Bab 3 Haruskah Menerima Kenyataan
Bab 3 Haruskah Menerima Kenyataan
“Apakah di sini ada yang mematikan lampu?” tanya Winter pada orang yang berada di ruangan tersebut.
“Maksudnya?” Iruka bertanya, dengan dahi yang ia kerutkan. Sementara Willy, pria itu tengah berusaha menenangkan perasaannya yang begitu sesak setelah mendengar pertanyaan sang adik yang begitu menceloskannya.
“Winter, apa yang tengah kamu rasakan saat ini? Apa yang kamu lihat?” tanya Willy berusaha bertanya pada sang adik dengan jantungnya yang bergemuruh.
“Gelap, kosong, ini benar-benar gelap kak. Hey, tolong jangan bercanda… ini terlalu gelap, aku tidak bisa melihat apapun. Kalian ini sebenarnya sedang mengerjaiku ya?” Winter, malah balik bertanya. Ia, sesekali terkekeh kecil saat mengira bahwa sang kakak ternyata tengah menjahilinya.
“Oh ayolah kak, aku baru saja kecelakaan bukan? lantas mengapa dengan tega kakak mengerjaiku seperti ini? Dan oh ya, Iruka… kamu sedang ada di sini bukan? jelas sekali tadi aku mendengar suaramu. Hey, bisa tolong nyalakan saja lampunya? Ini tidak lucu.”
“Sebaiknya anda tenang terlebih dahulu. Saya akan menjelaskan semuanya,” ujar sang dokter yang terdengar sangat serius di telinga Winter. Sontak, pria tampan dengan rahangnya yang tegas itu terdiam sempurna. Raut wajahnya berubah menjadi datar, sangat datar.
“Apa yang ingin anda jelaskan dok?” tanya Winter dengan nada dinginnya yang membuat suasana ruangan semakin menegang dan mencekam.
“Dapatkan anda melihat sebuah warna?”
“Tidak.”
“Dapatkah anda melihat sebuah cahaya?”
“Ya.”
“Apa anda berkata dengan jujur?”
“Tidak.” Dokter tersebut, menghela nafas ketika Winter menjawab.
“Baiklah, kalau begitu lebih baik kita pastikan sekarang juga,” ujar dokter itu yang ingin memberitahukan secara halus tentang kondisi pasiennya saat ini.
“Mari kita lakukan tes lapang pandang,” lanjut dokter itu dengan lelah. Pasalnya, ia memang sudah mengetahui hal tersebut. Maka, akan percuma jika melakukan tes tidak berpengaruh seperti itu.
“Apa tidak—“
“Tidak apa-apa,” jawab dokter tersebut pada Willy.
“Nah sekarang, responlah cahaya maupun gerakan yang akan diisyaratkan oleh suster pada sudut pandang yang berbeda. Dan anda, tidak harus menggerakkan mata saat hal itu terjadi,” ujar dokter itu pada Winter. Sedangkan suster yang dimaksud pun sudah mengerti dan memulai gerakan isyarat seperti yang diminta oleh dokter.
“Apa anda melihat sesuatu?” tanya dokter tersebut pada Winter.
“Tidak.”
“Jika begitu, saya sebelumnya meminta maaf. Anda, dinyatakan buta,” ujar sang dokter yang sudah berusaha untuk berhati-hati.
“….” Tak ada respon, lelaki dengan nama yang berarti musim dingin itu hanya menyunggingkan sebuah senyuman. Ya, senyuman yang tak pernah dilihat oleh Willy dan Iruka selama ini.
“Winter… kamu—“
“Kenapa kak? Ada apa? Ingin bicara apa?!” Winter membentak sang kakak di akhir kalimatnya yang membuat Willy tersentak kaget.
“Witer, tenanglah dulu ya,” ujar Willy yang berusaha mengelus puncak kepala sang adik. Namun sebelum itu terjadi, Winter sudah lebih dulu menepis dengan sangat kasar tangan kakaknya itu.
“Benar-benar keterlaluan, ini sudah kelewatan. Siapa, siapa yang kau bilang buta dok?! Siapa?! Kau pikir aku bodoh?! Hentikan omong kosong ini. Bercandamu sungguh sudah keterlaluan kak. Aku benar-benar tidak menyukainya sama sekali,” balas Winter dengan raut wajahnya yang mengeras, menandakan bahwa saat ini ia tengah berada di masa emosi yang memuncak.
“Winter, kakak mohon… jangan seperti ini, kamu tenanglah dulu ya,” ujar Winter sembari mengelus kepala sang adik dengan sayang. Sungguh, ia berharap hanya saat ini saja Winter bersikap seperti ini.
Grep…!
Winter, menahan tangan sang kakak dengan sangat kuat yang membuat tangan Willy mulai terlihat kemerahan. Namun sang empunya yang di cengkram kuat pun tidak menggubris. Ia rela, jika dengan itu Winter dapat tenang, ia mau melakukan dan memberikan apa saja untuk sang adik.
“Apa yang sedang kakak sembunyikan dariku?” tanya Winter sambil menatap sang kakak dengan tatapan elang miliknya.
“Maaf, bisakah tinggalkan saya berdua dengan Winter di sini?” tanya Willy pada semuanya meminta izin.
“Baiklah, kami akan keluar agar kalian berdua dapat—“
“Untuk apa? Untuk apa mereka keluar? Apa yang akan tidak bicarakan?” tanya Winter dengan rahangnya yang sudah mengeras sedari tadi.
“Maaf.” Willy tidak mengindahkan pertanyaan sang adik. Hingga pada akhirnya, semua orang yang berada di dalam ruangan pun memutuskan untuk tetap keluar sehingga menyisakan adik-kakak yang tengah saling menatap satu sama lain.
“Winter, bisakah kita berbicara baik-baik terlebih dahulu?” tanya Willy sembari meneguk salivanya susah payah.
“Bicara apa? Apa yang perlu dibicarakan? Bercandamu sungguh tidak lucu kak. Akan tetapi tidak masalah, aku menunggumu untuk menyerah,” jawab Winter yang terdengar berusaha membuat jenaka. Raut wajahnya kini juga sudah mulai mengendur menjadi seperti semula.
“Winter, kakak mohon… jangan seperti ini ya….” Willy, dengan perlahan mengelus lembut puncak kepala sang adik.
“….”
“Winter, itu semua benar… benar bahwa kamu memang dinyatakan buta karena kecelakaan itu,” ujar Willy yang sontak membuat Winter menoleh ke arahnya serta menatap dirinya dengan tatapan tajam.
“Kakak ini bicara apa hah?!” tanya Winter dengan membentak sembari mencengkeram erat kerah kemeja yang tengah Willy kenakan.
“Winter, kakak—”
“Hentikan! Semua ucapanmu hanyalah omong kosong!” Winter, benar-benar terbawa emosi. Wajahnya memerah, suaranya pun mulai serak akibat berteriak terlalu serak.
“Winter, kakak mohon kamu jangan—”
“Kakak pikir itu lucu?! Kakak bilang aku buta?! Bagaimana bisa?! Dan bagaimana jika aku buta?! Hah?! Apa yang bisa kakak lakukan terhadapku sekarang?!”
“Maafkan kakak Winter, kakak tahu bahwa kakak memanglah lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa di saat kamu seperti ini. Akan tetapi, kakak akan tetap berusaha untuk membuatmu kembali sembuh,” jawab Willy sembari memegang kedua bahu sang adik guna meyakinkan.
“Jadi… aku benar-benar buta ya? Aku ini sekarang cacat ya kak?” Winter, bertanya dengan cengkraman di kerah Willy yang semakin menguat.
“Winter, kamu memang buta… akan tetapi—”
“Akan tetapi apa?! Aku buta! Aku cacat sekarang! Aku tidak berguna! Bagaimana bisa aku menjadi seperti ini kakak?!”
“Kakak—”
“Aargghh! Aku benar-benar benci dengan semua ini! Mengapa aku harus kecelakaan?!”
“Kakak tahu?! Gelap! Aku tidak bisa melihat apapun! Aku benar-benar telah menjadi orang cacat yang tidak berguna! Sungguh, sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa menerima semua ini!” Winter, kemudian menghempas tubuh Willy ke belakang dengan kasar hingga sang empunya pun menabrak sebuah meja kecil di sana.
“Akh….” Willy meringis pelan ketika punggungnya terbentur oleh ujung meja yang tumpul.
Willy mendongak, menatap sang adik yang kini tengah termenung sembari menjambak rambutnya sendiri dengan pandangan kosong. Mendapati hal tersebut, Willy benar-benar tidak tahan. Sungguh, ia benar-benar tidak tega saat melihat kondisi Winter yang seperti sekarang ini. Ia merasa gagal, gagal karena tak bisa menjaga sang adik dengan baik. Ia, tidak menepati janjinya pada kedua orang tua mereka untuk saling menjaga satu sama lain. Karena, seperti saat ini saja tidak ada yang bisa ia lakukan untuk Winter.
Grep…!
Willy, memeluk tubuh Winter sembari menenggelamkan kepalanya di curuk leher sang adik. Matanya memerah, pertanda bahwa ia tengah menahan rasa sedih yang tentu tak dapat diutarakannya. Sementara Winter, lelaki itu tetap diam tak berkutik. Matanya, tetap mengarah ke arah dinding yang berada di hadapannya dengan sorot mata kosong tanpa memperdulikan sang kakak yang kini tengah memeluk dirinya.
Menurut kalian, apa yang akan terjadi ke depannya? Apakah Winter memang tidak akan pernah bisa menerima kenyataan bahwa ia memanglah buta saat ini? Dapatkah Winter tenang untuk beberapa hari ke depan dan berusaha untuk melupakan semua yang telah terjadi terhadapnya? Jawabannya, silahkan kalian temukan di bab-bab selanjutnya.