bab 4. Jejak Kegelapan
Setelah pengalaman mendalam di Mata Air Kenangan, Arka merasa sedikit lebih percaya diri meskipun pertanyaan-pertanyaan besar masih menggelayuti pikirannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang harus ia pelajari lebih jauh, bukan hanya tentang kekuatannya, tetapi juga tentang ancaman yang kini terus membayangi hidupnya.
Asha menatapnya dengan serius ketika mereka meninggalkan tempat itu. “Apa pun yang kau lihat di sana, Arka, itu hanya awal. Kau harus segera mulai berlatih untuk mengendalikan kekuatanmu. Bayangan Kegelapan tidak akan memberi kita waktu untuk bersantai.”
“Aku tahu,” jawab Arka, suaranya penuh tekad. “Tapi aku perlu lebih dari sekadar latihan. Kita harus menemukan jawaban tentang asal usul kekuatan ini, dan bagaimana aku bisa menggunakan sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.”
Asha mengangguk. “Ada satu tempat yang mungkin bisa membantu. Sebuah kuil kuno di ujung Timur, tersembunyi di antara pegunungan. Dulu, kuil itu adalah pusat pengajaran bagi para pewaris. Namun, sejak pewaris terakhir menghilang, kuil itu terbengkalai.”
Arka memandang Asha, matanya penuh harapan. “Jadi, di sana aku bisa belajar lebih banyak?”
“Ya, tetapi perjalanan ke sana tidak akan mudah,” jawab Asha. “Dan kita harus berhati-hati. Bayangan Kegelapan pasti akan mencoba menghentikan kita.”
Perjalanan menuju kuil memakan waktu beberapa hari. Mereka melewati hutan lebat, dataran luas, dan sungai-sungai deras yang harus mereka arungi dengan hati-hati. Di sepanjang jalan, Asha melatih Arka untuk memanfaatkan kekuatannya dengan lebih baik.
“Kuncinya adalah keseimbangan,” kata Asha suatu sore saat mereka beristirahat di tepi sungai. “Energi itu tidak boleh kau paksakan. Kau harus belajar memercayainya, sekaligus mengarahkannya. Cobalah sekarang.”
Arka mengangkat tangannya, mencoba memanggil cahaya keemasan yang mulai terasa akrab baginya. Perlahan, cahaya itu muncul, melingkupi tangannya dengan lembut. Namun, ketika ia mencoba mengendalikannya untuk membentuk serangan, energi itu memancar terlalu kuat dan meledak, membuat mereka berdua terhempas mundur.
Asha tertawa kecil, meskipun tubuhnya berdebu. “Kau terlalu tegang. Santai, Arka. Jangan terlalu memikirkan hasilnya.”
Arka menghela napas. “Mudah bagimu mengatakannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku berhasil menggunakan kekuatan ini saat melawan raksasa itu.”
“Karena saat itu, kau tidak berpikir. Kau hanya bertindak,” jawab Asha sambil berdiri. “Kekuatan seperti ini sering kali muncul dalam momen insting. Tapi jika kau ingin benar-benar mengendalikannya, kau harus menemukan ketenangan di tengah kekacauan.”
Pada malam ketiga perjalanan mereka, mereka mendirikan kemah kecil di tepi padang rumput. Malam itu tenang, dengan langit penuh bintang. Namun, di tengah ketenangan itu, Arka merasakan sesuatu yang aneh.
“Asha,” bisiknya.
Asha, yang sedang mengasah pedangnya, langsung menoleh. “Apa yang salah?”
“Aku merasa kita sedang diawasi.”
Mata Asha menyipit. Ia segera berdiri dan mengamati sekeliling dengan waspada. “Mereka ada di sini,” katanya pelan.
Dari kegelapan malam, sosok-sosok berjubah hitam muncul, membawa senjata yang memancarkan aura gelap. Mereka berjumlah lima orang, dan salah satunya tampak lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang lain.
Asha menghunus pedangnya, bersiap menghadapi mereka. “Arka, jangan ragu. Ini saatnya kau menguji latihanmu.”
Pemimpin kelompok itu, seorang pria tinggi dengan topeng tengkorak, melangkah maju. Suaranya dingin dan penuh ejekan. “Jadi, inilah pewaris baru itu. Kau belum layak membawa kekuatan sebesar itu.”
Arka melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar. “Jika kalian ingin mengambilnya, kalian harus melewatiku dulu.”
Pria itu tertawa keras. “Dengan senang hati.”
Pertarungan pun dimulai. Asha bergerak cepat, menghadapi tiga penyerang sekaligus dengan pedangnya yang bersinar biru, sementara Arka mencoba menghadapi dua musuh yang menyerangnya dari dua sisi.
Arka mengangkat tangannya, memanggil energi keemasan. Cahaya itu muncul, tetapi ia masih belum sepenuhnya mengendalikannya. Salah satu penyerang menyerangnya dengan pedang gelap, dan Arka hanya berhasil menahan serangan itu dengan perisai energi yang muncul secara spontan.
“Fokus, Arka!” teriak Asha sambil menghindari serangan.
Arka mencoba menenangkan pikirannya. Ia mengingat kata-kata Asha tentang menemukan ketenangan. Saat penyerang kedua mendekat, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan energinya mengalir tanpa paksaan. Cahaya keemasan itu semakin stabil, membentuk tombak energi di tangannya.
