Bab 9 Kenyataan Terpahit
Bab 9 Kenyataan Terpahit
“Ah Winter, kakak tidak bermaksud—”
“Sudahlah, kakak memang terkadang menyebalkan,” potong Winter yang kembali berbaring dengan selimut yang ia pakai hingga menutupi kepalanya.
‘Ah, dia merajuk lagi rupanya. Willy, bisakah kamu menjaga perkataanmu pada Winter?’ tanya Willy dalam hati sembari menghela napas lelah melihat sang adik yang tampak mengacuhkannya lagi.
“Winter, ayo makan dulu sarapannya... Setelah itu baru minum obat,” ujar Willy sembari menaruh box berisi makanan tersebut di atas meja kecil samping brankar.
“....” Winter tidak menyahut, tentu saja karena lelaki tersebut kini tengah merajuk bukan?
“Winter, ayolah... Jangan ngambek terus, kakak kan juga ingin berangkat bekerja,” ujar Willy berusaha memberi pengertian pada sang adik.
“Pergi saja, akan kumakan nanti,” balas Winter tampak acuh yang membuat Willy menghela napas berat.
“Ayo cepat makan. Kakak akan menunggunya. Kakak pun juga akan ikut makan. Maka dari itu, ayo sarapan bersama.”
“Aku tidak ingin.”
“Oh ayolah Winter, apakah kamu masih merajuk?”
“Aku tidak pernah seperti itu,” elak Winter yang berusaha menyangkal perkataan sang kakak barusan.
“Benarkah? Lalu ada apa dengan sikapmu yang mendadak berubah seperti itu? Jika bukan karena kamu sedang merajuk, lantas apa?”
“Sudahlah, kakak ingin aku apa sekarang?” tanya Winter yang kemudian merubah posisinya menjadi duduk.
“Winter—“
“Makan? Sarapan? Baiklah kalau begitu,” potong Winter yang langsung mengambil salah satu box yang tersedia.
“Winter—“
“Apalagi?” tanya Winter pada sang kakak dengan wajah lelahnya. Willy yang melihat pun menggeram. Dirinya, tentu saja tidak ingin adik kecilnya itu mendapatkan masalah lagi dikemudian hari. Karena itu, Willy benar-benar harus mencegahnya agar apa yang tengah dikhawatirkan tidak menjadi kenyataan kelak.
“Tolong dengarkan kakak baik-baik Winter,” ujar sang kakak dengan wajah yang sangat serius beserta nada rendah menggeram yang tertahankan.
“Apa? Apalagi yang perlu kudengar kakak?” tanya Winter dengan raut wajah datarnya.
“Mengapa kamu menjadi seperti ini Winter?” tanya balik sang kakak padanya.
“Memangnya apa yang salah denganku?”
“Kamu berubah Winter,” jawab Willy yang membuat Winter sontak terkekeh mendengarnya.
“Berubah menjadi seperti apa? Spiderman? Superman? Atau bahkan Hulk?” tanya Winter jenaka.
“Bukankah tadi kakak sudah bilang? Aku ingin berbicara serius, Winter.” Willy, memasang wajah tegasnya. Dirinya, sungguh muak dengan perlakuan sang adik sejak kemarin.
“Oh? Memangnya aku sedang bercanda?”
“....”
“Ah, baiklah-baiklah... Silahkan lanjutkan,” ujar Winter dengan senyuman samar yang tersungging di sudut bibirnya.
“Kamu tahu? Kamu hanya mengalami buta karena kecelakaan. Dan itu mungkin saja dapat sembuh dikemudian hari. Namun lihatlah orang-orang di luar sana yang terlahir dalam kondisi cacat? Buta, mereka tidak pernah melihat bagaimana rupa dan keindahan dunia sejak lahir ke bumi. Lumpuh, mereka tidak dapat berjalan seperti banyak orang saja lahir. Bisu, mereka tidak bisa berbicara untuk sekedar memberitahukan apa yang tengah ia rasakan sejak lahir. Selain ketiga itu, masih banyak lagi jenis kecacatan yang tentu kamu sendiri pasti mengetahuinya bukan? Namun, kebanyakan dari mereka tidak mengeluh akan apa yang telah di derita oleh mereka sejak lahir. Mereka, berusaha menerima walaupun memang kenyataan terkadang merupakan hal terpahit. Sedangkan kamu yang memiliki kemungkinan untuk sembuh saja sudah bersikap putus asa seperti ini? Apa kamu tidak malu Winter, cobalah kamu—“
“Cukup. Sudah hentikan perkataan sok bijakmu itu kak, aku sudah tidak tahan lagi,” potong Winter dengan raut wajah jengah nya.
“Tapi Winter, kamu—“
“Sekarang, bisakah kakak pergi saja? Jangan pikirkan aku, berangkatlah bekerja.”
“Kakak tidak akan bekerja untuk—“
“Mengapa? Karena aku? Justru karena aku ingin sendiri tanpa diganggu orang lain saat ini. Jadi, lebih baik kakak pergi secepatnya dari ruangan ini.”
“Winter—“
“Pergi! Kubilang pergi, apa kakak ini sudah tuli?” tanya Winter dengan kening berkerut.
“Baiklah kakak akan pergi. Akan tetapi, kamu renungkanlah perkataan kaka tadi dengan baik. Kakak berangkat,” ujar Willy final menuruti kemauan sang adik dan langsung bergegas keluar ruangan meninggalkan Winter yang masih diam di tempat dengan arah pandang lurus ke arah pintu yang sudah kembali tertutup.
“Dia berbicara seperti itu, bukankah itu karena dia tidak pernah mengalami ini semua?” Tanya Winter pada dirinya sendiri. Dirinya merenung sejenak, kemudian memutuskan untuk beranjak dari brankar rumah sakit menuju ke arah pintu.
“Bisakah aku keluar? Ah, kuharap tidak terjatuh atau tertabrak seperti tadi. Sungguh memalukan,” gumam Winter yang kemudian memutar knop pintu dan bergegas keluar dari sana sembari sedikit meraba berharap untuk tidak menabrak sesuatu di luar sana.
Winter melangkahkan kakinya semakin menjauh. Sungguh, Winter benar-benar melakukan hal nekat saat ini. Tanpa pendamping, ia berjalan seorang diri tak tentu arah hingga pada akhirnya ia pun ditegur oleh salah seorang suster yang melewatinya.
“Maaf, anda ingin kemana ya?” tanya suster tersebut yang sudah mengetahui bahwa Winter tengah dalam kondisi buta saat ini.
“Tidak tahu,” jawab Winter tampak acuh. Sang suster tersenyum, tentu ia sangat mengerti. Ia juga pernah mengalami hal itu. Bukan karena ia pernah buta, namun ia pernah bertugas mendampingi orang buta yang belum dapat menerima pahitnya takdir.
“Bagaimana jika taman? Udara di sana cukup sejuk agar anda bisa menenangkan pikiran,” ujar suster tersebut menawarkan.
“Terserah,” jawab Winter lagi acuh.
“Baiklah kalau begitu, ayo ikuti saya,” ajak suster itu yang kemudian mulai berjalan guna menunjukkan arah taman pada Winter yang mengikuti di belakang.
“Terima kasih,” ujar lelaki tampan itu pada suster yang sudah mengantarnya hingga kemari.
“Tidak masalah, kalau begitu saya harus kembali bertugas. Setelah selesai, mohon untuk kembali ke ruangan anda,” balas suster tersebut yang kemudian berlalu pergi meninggalkan Winter yang kini sudah duduk dengan tenang di salah satu bangku taman yang tersedia.
“Ini jauh lebih baik dibandingkan ruangan serba putih membosankan itu,” gumam Winter menatap kosong apa pun yang tengah ditatapnya saat ini.
“Hai kakak!” seru seorang bocah laki-laki yang membuat kening Winter berkerut.
‘Apa bocah itu memanggilku?’ tanya Winter pada dirinya sendiri dalam hati.
“Halo, Kakak? Apa Kakak tuli?” tanya bocah tersebut yang kini sudah duduk tepat di samping Winter.
“Apa?! Kamu bilang apa?!” tanya balik Winter dengan tampang kesal bukan main.
‘Sudah buta begini, masih dibilang tuli juga? Sungguh benar-benar sial. Buta saja sudah cukup. Aku tidak tuli dasar bocah!’ Maki Winter dalam hati. Sungguh, dirinya benar-benar dibuat kesal oleh bocah ini.
“Oh... Kakak ternyata juga tidak bisu ya? Kakak baru saja menjawabku,” ujar bocah tersebut dengan polosnya yang membuat Winter benar-benar ingin menelannya bulat-bulat.
Menurut kalian, siapakah bocah tersebut? Mengapa dia menghampiri Winter yang tengah menyendiri itu? Apakah karena kebetulan ia tersesat? Atau bocah itu merasa menyukai Winter karena sedari tadi ia melihat lelaki yang lebih tua darinya itu terus saja menggerutu?