Bab 5 Takkan Dapat Melihat Dunia
Bab 5 Takkan Dapat Melihat Dunia
“Kalau begitu kakak ikut makan dulu ya,” ujar Willy pada Winter saat melihat sang adik yang tampak mulai menyantap makan malam yang dibeli olehnya tadi.
“….” Winter lagi-lagi tak menanggapi. Tentu saja Willy memaklumi sikap sang adik yang seperti ini. Akhirnya, ia pun mulai menyantap makan malamnya sendiri sembari sesekali memperhatikan sang adik yang juga tengah larut dalam makan malamnya.
***
Saat pagi tiba, kini Winter terbangun dari tidur lelapnya. Tunggu, ia merasakan sesuatu yang sangat berbeda dari biasanya. Saat ia akan membuka mata, entah kabut gelap kembali mengelilinginya. Ah, ia hampir melupakan bahwa kini kondisi dirinya saat ini memanglah benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya. Ia buta, sudah pasti dia tidak akan bisa melihat dunia lagi bukan?
“Heh? Biasanya saat aku membuka mata, cahaya samar langsung menerpaku. Namun kini, bukan cahaya yang menyerang, melainkan kegelapan yang rasanya sangat membuatku muak,” gumam Winter yang kemudian menolehkan kepala ke arah sang kakak yang masih berbaring di atas sofa panjang dengan mata tertutup. Ah, jangan mengira bagaimana. Hanya saja, Winter memang sudah meyakini bahwa sang kakak memanglah sedang berbaring di sana.
Winter, tidak berniat untuk membangunkan karena ia teringat bahwa sang kakak semalam menjaga dirinya hingga larut malam. Karena itu, pagi ini Willy pasti masih sangat mengantuk bukan?
“Aku ingin ke kamar mandi, namun dengan kondisi cacatku seperti ini memangnya bisa?" tanya Winter pada dirinya sendiri dengan kening berkerut.
“Mari kakak antar sampai depan pintu. Kamu juga belum mengetahui letaknya bukan?” tanya Willy yang tentu mengagetkan Winter.
“Kenapa?” tanya Willy lagi yang heran akan raut wajah kaget sang adik.
“Sudah bangun?” tanya Winter sembari membuang muka terhadap sang kakak. Mendengar ucapan tersebut, Willy pun memasang senyum simpulnya sembari menepuk pelan bahu Winter.
“Sudah. Sekarang, Winter mau ke kamar mandi dulu atau bagaimana?” tanya Willy pada adik satu-satunya itu.
“Tidak perlu. Katakan saja di mana kamar mandi tersebut berada,” jawab Winter menolak dan hanya menanyakan perihal keberadaan kamar mandi tersebut.
“Apa kamu yakin tidak perlu kuantar Winter?” tanya Willy lagi memastikan.
“Ya. Aku benar-benar yakin bisa tanpa bantuanmu,” jawab Winter yang kemudian menyibak selimut yang tadinya ia pakai dan langsung beranjak dari brankar yang sedari kemarin ia tiduri atau tempati.
“Hati-hati Win—“
Bughh…!
Belum sempat Willy menyelesaikan kalimatnya, Winter sudah lebih dulu menabrak sebuah dinding yang berada di dekat kamar mandi. Willy yang melihat pun hendak menolong. Akan tetapi dengan cepat, Winter pun menepis tangan sang kakak dan langsung masuk ke dalam kamar mandi tersbeut.
“Dia benar-benar merupakan anak yang keras kepala,” gumam Willy sambil geleng-geleng kepala sendiri melihat sikap sang adik yang seperti itu.
***
“Winter, kamu ingin sarapan apa?” tanya Willy pada sang adik yang tengah duduk di atas brankar rumah sakit.
“Tidak ingin.”
“Mengapa? Nanti kamu tidak akan cepat pulih jika tidak banyak makan Winter.”
“Biarkan. Memang pada dasarnya tidak akan pulih. Lupakan saja.”
“Winter kamu—“
Toktoktok…!
Pintu ruangan diketuk oleh seseorang. Sontak, Willy yang tadinya tengah duduk di atas sofa itu pun beranjak untuk membukakan pintu.
“Selamat pagi, benar bahwa ini ruangan pasien yang bernama Winter?” tanya sosok tersebut yang ternyata merupakan seorang suster.
“Ah, iya benar… ada apa ya?” tanya Willy kemudian.
“Saya hanya akan mengantarkan makanan ini. Tolong agar makan pasien tetap dijaga ya. Karena hal tersebut akan berpengaruh akan suatu hal. Ini sarapan pasien, apa perlu saya bawakan hingga dalam?”
“Seperti itu ya sus? Baiklah kalau begitu, setelah ini saya akan benar-benar memperhatikan pola sekaligus jenis makanan Winter. Dan biar saya saja yang membawanya masuk ke dalam. Sebelumnya terima kasih banyak sus,” jawab Willy sembari mengangguk ramah pada suster tersebut.
“Baiklah kalau begitu, terima kasih kembali. Saya permisi lebih dulu, terima kasih atas waktunya.”
Setelahnya, suster tersebut pun berlalu pergi ke arah ruangan yang lain untuk kembali bertugas. Sementara Willy, kini dirinya sudah kembali duduk di tempat semula dan menaruh makanan tersebut di atas meja.
“Winter, kamu ingin makan sekarang atau nanti? Sepertinya ini bubur, bukankah lebih enak jika dimakan saat panas?” tanya Willy pada sang adik.
“Aku tidak suka bubur,” jawab Winter yang membuat Willy langsung teringat bahwa sang adik memanglah tidak menyukai bubur sejak kecil.
“Ah iya… maaf kakak hampir lupa. Akan tetapi, pihak rumah sakit berkata bahwa kamu harus menjaga pola makan. Tidak apa ya makan bubur dulu pagi ini… tidak sering kok, karena beberapa hari lagi kamu akan diperbolehkan untuk pulang,” ujar Willy berusaha membujuk sang adik agar mau memakan bubur yang dibawa oleh suster tadi.
“Aku tidak menyukainya.”
“Iya kakak tahu Winter, tapi ayolah… hanya beberapa hari kok. Mau ya? Hanya sekedar sarapan, setelah itu kamu minum obat dan kakak akan membelikan makan siang yang enak untukmu,” balas Willy yang benar-benar berusaha saat ini.
“Aku bukanlah anak kecil,” ujar Winter protes karena merasa sang kakak tengah membujuknya secara berlebihan seperti itu. Willy yang tadinya memasang raut wajah serius itu pun beralih menahan tawa melihat raut wajah sang adik yang tampak sangat jengkel terhadapnya.
“Baiklah kalau begitu… maafkan kakak karena masih menganggap bahwa kamu adalah adik kecil kakak yang dulu harus dibujuk keras agar mau menurut untuk makan,” balas Willy yang masih menahan tawanya agar tidak lepas begitu saja.
“Itu sangat tidak lucu.” Winter dengan cepat, langsung mengambil semangkuk bubur tersebut di meja kecil samping brankarnya berada.
“Nah, begitu dong… itu baru adikku yang penurut,” ujar Willy yang masih meledek Winter dengan wajah tanpa dosanya.
“Diam.” Winter mendengus sebal kemudian mulai menyantap semangkuk bubur putih itu dengan perasaan campur aduk. Antara mual, jijik, dan tidak ikhlas.
Sementara Willy, kini dirinya tengah menatap sang adik dengan gemas sembari menumpukan dagunya di tangan. Merasa diperhatikan, Winter pun menoleh dengan raut wajah datarnya.
“Jangan lihat-lihat. Apa mau kakak?” tanya Winter yang membuat Willy sontak kaget.
“Tunggu, darimana kamu tahu bahwa sedari tadi aku memperhatikanmu?” tanya balik Willy dengan dahi mengerut heran.
“Apa masalahnya?”
“Bukankah kamu ini sedang buta? Bagaimana bisa kamu mengetahuinya Winter?” Pertanyaan tersebut, sukses membungkam mulut Winter dengan sempurna. Raut wajahnya kini juga berubah. Sedangkan Willy yang baru menyadari kesalahannya itu pun sontak kaget.
“A-ah Winter, kakak tidak bermaksud untuk—“
“Diamlah, kamu ini terlalu banyak bicara,” potong Winter yang dengan wajah datarnya menaruh mangkuk yang masih terisi penuh itu di tempat semula. Kemudian, ia memilih untuk membaringkan kembali tubuhnya sembari menutup mata guna menetralisirkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya.