlari mendekati kuil, dipimpin oleh sosok yang lebih besar, mengenakan baju zirah gelap yang tampak berkilauan seperti obsidian.
Pemimpin itu berhenti beberapa meter dari gerbang kuil, mengangkat pedang besar yang berkilau dengan aura gelap. Suaranya bergema, dalam dan penuh kebencian. “Serahkan pewaris, dan kami akan membiarkan tempat ini utuh. Melawan kami adalah tindakan sia-sia!”
Asha maju selangkah, pedangnya terhunus. “Kalian tidak akan melewati kami. Ini adalah tempat suci, dan kalian tidak memiliki hak untuk menginjakkan kaki di sini.”
Pemimpin pasukan itu tertawa keras. “Berani sekali. Jika itu pilihanmu, maka kalian akan dimusnahkan bersama kuil ini!”
Dengan satu gerakan, ia mengayunkan pedangnya, mengirimkan gelombang energi gelap ke arah Arka dan Asha. Asha bergerak cepat, menggunakan pedangnya untuk membelah gelombang itu sebelum mencapai mereka.
“Arka, jangan ragu! Serang mereka sebelum mereka mendekat lebih jauh!”
Arka mengangkat tangannya, membentuk tombak cahaya keemasan yang bersinar terang. Ia melemparkan tombak itu ke arah pasukan kegelapan. Serangan itu menghantam tanah di tengah-tengah mereka, menciptakan ledakan yang menghancurkan beberapa makhluk.
Namun, mereka terus maju tanpa rasa takut.Asha melompat ke tengah pasukan,
pedangnya menebas makhluk-makhluk itu dengan gerakan cepat dan presisi. Arka tetap di belakang, menggunakan energi cahayanya untuk menyerang dari jarak jauh, menghancurkan kelompok-kelompok yang mencoba mengepung Asha.
Tetapi meskipun mereka berdua bertarung dengan gigih, jumlah musuh terlalu banyak. Arka mulai merasa kelelahan, dan cahaya di tangannya mulai memudar.
“Arka, bertahanlah!” teriak Asha, yang kini mulai terdesak oleh musuh-musuh yang lebih kuat.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju, menyeringai puas. “Apa kau lihat, Pewaris? Cahaya itu tidak akan cukup untuk melawan kegelapan. Kau hanyalah anak kecil yang bermain dengan kekuatan yang terlalu besar untukmu.”
Arka mengepalkan tangannya, mencoba memanggil kembali cahaya itu. Tapi rasa lelah dan keraguan mulai menguasainya. Energinya terasa terkuras, dan ia mulai kehilangan kendali.
Saat itulah, suara lembut kembali bergema di pikirannya. “Jangan takut, Arka. Kekuatanmu bukan hanya milikmu sendiri. Kau adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Percayalah pada cahaya di dalam dirimu.”
Kata-kata itu menguatkan hatinya. Ia mengingat semua yang telah ia lalui: keluarga yang hilang, perjalanan berbahaya, dan tekad untuk melindungi dunia ini.
Dengan kekuatan terakhirnya, Arka berdiri tegak dan mengangkat kedua tangannya. Cahaya keemasan muncul kembali, kali ini lebih terang dan lebih murni. Energi itu membentuk lingkaran besar di sekelilingnya, memancarkan gelombang cahaya yang menghancurkan sebagian besar makhluk gelap yang tersisa.
Pemimpin pasukan itu terhuyung mundur, matanya menyipit menahan cahaya yang menyilaukan. “Apa ini?!”
Arka melangkah maju, tubuhnya diselimuti oleh cahaya yang memancar seperti matahari. “Aku mungkin belum sepenuhnya menguasai kekuatan ini, tapi aku tidak akan membiarkan kalian menghancurkan dunia yang harus kulindungi.”
Dengan teriakan penuh tekad, Arka melepaskan serangan terakhir, mengarahkan seluruh energinya ke pemimpin pasukan itu. Cahaya itu menghantamnya dengan kekuatan dahsyat, menciptakan ledakan yang mengguncang tanah dan menyapu bersih kegelapan di sekeliling mereka.
Ketika debu mereda, hanya ada keheningan. Pasukan kegelapan telah lenyap, dan pemimpin mereka tidak lagi terlihat.
Asha mendekati Arka, yang terjatuh berlutut karena kelelahan. Ia tersenyum kecil, meskipun wajahnya penuh keringat. “Kau melakukannya, Arka. Tapi ini baru awal. Mereka akan kembali, dan kita harus lebih siap.”
