Bab 4 Sebuah Kejanggalan
Bab 4 Sebuah Kejanggalan
Grep…!
Willy, memeluk tubuh Winter sembari menenggelamkan kepalanya di curug leher sang adik. Matanya memerah, pertanda bahwa ia tengah menahan rasa sedih yang tentu tak dapat diutarakanya. Sementara Winter, lelaki itu tetap diam tak berkutik. Matanya, tetap mengarah ke arah dinding yang berada di hadapannya dengan sorot mata kosong tanpa memperdulikan sang kakak yang kini tengah memeluk dirinya.
***
Saat malam hari tiba, Iruka dan Willy kini berada di dalam ruangan untuk menemani Winter yang saat ini masih saja acuh terhadap keduanya. Winter, sedari tadi pun hanya diam dengan wajah yang ia alihkan ke arah samping agar tidak dapat dilihat oleh Willy maupun Iruka.
“Ah Iruka, apa kamu tidak masalah jika pulang malam dengan kedua orang tuamu nantinya?” tanya Willy dengan halus pada Iruka.
“Um… iya juga ya… sepertinya mama akan marah jika aku pulang malam. Kalau begitu, aku pamit dulu ya kak,” jawab Iruka dengan senyum canggungnya yang tercipta.
“Apa perlu aku antar sampai rumah?” tanya Willy menawarkan.
“Tidak perlu kak terima kasih banyak, lebih baik kakak di sini saja untuk menjaga Winter,” jawab Iruka yang kini tersenyum manis pada lelaki tampan itu.
“Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalan ya Iruka,” ujar Willy yang membalas senyuman Iruka tak kalah ramah.
“Iya kakak. Dan Winter, aku pulang dulu ya… besok aku akan kembali lagi kemari,” balas sekaligus ujar Iruka pada Winter yang tengah mengacuhkan dirinya.
“Ah, mari Iruka aku antar sampai luar,” ujar Willy mengalihkan Iruka agar tidak mengambil hati perihal Winter yang tampak sangat acuh.
“B-baik kak, sampai jumpa besok Winter.” Kemudian, Iruka pun bergegas mengikuti Willy keluar dari ruangan tersebut.
***
Setelah kepulangan Iruka, kini Willy sudah kembali berada di ruangan tempat sangat adik di rawat inap. Tentu saja, suasana ruangan tersebut sangatlah hening. Sampai pada akhirnya, Willy teringat akan sesuatu.
“Ah Winter, kamu belum makan bukan? Kamu ingin makan malam dengan apa? Nanti kakak belikan di luar. Kakak tahu bahwa kamu pasti tidak akan suka jika memakan makanan dari rumah sakit,” tanya Willy pada sang adik yang sedaritadi terdiam.
“….” Winter tidak menjawab ataupun merespon perkataan sang kakak barusan. Dirinya, benar-benar tampak acuh tak ingin menanggapi Willy sedikit pun.
“Winter, sudah ya… jangan diam terus,”ujar Willy yang membujuk Winter agar mau membuka suara.
“….” Winter lagi-lagi hanya diam. Bahkan, kini dirinya menutup kedua mata dengan malas yang membuat Willy menghela nafas lelah.
“Baiklah kalau Winter memang tidak ingin menjawab. Kakak akan tetap keluar untuk membeli makan malam. Akan tetapi, apapun yang kakak beli nanti kamu harus tetap menghabiskannya ya,” ujar Willy lagi yang kemudian bangkit dari sofa.
Cklek…!
Pintu ruangan, terbuka dan tertutup dalam sekejap. Dan tentu saja, Willy pun ikut menghilang di balik pintu yang tertutup itu. Sementara Winter, kini pria dengan paras tampan itu kembali membuka matanya, menatap kosong semua kegelapan yang serasa mengelilinginya.
“Aarrghh! Kenapa aku harus seperti ini?! Semuanya terasa gelap sekarang. Aku sudah menjadi pria yang cacat. Jika sudah begini, apa gunanya lagi?!” tanya Winter yang kini mendudukkan dirinya sembari menarik erat rambutnya sendiri guna menghilangkan rasa sakit di kepalanya yang benar-benar mendera.