Dengan satu gerakan, Arka melemparkan tombak itu ke arah musuhnya. Tombak itu menembus perisai gelap yang mereka gunakan, menghantam salah satu dari mereka hingga terjatuh.
Pemimpin kelompok itu tampak terkejut. “Kau lebih kuat dari yang aku kira. Tapi ini belum selesai.”
Ia mengangkat tangannya, menciptakan pusaran gelap yang mulai menyelimuti area sekitar mereka. Suara angin menderu, dan kegelapan perlahan menelan cahaya bintang di langit.
Asha berlari ke sisi Arka. “Kita harus bekerja sama untuk melawannya. Kekuatan gelap ini terlalu besar jika kau hadapi sendirian.”
Arka mengangguk, merasa lebih percaya diri dengan Asha di sisinya. Bersama-sama, mereka bersiap untuk menghadapi musuh yang lebih kuat. Dalam kegelapan yang semakin pekat, cahaya keemasan Arka dan cahaya biru Asha menjadi satu-satunya harapan mereka.
Pertempuran malam itu akan menjadi titik balik perjalanan mereka—ujian nyata bagi seorang pewaris dan sekutunya.
Pusaran gelap yang diciptakan pemimpin musuh semakin kuat. Angin berputar membawa aura suram yang menekan tubuh Arka dan Asha. Cahaya yang berasal dari kekuatan mereka nyaris tertelan oleh kegelapan.
“Arka, kita harus menghancurkan pusat kekuatan itu!” seru Asha, mencoba menahan tekanan angin dengan pedangnya yang bersinar.Arka mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Bagaimana caranya? Aku bahkan tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk melakukannya!”
Asha menatapnya tajam. “Percayalah pada dirimu sendiri! Kau sudah membuktikannya sebelumnya. Aku akan membantumu membuka jalan, tapi serangan terakhir harus datang darimu.”
Pemimpin musuh melangkah maju, suaranya menggema di tengah pusaran gelap. “Cahaya kalian tidak akan cukup untuk melawan kekuatan ini. Dunia ini ditakdirkan untuk tunduk pada kegelapan.”
Asha langsung menyerang, pedangnya membelah udara dengan kecepatan luar biasa. Ia berhasil mengalihkan perhatian musuh, membuat mereka sibuk dengan pertarungan jarak dekat. Namun, kegelapan dari pusaran itu semakin meluas, memunculkan bayangan-bayangan yang mulai menyerang Arka.
Arka mencoba bertahan, menggunakan perisai energinya untuk menangkis serangan bayangan. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Cahaya keemasan di tubuhnya mulai bergetar, seolah hendak padam.
“Jangan ragu…” Suara itu kembali bergema di pikirannya, suara pria tua dari Mata Air Kenangan.
Arka memejamkan mata, mencoba merasakan energi di dalam dirinya. Ia menyadari sesuatu: kekuatan itu tidak hanya berasal dari tubuhnya, tetapi juga dari tekad dan keyakinannya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan energinya mengalir bebas.
Cahaya keemasan kembali menyala, kali ini lebih terang. Bayangan-bayangan yang menyerangnya lenyap seketika saat cahaya itu menyentuh mereka.
“Asha, aku siap!” teriak Arka.
Asha, yang terus bertarung dengan pemimpin musuh, berteriak kembali, “Kalau begitu, serang sekarang!”
Arka mengangkat kedua tangannya. Energi keemasan berkumpul di sekelilingnya, membentuk lingkaran cahaya yang berputar cepat. Ia mengarahkan kedua tangannya ke arah pusaran gelap di tengah medan pertempuran. Dengan segenap kekuatannya, ia melepaskan ledakan energi besar yang langsung menghantam pusat pusaran itu.
Cahaya keemasan bertabrakan dengan kegelapan, menciptakan ledakan dahsyat yang mengguncang tanah di bawah mereka. Pemimpin musuh berteriak marah saat tubuhnya terpental mundur, sementara pusaran gelap itu perlahan menghilang.
Ketika semuanya mereda, Arka jatuh berlutut, tubuhnya kelelahan. Asha segera berlari mendekatinya, membantu menopangnya.
“Kau berhasil, Arka,” kata Asha dengan senyum lelah.
Namun, pemimpin musuh yang terluka parah bangkit perlahan, tatapannya dipenuhi amarah. “Ini belum selesai, Pewaris. Kami akan kembali, dan kau tidak akan bisa menghindari takdirmu.”
Sebelum Asha sempat menyerang, pria itu menghilang bersama bayangan yang tersisa, meninggalkan mereka di tengah keheningan malam.
Arka menatap tempat di mana musuh itu menghilang. Meskipun ia berhasil kali ini, ia tahu bahwa ancaman mereka masih jauh dari selesai.
“Ini baru permulaan,” gumamnya pelan.
Asha menepuk bahunya. “Benar. Tapi kau sudah mengambil langkah besar. Selanjutnya, kita harus sampai di kuil itu sebelum mereka menyerang lagi.”
Dengan tekad yang semakin kuat, Arka berdiri. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang menguasai kekuatan, tetapi juga menemukan siapa dirinya sebenarnya.