Arka mengangguk pelan, menatap cakrawala yang mulai cerah kembali. “Aku tahu. Tapi selama cahaya ini masih ada, aku tidak akan berhenti berjuang.”
Hari itu, mereka berhasil mempertahankan kuil, tetapi Arka tahu bahwa pertempuran yang lebih besar telah menunggu di depan.
Malam itu, setelah pertempuran di gerbang kuil berakhir, suasana hening menyelimuti sekitar. Arka duduk di atas batu besar, menatap bulan yang menggantung tinggi di langit. Udara dingin pegunungan membuat napasnya terlihat seperti asap tipis. Tubuhnya masih terasa lelah, tetapi pikirannya terus berputar.
Asha menghampiri, membawa dua kantung kecil berisi air. Ia menyerahkan salah satunya kepada Arka. “Minumlah. Kau butuh kekuatanmu kembali.”
“Terima kasih,” ujar Arka singkat, lalu meneguk air itu perlahan.
Asha duduk di sebelahnya, pandangannya mengikuti arah tatapan Arka. “Kau memikirkan sesuatu?”
Arka menghela napas. “Aku memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka pasti akan menyerang lagi, dan mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Aku berhasil kali ini, tapi… aku masih merasa belum cukup kuat.”
Asha terdiam sejenak sebelum menjawab. “Perasaan itu wajar. Bahkan pewaris-pewaris sebelumnya pun merasa ragu di awal perjalanan mereka. Tapi ketahuilah ini, Arka: kekuatanmu tumbuh dari pengalamanmu, bukan hanya dari latihan. Kau sudah menunjukkan bahwa kau bisa bertahan. Itu bukti bahwa kau memiliki potensi besar.”
“Tapi bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau mereka akhirnya menang?” Arka menggenggam tangannya, merasakan sisa-sisa energi cahaya yang masih berdenyut lemah di dalamnya.
Asha menepuk bahu Arka dengan lembut. “Kau akan gagal jika kau menyerah sekarang. Tapi jika kau terus berjuang, bahkan kegagalan bisa menjadi pelajaran untuk menjadi lebih kuat.”
Kata-kata Asha menenangkan pikiran Arka sedikit. Ia menatap sahabatnya itu dan tersenyum kecil. “Kau selalu punya jawaban untuk segalanya, ya?”
Asha tertawa kecil. “Bukan jawaban, hanya pengalaman. Aku sudah melihat banyak orang hebat jatuh, tapi mereka selalu bangkit lagi. Dan kau, Arka, adalah orang yang jauh lebih hebat dari mereka.”
Tiba-tiba, suara gemuruh kecil terdengar dari dalam kuil, mengganggu percakapan mereka. Arka dan Asha saling pandang dengan waspada.
“Ada apa lagi sekarang?” gumam Arka, segera bangkit berdiri.
Mereka bergegas masuk ke dalam kuil, mengikuti suara itu. Di ruang utama kuil, tempat Inti Cahaya berada, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan. Bola cahaya besar yang tadi tampak stabil kini bergetar hebat, memancarkan kilauan yang tidak beraturan.
“Apa yang terjadi?” tanya Arka, suaranya cemas.
Asha memeriksa bola cahaya itu dengan saksama. “Ini aneh… Inti Cahaya seharusnya tetap stabil, kecuali ada gangguan dari luar.”
“Gangguan seperti apa?”
Sebelum Asha bisa menjawab, bayangan hitam muncul di dinding ruangan, membentuk sosok seorang pria dengan mata merah menyala. Suaranya terdengar dingin dan penuh ejekan. “Kalian mungkin menang hari ini, tetapi cahaya itu rapuh, sama seperti pewarisnya.”
Arka langsung memasang kuda-kuda, energi keemasan mulai memancar dari tangannya lagi. “Siapa kau?”
Sosok itu tersenyum sinis. “Aku hanyalah utusan. Tapi ingatlah ini, Pewaris: cahaya tidak bisa melindungi semuanya. Sebentar lagi, kegelapan akan menyelimuti dunia ini, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk menghentikannya.”
Sebelum Arka sempat menyerang, bayangan itu menghilang, menyisakan keheningan yang mencekam.
Asha menatap bola cahaya yang kini perlahan stabil kembali. “Ini peringatan, Arka. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menghancurkan segalanya.”
Arka mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, aku juga tidak akan berhenti. Mereka mungkin kuat, tetapi aku akan menjadi lebih kuat.”
Di bawah sinar remang Inti Cahaya, tekad Arka semakin kokoh. Ia tahu perjalanan ini akan semakin sulit, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi cahaya, apa pun yang terjadi.