Ringkasan
Winter harus menerima kenyataan untuk tidak bisa melihat dunia lagi, karena kecelakaan balap liar mobil dini hari. Winter yang seorang ekstrovert berubah 180 derajat menjadi pendiam dan hampir tidak pernah peduli dengan lingkungan sekitar. Sampai ia bertemu dengan seorang perawat di sebuah panti jompo –Shine- yang diminta oleh sang kakak –Willy-, untuk merawat Winter, usai pulang bekerja sebagai perawat. Sulit untuk merawat Winter yang tidak tahu maunya apa dan selalu memaksa diri untuk mengurus hidupnya sendiri, padahal ia tak bisa.
Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
“Ada apa dengan mobil ini?!” tanya Winter dengan raut wajah gusarnya. Kini, pemuda tampan itu benar-benar tidak fokus saat ini. Ya, sampai-sampai ia tidak menyadari sama sekali bahwa terdapat sebuah truk yang tengah melintas ke arahnya.
Tin…tin…!!
Winter, tersentak kaget saat mendengar suara klakson mobil truk yang terdengar nyaring ditelinganya. Spontan, ia pun sontak membanting stir mobilnya hingga tercipta suara benturan keras yang sungguh memekakkan telinga.
Braakkk…!!
Mobil yang tengah dikendarai oleh Winter, terpantul keluar dari jalur lintas hingga menabrak pembatas jalan layang atau yang biasa disebut fly over. Tentu, karena benturan yang cukup keras, pembatas tersebut pun patah yang membuat mobil Winter terjun bebas ke jalanan sepi menuju terowongan. Sontak, para pengemudi yang ingin melintasi terowongan tersebut pun sebagian berhenti guna menolong Winter yang kini masih berada di dalam mobil miliknya.
“Hey! Cepat selamatkan orang di dalam sebelum terlambat! Mobil tersebut jatuh dari fly over,” seru salah satu pengemudi motor yang langsung mendekati mobil Winter yang sudah terlihat hancur.
“Apa dia jatuh dari yang paling atas?”
“Tidak, kurasa dia baru menaiki fly over tersebut, maka dari itu mungkin benturannya tidak separah yang kita pikirkan. Sudah cepat bantu buka pintu mobilnya.”
Setelah pintu mobil terbuka dengan paksa, tubuh serta wajah Winter yang sudah penuh dengan luka pun akhirnya terlihat. Ya, pria itu memang sudah tidak sadarkan diri sejak kepalanya terbentur keras oleh stir mobil.
“Cepat telpon ambulans!” seru salah seoarang yang khawatir bahwa pemuda itu tidak akan selamat sebelum ditangani.
Tak lama menunggu, ambulans pun akhirnya datang. Kebetulan, memang daerah tersebut lumayan dekat dengan rumah sakit.
Tubuh Winter yang sudah tak berdaya, dikeluarkan dari mobil miliknya yang sudah tak terbentuk dan langsung dimasukkan ke dalam ambulans untuk segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
***
Dengan tergesa-gesanya, seorang lelaki tampan dengan rahang tegas berlari dengan raut wajah panik menuju arah ruang UGD. Dirinya begitu syok saat mendapat kabar bahwa sang adik, Winter mengalami kecelakaan. Ya, pria itu memang merupakan kakak laki-laki Winter—Willy.
Saat mendengar pintu ruang UGD terbuka, Willy pun sontak mendongakkan kepalanya dan bergegas menyerbu sang dokter dengan berbagai pertanyaan.
“Bagaimana keadaan adik saya dok? Apa ada hal serius yang terjadi padanya? Apakah dia mengalami cidera? Tidak ada sebuah komplikasi yang terjadi padanya bukan? Ah, apa dia—“
“Tolong tenang sedikit pak, saya akan menjelaskan terkait kondisi pasien saat ini,” potong sang dokter yang paham akan Willy yang saat ini tengah sangat mengkhawatirkan sang adik.
***
Di sisi lain, saat ini Shine baru saja mendapatkan pengumuman bahwa ia telah diterima menjadi perawat di sebuah panti jompo.
“Ah, akhirnya aku diterima juga… senang dan lega sekali rasanya,” ujar Shine sembari menghela nafas lega.
“Hm, dengan begitu… itu berarti aku harus mengikuti pelatihan selama 3 bulan bukan?”
“Lebih baik aku segera mengabari papa dan mama tentang hal ini terlebih dahulu,” gumamnya yang langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya.
Namun saat hendak memencet kontak sang mama, tiba-tiba saja bahu Shine tertabrak oleh seseorang dengan lumayan kencang yang tentu membuat ponselnya pun berakhir jatuh.
“Maaf, aku sedang tidak melihat jalan tadi,” ujar orang tersebut kemudian mengambil ponsel Shine yang terjatuh karenanya.
“E-eh? Tidak apa-apa, memang lumayan ramai di sini, seharusnya aku lebih fokus,” balas Shine sembari menerima sodoran ponsel miliknya.
“Coba dicek terlebih dahulu, takutnya ada yang rusak atau bermasalah. Jika iya, aku bersedia menggantikannya karena itu memang salahku,” ujar orang itu sembari tersenyum pada Shine.
“Ah, baik… aku cek terlebih dahulu,” balas Shine kemudian mengecek poselnya.
“Bagaimana?”
“Sepertinya baik-baik saja kok.”
“Syukurlah kalau begitu. Oh ya, ngomong-ngomong kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanya orang tersebut pada Shine.
“Namaku Shine. Lalu kamu?”
“Namaku Dimas. Salam kenal ya,” jawabnya dengan senyum lebar.
“Salam kenal juga. Ngomong-ngomong, kamu ini orang mana?”
“Maksudmu asal kotaku?” tanya Dimas balik memastikan.
“Iya, dari mana asalmu?”
Ya, setelahnya, Shine dan Dimas pun melanjutkan cengkerama hangat mereka disalah satu kursi yang tersedia di sana. Terkadang, baik Dimas ataupun Shine dibuat tertawa oleh celotehan masing-masing.
***
Saat ini, Shine tengah kembali berada di Batam. Mengapa? Karena ia ingin mengadakan acara perpisahan dirinya bersama dengan Seva, Revan, Divo, dan juga Choki.
Ya, seperti halnya pada malam ini. Ia, kini tengah menikmati pestanya bersama dengan teman-teman dekatnya.
“Waaaa… akhirnya Shine jadi juga pergi ke Jepang, bertemu dengan Winter, hoho …,” seru Choki, yang sebenarnya sedang mengejek Shine.
“Jadi dong… kalian jangan rindu padaku, yaah….” Shine menimpali ucapan yang Choki lontarkan dengan balik meledek.
“Rindu apaan, paling Seva saja yang kehilangan, kami sih, biasa saja… iya nggak Div?”
“Jadi, kamu ke Jepang untuk menemui Winter, iya?” tanya Choki, lagi.
“Untuk bekerja. T—tapi i—iya juga… agar bisa bertemu dengan Winter,” balas Shine, yang masih saja menyombongkan dirinya.
‘Shine… Shine… lagi-lagi membahas pacar bohong mu,’ batin Seva merasa geli dengan drama yang dilakukan oleh sahabatnya itu.
Shine, masih memiliki waktu hingga lusa untuk berada di kota Batam, sebelum pelatihan dan akhirnya pergi ke Jepang, tiga bulan kemudian, usai pelatihan.
***
Hari ini, merupakan hari dimana Shine harus pergi ke Jakarta untuk menjalani pelatihan di sana. Ia, diantar oleh kedua orang tuanya, yaitu Shifa dan Nevan. Kini, ketiga orang tersebut sudah berada di bandara Hang Nadim.
“Shine, jangan lupa untuk sering-sering menghubungi mama dan papa ketika di sana ya. Kamu ini kan merantau di kota orang, jika ada apa-apa langsung kabari kami ya,” ujar sang mama mengingatkan dirinya.
“Iya mama, Shine pasti akan selalu mengabari jika ada sesuatu. Jadi, mama tidak perlu mengkhawatirkan Shine ya,” balas Shine sembari tersenyum lebar pada sang mama.
“Baiklah, hati-hati di sana ya… semoga pelatihanmu di sana dilancarkan.”
“Iya mama, semoga saja ya….”
“Oh iya pa, kamu tidak ingin mengucapkan apapun pada anakmu?” tanya Shifa pada sang suami.
“Ah, hati-hati ketika di sana ya sayang. Jangan melupakan hal-hal penting, apalagi makan dan beristirahat. Meski sesibuk apapun itu, kamu harus tetap mengingat keduanya,” ujar Nevan yang baru bersuara setelah sang istri menegur dirinya.
“Iya papa, Shine akan mengusahakannya nanti,” balas Shine yang membuat sang papa mengacak pelan puncak kepalanya.
“Baik-baik di sana, jangan sampai terlibat dengan cinta sebelum kamu selesai menjalani pelatihan selama 3 bulan,” bisik Nevan tepat di telinga sang anak.
“Papa sakit ya?”
“Tidak kok.”
“Oh, penerbangan ke Jakarta tinggal 5 menit lagi. Lebih baik kamu masuk sekarang saja Shine,” ujar Shifa yang membuat Shine tersadar.
“Ah iya. Kalau begitu Shine berangkat dulu ya ma, pa,” balas Shine yang kemudian mengecup pipi kedua orang tuanya secara bergantian.
“Hati-hati sayang!” ujar Shifa sedikit meninggikan suaranya agar sang anak dapat mendengar.
“Iya mama!” balas Shine yang juga ikut berteriak. Setelahnya, barulah Shine kembali melanjutkan langkah kakinya masuk ke dalam bandara.