Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Pembalasan Dendam

Bab 7 Pembalasan Dendam

“Tidak.”

“Mengapa?”

“Apa kakak perlu mengetahuinya?”

“Ah, kalian sedang menyembunyikan sesuatu pada kakak ya?” tanya Willy sembari menatap sang adik dengan curiga.

“Apa yang sedang kakak bicarakan? Siapa?”

“Kamu dan Iruka tentunya. Memang, siapa lagi?”

“Hentikan omong kosongmu itu kak. Kami tidak memiliki hubungan apapun,” jawab Winter dengan sangat yakin.

“Benarkah begitu?” tanya Willy lagi tak yakin.

“Tentu saja.”

“Ah sebaiknya aku bertanya pada Iruka saja. Kakak tahu kamu ini terkadang malu untuk memberitahukannya pada kakak,” ujar Willy yang kini ingin beralih pada Iruka yang sedari tadi hanya diam.

“Nah Iruka,” panggil Willy terlebih dahulu.

“I-iya kak?” balas Iruka gugup sendiri.

“Kamu memiliki hubungan apa dengan Winter? Ayo jawablah dengan jujur,” tanya Willy dengan senyuman khasnya.

“T-tidak ada kok kak… kami hanya teman dekat, bukan begitu Winter?” jawab dan tanya Iruka pada Winter.

“Teman dekat? Kurasa hanya teman biasa, benar?”

“Ah? U-um….”

“Tunggu, jadi kalian benar-benar tidak memiliki hubungan satu sama lain sama sekali?” tanya Willy memastikan kembali.

“Tidak.”

“Tidak kak.”

“Baiklah… kukira kalian benar-benar sedang menjalin hubungan. Ah kalau Winter tidak mau, kakak saja yang menjadi penggantinya bagaimana?” gurau Willy yang entah membuat wajah Iruka sontak memerah padam.

“A-apa kak?”

“Tidak ada, hanya bercanda saja Iruka, jangan terlalu dimasukkan ke hati,” jawab Willy dengan kekehan yang ikut menyertainya.

“Hm… baik kakak,” balas Iruka dengan kepala tertunduk.

“OH iya, kakak benar-benar harus keluar sebentar. Kalian berdua di sini tidak apa ya? Iruka, tolong jagakan Winter untuk kakak,” ujar Willy sembari menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang.

“Baik kak, percayakan saja padaku,” balas Iruka sembari tersenyum manis pada Willy.

“Syukurlah, kamu memang paling bisa diandalkan. Kalau begitu, kakak pergi sekarang ya,” ujar Willy yang langsung berlalu pergi keluar ruangan meninggalkan sang adik dan juga Iruka yang masih terdiam.

Cukup lama terdiam, Iruka merasa canggung. Pada akhirnya, ia pun segera membuat topik pembicaraan yang ia harap lelaki tampan itu menggubris nantinya.

“Winter, kamu tahu? Semenjak kamu tidak masuk sekolah, semua teman-teman mengkhawatirkan keadaanmu,” ujar Iruka memberitahukan para Winter perihal teman-teman mereka di sekolah.

“Teman? Teman yang mana?” tanya Winter dengan seringaian samar yang terbit di sudut bibirnya.

“Teman yang… biasa berada bersamamu jika kemana-mana,” jawab Iruka kurang yakin.

“Aku tidak mengerti teman mana yang kamu maksud itu,” balas Winter yang kemudian mulai memejamkan matanya yang membuat Iruka sedikit merasa kesal.

“Teman—“

“Sudahlah, apa hakmu juga membicarakan mengenai itu? Dan lagi, kamu ini tidak dekat denganku Iruka. Jadi, janganlah ikut campur dan bersikap ingin tahu tentang diriku,” potong Winter dengan sangat acuhnya yang membuat raut wajah Iruka berubah seketika.

“Winter—“

“Diamlah, aku ingin tidur guna menetralisir pikiran. Begitu juga dengan kamu, tidurlah. Jika bangun nanti, lebih baik perbaiki sikap ingin tahu urusan orang lain itu. Kamu tahu? Itu sangatlah tidak sopan,” potong Winter lagi yang kemudian kembali tertidur untuk yang kesekian kalinya.

***

Saat malam hari tiba, kini Winter dan Willy sudah berada di temapt masing-masing. Ya, Winter yang berbaring di atas brankar, sedangkan sang kakak yang kini terbaring di atas sofa dengan selimut tebal yang menutupi tubuh.

“Winter, apa kamu sudah tidur?” tanya Wily sembari menoleh ke arah sang adik yang tengah berbalik memunggunginya.

“Belum,” jawab Winter tanpa berniat untuk membalikkan posisi tubuhnya ke arah sang kakak.

“Syukurlah… kakak lupa memberitahumu, besok kakak sudah mulai harus bekerja. Waktu cuti kakak sudah habis, apa tidak apa jika kamu di sini sendiri?” tanya Willy pada sang adik dengan berat hati. Bagaimana tidak? Adiknya masih belum dinyatakan pulih total, sedangkan waktu cutinya, sudah habis dan mengharuskan ia untuk masuk bekerja kembali.

“Tidak masalah.”

“Tapi jika kamu ingin pergi ke kamar mandi atau semacamnya bagaimana? Dan juga, siapa yang akan mengatur waktu makanmu nanti?” tanya Willy lagi yang masih tetap khawatir.

“Aku bisa sendiri.”

“Ah aku sampai lupa. Lebih baik besok pagi kakak menelpon Iruka untuk meminta bantuan agar ia mau menemanimu di sini,” ujar Willy yang sontak membuat Winter membalikkan tubuhnya.

“Apa maksudmu? Mengapa kakak malah meminta bantuannya? Sudah kukatakan bukan bahwa aku bisa sendiri. Aku ini bukan anak kecil yang mesti diurus seperti itu. Hentikan omong kosongmu kak. Jika kakak akan bekerja besok, maka pergilah. Tidak perlu memikirkanku sampai seperti itu,” protes Winter dengan dahi berkerut kemudian kembali berbalik dan memakai selimut guna menutupi sebagian tubuhnya.

“Tapi Winter—“

“Cukup kak, aku ingin beristirahat. Lebih baik, sekarang kakak tidur karena besok kakak sudah harus bangun lebih awal bukan? Selamat malam.” Winter, kemudian memejamkan matanya guna tertidur. Sementara Willy, kini ia masih terus bergelut dalam kekhawatirannya.

***

Saat pagi tiba, Winter terbangun dari tidur lelapnya. Ah, seperti kemarin, kini Winter merasakan pula sensasi berbeda ketika ia membuka matanya. Ya, tentu saja lagi-lagi gelap menghiasi seluruh penglihatannya. Winter terdiam sejenak menatap langit-langit ruangan yang tampak berwarna hitam pekat.

“Winter? Kamu sudah bangun?” tanya sang kakak yang sontak membuatnya menoleh.

“Ya,” jawab Winter sekenanya.

“Kamu mau sarapan apa pagi ini? Jika kamu tidak ingin bubur, mungkin nanti kakak bisa konfirmasikan pada suster untuk tidak membawakan bubur nantinya,” uajr Willy yang kini duduk tepat di kursi samping brankar.

“Ya.”

“Apa? Berbicaralah dengan jelas.”

“Aku tidak ingin bubur,” ujar Winter yang kini tentu dimengerti oleh Willy.

“Baiklah kalau begitu. lantas, kamu ingin makan apa?” tanya sang kakak lagi pada sosok yang sedari kemarin tampak murung itu.

“Apa saja,” jawab Winter dengan pandangan lurus ke arah depan.

“Huft… baiklah kakak akan keluar dulu. Kamu, di sini saja ya baik-baik. Jangan keluar ataupun melakukan hal yang macam-macam ya.”

“Ya.” Kemudian, Willy pun memutuskan untuk langsung keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Winter seorang diri yang masih berbaring di atas brankar rumah sakit.

“Hidup seperti ini… apakah akan baik-baik saja?”

“Bagaimanapun juga, bagiku menjadi orang cacat tentu tidaklah berguna bukan?” tanya Winter dengan kekehan gelinya dan juga seringai lelah yang ia tunjukkan.

Winter, menarik helaian rambut miliknya sendiri kuat-kuat sembari terus melebarkan senyum mengerikannya.

“Siapa pun orang itu, tunggu saja pembalasanku nantinya. Akan kubuat ia menyesali perbuatannya hingga seumur hidupnya,” gumam Winter yang semakin tersenyum sembari menatap kekosongan yang tertampil jelas di manik mata hitam pekatnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel