Bab 6 Benarkah Menyembunyikan Sesuatu
Bab 6 Benarkah Menyembunyikan Sesuatu
“Bukankah kamu ini sedang buta? Bagaimana bisa kamu mengetahuinya Winter?” Pertanyaan tersebut, sukses membungkam mulut Winter dengan sempurna. Raut wajahnya kini juga berubah. Sedangkan Willy yang baru menyadari kesalahannya itu pun sontak kaget.
“A-ah Winter, kakak tidak bermaksud untuk—“
“Diamlah, kamu ini terlalu banyak bicara,” potong Winter yang dengan wajah datarnya menaruh mangkuk yang masih terisi penuh itu di tempat semula. Kemudian, ia memilih untuk membaringkan kembali tubuhnya sembari menutup mata guna menetralisirkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya.
***
“Winter, ini sudah siang, kamu ingin makan apa? Soalnya makanan yang tersedia di rumah sakit ini sepertinya makanan-makanan yang tidak kamu sukai. Namun tetap ya, kamu harus menjaga makanmu jika ingin cepat pulih,” ujar sekaligus tanya Willy pada sang adik.
“Terserah saja,” jawab Winter yang tampak acuh dengan matanya yang masih setia tertutup rapat.
“Baiklah kalau begitu kakak—“
Toktoktok…!
Belum sempat Willy menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan pun lagi-lagi diketuk yang membuat Willy sontak menghela nafas berat.
“Siapa lagi? Suster? Bukankah tadi sudah kuberitahu?” tanya Willy namun tetap berjalan guna membukakan pintu tersebut.
Cklek…!
“Siang kak Willy,” sapa sosok gadis cantik yang tentu familiar bagi Willy.
“Siang Iruka, silahkan masuk terlebih dahulu,” balas Willy sembari mempersilakan gadis tersebut untuk masuk.
“Terima kasih kakak. Siang Winter, bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Iruka pada Winter setelah mendudukkan diri di atas sofa.
“….” Winter tidak menjawab pertanyaan dari Iruka yang membuat Willy merasa tak enak hati sendiri.
“Winter, temanmu sedang bertanya… mengapa kamu tidak menjawab, hm?” tanya Willy yang kini duduk tepat di kursi sebelah sang adik.
“Ya.”
“Kondisi Winter sudah mulai membaik Iruka. Ia diperkenankan untuk pulang dalam beberapa hari lagi,” ujar Willy yang meluruskan perkataan singkat sang adik.
“Wah? Benarkah? Senang mendengarnya jika begitu. Namun jika pulang nanti, tolong kabari aku ya kak… siapa tahu aku bisa membantu,” balas Iruka yang hanya ditanggapi senyuman oleh Willy.
“Oh iya, ini aku bawakan makan siang untuk kalian. Pasti belum makan kan ya?” lanjut Iruka bertanya pada kedua lelaki rupawan tersebut.
“Ah, kamu sampai repot-repot membawakan kami makan siang,” ujar Willy yang merasa tidak enak pada Iruka.
“Bukan apa-apa kok kak Willy. Iruka memasak semua makanan ini juga tanpa paksaan atau berat hati. Namun maaf, tadi pagi Iruka tidak bisa membawakan sarapan karena ada kelas pagi mendadak yang membuat Iruka tidak sempat.”
“Tidak pelu Iruka. Kami sudah merepotkan kamu. Terima kasih banyak atas makanannya.”
“Iya sama-sama kak Willy. Ini, silahkan dimakan. Maaf jika rasanya kurang memuaskan di lidah kalian,” ujar Iruka sembari memberikan dua kotak makan pada Willy dan juga Winter.
“Tidak kok Iruka. Kamu sudah memberi kami makan siang seperti ini saja sudah sangat baik,” balas Willy berusaha menjaga perasaan Iruka agar tidak tersinggung nantinya.
Setelahnya, Winter dan juga Willy pun mulai menyantap makan siang mereka. Winter tampak mengerutkan keningnya saat makanan tersebut sudah berada di dalam mulutnya. Berbeda dengan sang adik, Willy tampak biasa saja saat menyantap makanan tersebut. Sedangkan Iruka, kini ia tengah bersiap-siap untuk mendapatkan pujian lagi dari kedua lelaki tampan itu.
“Bagaimana?” tanya Iruka penasaran. Winter, sedikit melirik sang kakak yang tampak asyik menyantap hingga habis.
“Enak. Terima kasih atas makanannya Iruka. Ah iya aku sampai lupa, kamu tidak makan?” jawab dan tanya balik Willy yang tentu membuat Iruka pun senang mendengarnya. Berbeda dengan Winter yang tampak tak mengerti dengan maksud dari perkataan sang kakak.
“Benarkah? Untuk makan, aku sudah kok kak ketika di rumah tadi,” jawab Iruka dengan pipinya yang merona merah.
“Iya… baiklah kalau begitu. sekali lagi terima kasih Iruka karena sudah mau repot.”
“Itu bukan masalah kok kak Willy.”
“Um… bagaimana Winter? Apa masakanku masih kurang enak bagimu?” tanya Iruka sembari mengulum bibirnya sendiri gugup.
“Ya.”
“Eh?!” kaget Willy dan Iruka setelah mendengar perkataan jujur Winter.
“Winter, bisakah kamu menjaga ucapanmu sedikit? Kasihan Iruka sudah mau capek-capek membuatkan kita makan siang. Namun kamu malah menanggapinya seperti itu,” ujar Willy sedikit berbisik guna menegur sang adik yang terlalu jujur itu.
“Memangnya kenapa? Salah? Bukankah aku hanya menjawab sesuai fakta yang ada?” tanya Winter dengan kening berkerut heran mendengar bisikan sang kakak terhadapnya.
“Tapi Winter—“
“Ah tidak apa-apa kok kak… aku memang sebenarnya baru belajar memasak. Jadi, aku belum terlalu mahir. Dan mungkin saja benar bahwa makanannya tidak terlalu enak. Aku tidak masalah kok. Lagi pula, ini namanya kritikan yang membangun bukan? tentu saja aku senang jika Winter berbicara dengan jujur. Itu berarti, aku bisa memperbaikinya lagi nanti,” potong Iruka sembari tersenyum manis pada keduanya.
“Kamu memang sangat murah hati Iruka. Terima kasih dan maaf sebelumnya. Adikku memang terkadang seperti ini. Kamu temannya bukan? otomatis kamu pasti tahu bagaimana Winter ini,” ujar Willy yang membuat Winter merubah raut wajahnya menjadi masam.
“Dia tidak sedekat itu denganku. Dan aku tidak seburuk itu,” protes Winter yang sontak saja membuat Willy dan juga Iruka terkekeh mendengarnya.
“Baiklah-baiklah… kamu tidak seburuk itu. Adikku ini memang yang paling terbaik,” balas Willy sembari mengusap pelan puncak kepala Winter dengan sayang.
Winter menepis tangan sang kakak yang saat ini sedang berada di puncak kepalanya. Tatapan tajam nan garang, ia tujukan pada sang kakak seorang.
“Berhenti menganggapku seperti anak kecil. Memalukan,” ujar Winter yang kemudian membuang muka ke arah lain.
“A-ah… jangan marah seperti itu Winter. Iya, kakak tidak akan memperlakukanmu layaknya anak kecil lagi nanti. Sekarang, berhenti merajuk. Kamu ini dari kemarin marah-marah mulu, apa sedang PMS?” tanya Willy yang sontak membuat wajah Winter berubah merah pertanda menahan kesal yang teramat sangat.
“Berhenti menggodaku!” Balas Winter dengan nada tingginya berusaha agar sang kakak berhenti menggoda dirinya lagi.
“Menggoda? Sejak kapan kakak menggodamu? Kakak masih lurus, tidak belok. Kalaupun memang benar kakak belok, tentu saja kakak tidak akan mungkin menggoda pria temperamental sepertimu.”
“Apa kakak bilang? Maksud kakak apa? Temperamental? Aku tidak temperamental. Hanya saja kakak yang selalu membuatku emosi tingkat tinggi.”
“Ah, jadi begitu ya?”
“Iya!”
“Baiklah kalau begitu… kakak ingin keluar dulu, kamu tidak ingin mengobrol dengan Iruka?” tanya Willy pada Winter yang masih memasang raut wajah kesalnya.
“Tidak.”
“Mengapa?”
“Apa kakak perlu mengetahuinya?”
“Ah, kalian sedang menyembunyikan sesuatu pada kakak ya?” tanya Willy sembari menatap sang adik dengan curiga.