Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Aku Bukanlah Boneka

Bab 8 Aku Bukanlah Boneka

“Bagaimanapun juga, bagiku menjadi orang cacat tentu tidaklah berguna bukan?” tanya Winter dengan kekehan gelinya dan juga seringai lelah yang ia tunjukkan.

Winter, menarik helaian rambut miliknya sendiri kuat-kuat sembari terus melebarkan senyum mengerikannya.

“Siapa pun orang itu, tunggu saja pembalasanku nantinya. Akan kubuat ia menyesali perbuatannya hingga seumur hidupnya,” gumam Winter yang semakin tersenyum sembari menatap kekosongan yang tertampil jelas di manik mata hitam pekatnya.

***

Sudah 5 menit, namun sang kakak belum kunjung kembali. Tentu saja, hal tersebut membuat Winter bosan. Namun tunggu, bukankah baru 5 menit? Itu berarti masih sebentar bukan? Ah, namun tetap saja pemikiran Winter terkadang tak bisa kita ganggu gugat.

“Ini benar-benar membosankan. Kurasa aku harus mencari udara segar. Beberapa hari di sini sungguh membuat suntuk,” gumam Winter yang kemudian dengan perlahan beranjak dari brankar rumah sakit tersebut.

“Aku harap, cacatku ini bisa tidak terlalu menyusahkan. Aku tidak ingin menabrak sesuatu nantinya,” ujar Winter yang kini sudah berada tepat di pintu ruangan.

Cklek…!

“Pintu tersebut berhasil dibuka olehnya. