Bab 2 Pria Cacat
Bab 2 Pria Cacat
“Maaf, tapi saya sudah melakukan yang terbaik untuk pasien. Benturan terlalu keras yang membuat keadaannya menjadi seperti ini. Sekali lagi maaf jika adik anda harus cacat karena kecelakaan ini,” ujar sang dokter yang menangani Winter.
“Tidak apa-apa dokter, terima kasih karena sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk adik saya. Mungkin ini memang sudah garis takdirnya, namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada,” balas Willy memaklumi. Namun sebenarnya, ada perasaan lain yang kini terbenam di lubuk hatinya. Sungguh, dirinya begitu tak tega ketika harus melihat kondisi sang adik nanti.
“Ah, perlu saya ingatkan. Untuk kesan pertama, kebanyakan pasien tidak dapat menerimanya. Untuk itu, tolonglah untuk menenangkan pasien nantinya. Dan juga, sepertinya saya akan melakukan beberapa tes saat perban nya di buka nanti. Jadi, sebaiknya sebelum perban tersebut dibuka, anda sudah lebih dulu memberikan pengertian halus terhadap pasien,” ujar dokter tersebut mengingatkan Willy.
“Baik dok, saya akan berusaha untuk memberikan pengertian agar ia lebih tenang nantinya. Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, bolehkah saya permisi?” balas dan tanya Willy pada dokter itu.
“Tidak ada, anda boleh langsung menemui pasien,” jawab dokter tersebut yang membuat Willy mengangguk ramah.
***
Saat ini, Willy tengah berada di ruang perawatan sang adik. Ia tidak sendiri, melainkan ditemani oleh teman Winter, yaitu Iruka. Ya, gadis itu memang terbilang cukup dekat dengan Winter.
“Iruka, terima kasih sudah repot-repot mau menjenguk Winter,” ujar Willy pada Iruka berterima kasih.
“Ah, tidak apa-apa kok kak. Itu sama sekali bukan masalah, lagipula kan memang Winter itu temanku. Jadi, apa salahnya jika aku menjenguk teman yang sedang sakit bukan?” tanya Iruka sembari tersenyum hangat pada kakak dari temannya itu.
“Begitu ya? Syukurlah kalau memang tidak merepotkan,” jawab Willy yang kemudian kembali terfokus pada sang adik yang mulai memberika respon.
“Winter?” panggil Willy pada sang adik dengan perasaan yang campur aduk.
“Ukhh… a-air.” Winter, meminta dengan suaranya yang begitu serak. Sungguh, Winter sangat sulit untuk mengeluarkan suara saat ini. Namun apa daya, kerongkongannya terasa begitu kering, ia membutuhkan air untuk melepas dahaganya.
“A-ah, ini… minumlah secara perlahan,” ujar Willy yang dengan sigap mengambilkan segelas air putih yang tersedia untuk adik tercintanya itu.
“Terima kasih.”
“Tunggu, mengapa mataku tidak bisa terbuka? Ini sangat berat sehingga aku sulit untuk membukanya,” tanya Winter langsung saat ia merasa kesulitan membuka matanya.
“Winter, kamu tenang dulu ya….”
“Tenang untuk apa? Memangnya kenapa? Aku kan hanya bertanya,” tanya Winter lagi merasa heran dengan sang kakak.
“Ah itu—“
Toktoktok…!
Belum sempat Willy menyelesaikan ucapannya, pintu ruangan pun tertutup yang membuat ketiganya pun sontak menoleh ke arah sumber suara.
“Permisi, apakah mengganggu?” tanya dokter yang baru masuk ke dalam ruangan tersebut.
“Tidak dok, ada apa ya?” tanya balik Willy pada dokter tersebut.
“Tadinya saya hanya ingin berbicara pada anda, namun sepertinya pasien sudah siuman ya?”
“Dia baru saja siuman dok, maaf jika saya belum sempat memberitahukannya.”
“Ah tidak masalah. Apa mau membuka perbannya sekarang?” tanya dokter tersebut yang entah membuat Willy seketika menahan nafasnya.
“Sekarang ya dok?” Willy, malah bertanya bailik dengan ragu.
“Apa pasien siap?”
“Sebenarnya ada apa ini? Mengapa kalian menjadi seperti itu? Membuka perban? Ah, apa itu penyebab mataku menjadi sulit terbuka?” tanya Winter yang benar-benar tak mengerti apa yang mereka semua maksud.
“Apa anda belum menjelaskannya?” tanya dokter pada Willy.
“Belum dok,” jawab Willy yang membuat sang dokter menghela nafas berat.
“Baiklah begini, mari kita cek, bagaimana kondisi anda sebenarnya,” ujar dokter tersebut pada Winter.
“Sebenarnya ada apa? Jangan membuatku semakin pusing memikirkan ocehan kalian yang tidak jelas dan tidak aku mengerti sama sekali,” tanya Winter yang mulai kesal. Sungguh, ia tidak suka orang yang menghiraukannya seperti itu. Sedari tadi, ia sudah bertanya-tanya mengenai apa yang telah terjadi terhadap. Namun, sang kakak dan dokter tersebut malah menghiraukan pertanyaan darinya.
“Tenanglah, saya hanya akan memeriksa terlebih dahulu. Sekarang, bolehkah saya membuka perban yang menutupi mata anda saat ini?”
“Ah, boleh… saya juga sudah tidak betah seperti ini,” jawab Winter yang tampak risih dengan perban yang membalut di sekitar matanya. Dan berkat perban itu pula, Winter tak dapat membuka matanya karena tertahan.
“Baiklah, kalau begitu saya akan mulai membuka perban nya. Suster, tolong bantu saya pegang kan ini,” ujar dokter tersebut pada suster yang memang sedari tadi berada di sampingnya.
Sang dokter, mulai membuka perban Winter dengan sangat hati-hati. Di bantu oleh suster yang dipercayakan, dan juga didampingi oleh kakak Winter—Willy serta Iruka yang merupakan teman dari lelaki yang kini tengah dibuka perban nya itu.
Perban sudah berhasil dibuka dengan pasti. Namun, dokter menyarankan agar Winter tak langsung membuka matanya. Tentu, Winter pun menurut dan tidak membuka matanya terlebih dahulu. Sementara Willy, pria itu saat ini benar-benar dibuat cemas. Tentu saja dia sangat mengkhawatirkan reaksi sang adik nanti. Ia tidak siap, melihat keadaan sang adik nantinya saat membuka mata. Sungguh, Willy benar-benar tak tega.
Sementara Iruka, kini dibuat mengernyit. Ia tidak tahu menahu mengenai kondisi Winter saat ini. Ia, hanya mengira bahwa Winter dalam kondisi yang tidak baik. Selebihnya, ia tidak tahu mengenai apapun perihal tersebut.
“Apakah saya sudah diperbolehkan untuk membuka mata?” tanya Winter yang terlihat sudah sangat tidak nyaman.
“Baiklah, sekarang buka matamu secara perlahan. Hati-hati, jangan terlalu terburu-buru, itu akan membuat kepalamu pusing setelahnya,” jawab dokter tersenyum yang membuat Winter menghela nafasnya lega. Ya, pada akhirnya ia pun diperbolehkan untuk membuka mata.
Winter, menuruti apa yang dikatakan oleh dokter tersebut. Ia, dengan perlahan membuka matanya yang terasa sangat berat. Setelah mata tersebut terbuka sempurna, tampak jelas terlihat sorot kosong dari bola mata pemuda tampan itu. Pandangannya, lurus ke depan, begitu terfokus pada dinding putih yang berada di hadapannya saat ini.
“Apakah di sini ada yang mematikan lampu?” tanya Winter pada orang yang berada di ruangan tersebut.
“Maksudnya?” Iruka bertanya, dengan dahi yang ia kerutkan. Sementara Willy, pria itu tengah berusaha menenangkan perasaannya yang begitu sesak setelah mendengar pertanyaan sang adik yang begitu menceloskannya.
Ah… menurut kalian, apa yang telah terjadi sebenarnya di sini? Apa yang terjadi apa daya Winter sehingga ia bertanya seperti itu? Dan juga, mengapa Willy begitu merasa sesak mendengar pertanyaan yang sang adik lontarkan saat pemuda itu membuka mata? Jawabannya, silahkan kalian temukan pada bab-bab selanjutnya.