“Karena kecelakaan itu, semuanya jadi kacau! Ini benar-benar sangat fatal! Hahaha! Aku ini sekarang buta. Ah, apa setiap berjalan aku harus menggunakan sebilah tongkat sebagai penunjuk arah? Oh bukan, tongkat tersebut berguna agar aku tidak menabrak sesuatu nantinya bukan?”
“Hah! Sangat lucu. Ini benar-benar lucu. Seorang Winter kini sudah tidak berguna lagi. Bagaimana bisa aku tetap melakukan balapan nantinya disaat kondisiku yang cacat ini? Hahaha! Itu sangatlah lucu.”
“Mobil itu, sungguh janggal bukan? Heh, aku bukanlah orang bodoh yang tidak tau mana yang disengaja ataupun tidak. Siapapun orang itu, aku tidak akan pernah memaafkannya seumur hidup. Bahkan, lebih baik jika dia bernasib sama seperti diriku saat ini,” Ujar Winter dengan seringai mengerikan yang terbit di sudut bibirnya.
***
Setelah kembali ke ruangan sang adik dengan membawa beberapa kantung yang berisi makanan tersebut, Willy pun segera mengambil kursi untuk duduk tepat di sebelah brankar adik tercintanya itu. Selain itu, Willy juga dengan sigap mengeluarkan box makanan yang dibeli nya tadi dari kantung plastik yang membungkus.
“Winter, kakak hanya dapat ini di sekitar daerah rumah sakit. Maaf kalau kamu tidak suka, akan tetapi kamu harus tetap menghabiskannya ya. Sebenarnya bisa saja kakak pergi mencari lebih jauh, tapi itu akan lama. Sedangkan kamu harus cepat makan untuk meminum obat nanti,” ujar Willy yang sudah siap ingin menyuapi sang adik.
“….” Winter masih terus terdiam. Menatap kosong langit-langit kamar yang tampak gelap dimatanya.
“Winter, jangan seperti ini ya… kamu tidak boleh begitu. Percayalah, semua pasti akan berlalu. Jika Tuhan berkehendak, bisa saja kamu sembuh dan dapat kembali melihat nantinya. Jadi, bersabarlah terlebih dulu ya. Kakak juga akan berusaha memberi yang terbaik untuk kamu. Meskipun karena keteledoran kakak yang menyebabkan kamu sampai seperti ini, kakak pasti tetap akan berusaha mencari jalan agar kamu dapat melihat kembali. Jadi tolong bantu kakak juga ya, jadilah anak baik… mama dan papa pasti sedih jika mengetahui bahwa putra bungsu mereka menjadi seperti—”
“Diam!” bentak Winter memotong perkataan sang kakak.
“B-baiklah maafkan kakak. Sudah, sekarang Winter makan ya… ayo buka mulutnya,” ujar Willy yang langsung mengerti mengapa Winter bereaksi seperti itu.
“Berikan padaku,” balas Winter tanpa berniat menoleh ke arah sang kakak.
“Kenapa? Tidak apa kok, sini biar kakak yang menyuapi kamu. Kakak tahu, kamu pasti masih merasa—”
“Berikan.” Lagi, lagi, dan lagi. Winter, memotong perkataan sang kakak yang membuat Willy pun menghela nafas panjang.
“Baiklah jika Winter tak ingin kakak suapi. Tapi dihabiskan ya,” ujar Willy sembari memberikan box berisi makanan tersebut pada Winter.
“….”
“Kalau begitu kakak ikut makan dulu ya,” ujar Willy pada Winter saat melihat sang adik yang tampak mulai menyantap makan malam yang dibeli olehnya tadi.
“….” Winter lagi-lagi tak menanggapi. Tentu saja Willy memaklumi sikap sang adik yang seperti ini. Akhirnya, ia pun mulai menyantap makan malamnya sendiri sembari sesekali memperhatikan sang adik yang juga tengah larut dalam makan malamnya.