bab 3. Bisikan dari Masa Lalu
Pertarungan malam itu akhirnya usai, tetapi meninggalkan kelelahan luar biasa bagi Arka dan Asha. Para penyerang berjubah hitam mundur setelah salah satu dari mereka—pemimpin yang menggunakan aura gelap—terluka oleh kekuatan yang dilepaskan Arka. Hutan kembali sunyi, tetapi hawa ketegangan masih terasa.
Asha membimbing Arka kembali ke pondoknya. Langkah mereka lambat, tubuh penuh luka dan energi yang terkuras. Ketika mereka tiba, Asha menyalakan tungku dan menuangkan cairan herbal ke dalam mangkuk kecil.
“Minumlah ini,” katanya, menyerahkan mangkuk itu kepada Arka. “Ini akan memulihkan sebagian tenagamu.”
Arka meminum ramuan itu, rasanya pahit dan menyengat, tetapi segera ia merasakan kehangatan yang meresap ke seluruh tubuhnya. Setelah meneguknya, ia bersandar di dinding kayu, mencoba mengatur napas.
“Asha,” panggilnya dengan suara pelan, “apa kau tahu siapa mereka? Mengapa mereka terus menyerangku?”
Asha menatapnya serius, kemudian duduk di seberangnya. “Mereka adalah bagian dari kelompok yang disebut Bayangan Kegelapan. Mereka percaya bahwa kekuatan Dewa Tertinggi seharusnya jatuh ke tangan mereka untuk membawa kehancuran dan kekuasaan mutlak. Kau, sebagai pewaris, adalah ancaman terbesar bagi rencana mereka.”
Arka terdiam, mencerna informasi itu. “Tapi… aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang kekuatan ini. Aku tidak pernah meminta menjadi pewaris.”
“Itulah yang membuat mereka takut,” ujar Asha sambil melipat tangannya. “Kekuatanmu masih belum sepenuhnya terbangun, tetapi meskipun begitu, kau mampu melukai pemimpin mereka. Itu menunjukkan potensi yang besar.”
Arka memandang tangannya sendiri. Kilatan cahaya emas yang muncul saat bertarung tadi masih terasa hangat dalam ingatannya. “Aku tidak tahu bagaimana aku melakukannya. Rasanya seperti… kekuatan itu mengendalikanku, bukan sebaliknya.”
“Itu normal,” kata Asha sambil tersenyum samar. “Kekuatan sebesar itu tidak bisa langsung kau kuasai. Dibutuhkan waktu, latihan, dan… jawaban.”
“Jawaban?” Arka mengerutkan kening.
Asha mengangguk. “Kekuatan itu berasal dari sesuatu yang lebih besar dari dirimu, Arka. Ada sejarah panjang di baliknya, dan kau harus menemukannya. Hanya dengan mengetahui asal-usul kekuatanmu, kau bisa benar-benar mengendalikannya.”
Suasana hening sejenak. Arka merenungkan kata-kata itu. Di dalam hatinya, ia tahu Asha benar. Kekuatan ini bukan sesuatu yang muncul begitu saja; ada takdir yang lebih besar yang terhubung dengannya.
“Aku harus pergi,” gumam Arka tiba-tiba.
Asha menatapnya dengan mata terkejut. “Pergi ke mana?”
“Untuk menemukan jawaban,” jawab Arka, menatap Asha dengan penuh tekad. “Aku tidak bisa terus lari atau hanya menunggu mereka menyerang lagi. Aku harus tahu siapa aku sebenarnya dan mengapa kekuatan ini ada padaku.”
Arka menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan rasa takut yang menyelimuti dirinya. Cahaya keemasan di tangannya semakin terang, memancarkan kehangatan yang aneh, namun menenangkan. Ia tahu bahwa melawan raksasa ini adalah ujian yang harus ia lewati.
“Arka, fokus!” teriak Asha dari sisi lain, mencoba menarik perhatian raksasa itu dengan serangan cepat. Namun, serangannya hanya menghasilkan goresan kecil di kulit tebal makhluk itu. Raksasa tersebut berbalik dan mengayunkan gadanya ke arah Asha, menciptakan hempasan angin yang membuat pohon-pohon di sekitarnya bergoyang keras.
Asha berhasil menghindar dengan lompatan gesit, tetapi dia berteriak lagi, “Aku tidak bisa mengalahkannya sendirian! Kau harus menggunakan kekuatanmu sekarang!”
Arka menggertakkan giginya, kemudian mengangkat kedua tangannya. Ia mencoba memusatkan energi yang ada di dalam tubuhnya, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Cahaya keemasan itu merambat dari telapak tangannya, melingkupi seluruh tubuhnya, hingga terasa seperti lapisan pelindung. Namun, ia masih tidak yakin bagaimana cara menyerang dengan kekuatan itu.
Raksasa itu kembali berbalik ke arah Arka, menggeram rendah. Mata merahnya bersinar tajam, penuh kebencian. Dengan langkah berat, ia mulai mendekati Arka, gada besar diangkat tinggi, siap menghantamnya.
“Cepat, Arka! Jangan ragu!” teriak Asha.
Saat gada itu meluncur ke arah Arka, waktu terasa melambat. Dalam kepanikan itu, suara misterius yang sama seperti di mimpinya terdengar lagi, bergema di benaknya.
“Percayalah pada dirimu sendiri. Kekuatan ini adalah milikmu. Jangan lawan, biarkan ia menyatu.”
Arka membuka matanya lebar, menyadari sesuatu. Alih-alih memaksakan kekuatan itu, ia memutuskan untuk membiarkannya mengalir, mengikuti arusnya. Ia melangkah maju, menatap raksasa itu dengan keberanian yang baru.
Saat gada raksasa hampir mengenai dirinya, Arka mengangkat tangannya. Cahaya keemasan meledak dari tubuhnya, membentuk perisai besar yang menghentikan serangan raksasa itu. Gada besar itu memantul, membuat raksasa tersebut mundur beberapa langkah.
Arka memanfaatkan momentum itu. Dengan gerakan spontan, ia melompat maju, mengarahkan kedua tangannya ke dada raksasa. Dari telapak tangannya, pancaran energi keemasan melesat, mengenai makhluk itu dengan kekuatan luar biasa. Suara gemuruh terdengar, dan raksasa itu terhuyung mundur sebelum akhirnya jatuh dengan tubuh yang perlahan berubah menjadi batu.
Asha, yang menyaksikan semuanya dari kejauhan, berlari mendekat. Wajahnya penuh kekaguman. “Arka… kau berhasil!” katanya, tersenyum lebar.
SArka berdiri terengah-engah, tubuhnya masih dipenuhi cahaya yang perlahan memudar. “Aku… aku tidak tahu bagaimana aku melakukannya. Rasanya seperti… kekuatan itu tahu apa yang harus dilakukan.”“Itulah artinya menyatu dengan kekuatanmu,” jawab Asha sambil menepuk bahunya. “Dan itu baru permulaan.”
Setelah raksasa itu hancur, jalan menuju Mata Air Kenangan terbuka. Mereka melangkah masuk ke sebuah area terbuka yang dikelilingi tebing tinggi. Di tengahnya, terdapat kolam kecil dengan air yang bening berkilauan, seolah-olah dipenuhi cahaya bintang.
Asha menuntun Arka ke tepi kolam. “Mata air ini bukan hanya air biasa. Ia menyimpan kenangan para pewaris sebelumnya. Dengan menyentuhnya, kau mungkin akan mendapatkan jawaban tentang dirimu… dan masa depanmu.”
Arka ragu sejenak, lalu berlutut di tepi kolam. Ia memandangi air itu, yang terasa memanggilnya. Perlahan, ia menyentuhkan tangannya ke permukaan.
Begitu tangannya menyentuh air, dunia di sekitarnya berubah. Ia mendapati dirinya berada di tengah-tengah ruang yang luas dan terang, dikelilingi oleh bayangan-bayangan manusia yang samar. Salah satu bayangan itu melangkah mendekat, semakin jelas menjadi seorang pria tua berjubah putih dengan tatapan bijaksana.
“Pewaris…” suara pria itu terdengar dalam dan tenang. “Akhirnya kau tiba.”
“Siapa kau?” tanya Arka dengan hati-hati.
“Aku adalah salah satu pewaris sebelumnya, penjaga kenangan ini. Aku di sini untuk menyampaikan kebenaran tentang kekuatan yang kini menjadi milikmu.”
Arka mendengarkan dengan saksama. Pria itu melanjutkan, “Kekuatan ini bukan hanya untuk bertarung. Ia adalah lambang keseimbangan, alat untuk menjaga dunia tetap seimbang antara cahaya dan kegelapan. Namun, dalam generasi terakhir, keseimbangan itu terganggu. Pewaris sebelumnya gagal menyelesaikan tugasnya, dan kini beban itu jatuh padamu.
”Arka menelan ludah. “Aku bahkan tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk melakukannya.
”Pria itu tersenyum. “Kekuatanmu akan tumbuh seiring dengan keyakinanmu. Tapi kau harus siap menghadapi kebenaran, tantangan, dan pengorbanan besar.”
Tiba-tiba, bayangan gelap muncul di kejauhan, menyusup ke ruang itu. Pria tua itu berubah serius. “Kegelapan sudah mengetahuinya. Mereka akan terus mengejarmu. Kau harus segera bersiap.”
Sebelum Arka sempat bertanya lebih banyak, semuanya menghilang. Ia kembali ke tepi kolam, dengan napas terengah-engah.
“Apa yang kau lihat?” tanya Asha dengan penuh penasaran.
Arka berdiri, matanya penuh tekad. “Kebenaran… dan tugas besar yang menantiku.”
Namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai.