Bab 10 Berusahalah Untuk Menerima
Bab 10 Berusahalah Untuk Menerima
‘Sudah buta begini, masih dibilang tuli juga? Sungguh benar-benar sial. Buta saja sudah cukup. Aku tidak tuli dasar bocah!’ Maki Winter dalam hati. Sungguh, dirinya benar-benar dibuat kesal oleh bocah ini.
“Oh... Kakak ternyata juga tidak bisu ya? Kakak baru saja menjawabku,” ujar bocah tersebut dengan polosnya yang membuat Winter benar-benar ingin menelannya bulat-bulat.
“Tidak.” Winter berusaha menjawab dengan nada tenang.
“Um… begitu ya….”
“Oh iya, kakak umurnya berapa?” tanya bocah itu pada Winter yang berusaha untuk acuh.
“Tidak tahu,” jawab Winter asal.
“Kok tidak tahu? Kakak ini tidak pernah dilahirkan ya? Eh maksudnya kakak lahir di hutan dan dilahirkan oleh kera ya hingga tidak tahu tanggal, bulan, dan tahun?” tanya bocah itu lagi dengan sangat polosnya yang membuat Winter benar-benar geram.
“Dasar bocah sialan kamu ini! Kamu pikir aku ini tarzan hah?! Dasar bocah tidak jelas!” Maki Winter yang memang sudah tidak tahan lagi.
“Kok kakak marah? Kata kakakku, kalau orang marah itu tandanya ia sedang malu mengakui dirinya sendiri. Kakak malu ya padaku? Tidak perlu kok kak, anggap saja kita teman,” ujar bocah tersebut dengan cengiran lucu yang membuat siapapun yang melihat pasti gemas sendiri. Namun tentu berbeda dengan Winter, dirinya benar-benar ingin melahap bocah ingusan ini tanpa dikunyah lagi.
“Teman mbahmu! Sudah sana pergi bocah! Jangan ganggu orang lain. Dasar anak bandel!”
“Uh… kakak kok begitu sih? Oh iya, kenapa mata kakak kosong? Biasanya saat menatap kakakku, matanya terpantul cahaya atau sesuatu. Kakak buta ya?” tanya bocah tersebut yang membuat Winter mengubah raut wajahnya.
“Sebaiknya kamu pergi sebelum aku benar-benar memutuskan untuk menelanmu hidup-hidup,” ujar Winter memperingati bocah laki-laki itu.
“Kata kakakku, manusia yang memakan manusia lain disebut dengan kanibal. Jadi, kakak termasuk golongan itu ya? Bukankah itu mengerikan? Kakak tidak seharusnya seperti itu. Kakak yang sabar ya, mungkin ini memang nasib kakak yang menjadi seperti ini.”
“Apa yang barusan kamu katakan bocah sialan?! Sungguh, kamu membuatku kesal bukan main,” ujar Winter dengan urat lehernya yang mulai timbul. Sejujurnya, Winter memang sedikit menjadi sensitive dan temperamental akhir-akhir ini.
“Maafkan adik saya tuan,” ujar sosok gadis cantik berambut panjang yang melerai keduanya dengan segera. Winter mengernyitkan kening untuk yang kedua kalinya.
‘Sekarang siapa lagi? Benarkah kakak dari bocah sialan ini?’ tanya Winter dalam hati.
“Kakak!” pekik bocah itu senang lalu berhambur ke dalam gendongan sang kakak.
“Lain kali jaga adikmu baik-baik,” ujar Winter dengan ketus.
“I-iya tuan, maafkan saya sekali lagi,” balas gadis itu sembari menunduk.
“Tuan? Mengapa kakak memanggilnya tuan? Kakak kan bukan bawahan dia,” tanya bocah itu pada sang kakak dengan kening berkerut.
“Zee, lain kali jangan pergi tanpa sepengetahuan kakak lagi ya? Bagaimana jika Zee kenapa-napa nanti? Zee harus izin terlebih dahulu ya,” ujar sang kakak tanpa mengindahkan pertanyaan bocah lelaki yang di panggil ‘Zee’ tadi.
“Iya, Zee minta maaf kakak. Oh iya, kakak duduk dulu saja… kakak pasti lelah karena sudah mencari Zee kemana-mana bukan? Loh, kakak kok tidak menggunakan tongkat lagi? Kakak tidak menabrak kan tadi?” tanya Zee dengan raut wajah khawatir.
‘Tunggu, tongkat? Tidak menabrak? Mengapa terdengar sangat ambigu?’ tanya Winter dalam hati dengan kening berkerut.
“Tidak Zee, kakak baik-baik saja kok. Tidak perlu, lebih baik kita kembali saja ya… kamu sudah mengganggu kakak ini dengan kenakalanmu, sekarang ayo minta maaf padanya,” ujar sang kakak dengan lembut pada adiknya itu.
“Hum… baiklah kakak….”
“Hai kakak pemarah, maafkan Zee karena sudah mengganggu ya,” ujar Zee dengan sangat imutnya namun tetap membuat Winter kesal.
“Apa katamu? Pemarah?” tanya Winter yang membuat raut wajah kakak dari lelaki kecil itu berubah.
“Ah maafkan adik saya tuan, dia memang sedikit blak-blakan saat berbicara. Maafkan adik saya sekali lagi, kalau begitu kami permisi,” ujar gadis itu yang kemudian berniat membawa sang adik pergi menjauh sebelum Zee akhirnya kembali membuka suara.
“Kakak, kakak tidak ingin berbincang dengannya? Dia juga buta seperti kakak,” ujar Zee dengan polosnya yang membuta Winter dan sang kakak pun terbelalak mendengarnya.
“Zee, apa yang kamu—“
“Itu benar kakak!” potong Zee membela diri.
“Jangan berbicara seperti itu Zee!”
“Maafkan adik saya sekali lagi tuan,” ujar sang kakak yang benar-benar merasa tak enak hati pada Winter.
“….” Winter tidak membalas sepatah kata pun. Dirinya bungkam, tak berminat untuk membuka suara hanya untuk sekedar membalas perkataan gadis yang tak dikenalnya itu.
“Maaf sekali lagi. Namun, benarkan anda buta tuan?” tanya gadis itu penuh hati-hati.
“Apa?” tanya Winter tidak suka.
“Um, tidak… hanya saja ada yang ingin aku sampaikan padamu tuan. Mengingat pasti anda baru mengalaminya bukan? maaf jika lancang, namun berusahalah untuk menerima semuanya tuan. Seperti saya, kini sudah dapat dengan bebas menikmati kondisi cacat seperti ini. Memang pada awal sangat berat, namun terus berjuanglah, anda pasti bisa melawati semuanya sesuai kehendak. Jadi, jangan menyerah dengan keadaan ya tuan. Um… sepertinya hanya itu yang dapat aku sampaikan, maaf jika menyinggung. Kalau begitu, kami permisi sekarang,” ujar gadis itu yang kemudian langsung terburu-buru pergi meninggalkan Winter seorang diri yang entah mendengarkan atau tidak perkataan singkatnya barusan.
“Berusaha untuk menerima ya?” tanya Winter setelah kedua orang itu pergi berlalu dari hadapannya dengan seringai yang terbit di sudut bibirnya. Sungguh, Winter sudah benar-benar kacau saat ini. Terkadang, pikiran dengan apa yang ingin ia lakukan atau perbuat tampak tak sinkron.
“Winter!” panggil sesosok laki-laki yang sedikit berlari ke arahnya. Sontak, Winter yang mengetahui asal suara tersebut pun menoleh dengan dahi berkerut.
“Winter! Kamu ini membuat kakak khawatir saja! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu pada kakak sebelumnya hah?!” tanya Willy, sang kakak dengan sedikit membentak dengan nada khawatir yang tersirat.
“Oh? Kakak tidak bekerja?” tanya balik Winter yang tampak acuh dengan sang kakak.
“Bagaimana kakak bisa bekerja jika kamu terus saja membuat kakak khawatir?! Kakak meninggalkanmu sejenak hanya untuk memberikan waktu agar kamu dapat merenungkan perkataan kakak tadi. Namun sepertinya, kamu benar-benar tidak memperdulikannya ya?”
“Ya, tentu saja. Bukankah itu semua hanya omong kosong belaka yang sangat tidak penting jika kurenungkan dengan dalam? Hanya membuang-buang waktu saja kan?” Winter membalas dengan senyum licik. Sungguh, Willy benar-benar merasakan perbedaan pesat dari sang adik. Winter yang dahulu selalu ceria, berkata dan bersikap sopan padanya kini menjadi seperti ini. Sebelumnya, Winter tak pernah memperlihatkan seringai seperti itu pada sang kakak.
Menurut kalian, apa yang dapat Willy lakukan untuk adik tercintanya itu? Dapatkan ia berhasil mengubah kembali sosok Winter menjadi seperti dulu lagi? Mungkin kita hanya bisa melihat proses ke depannya, akankah itu terwujud? Atau hanya angan-angan belaka?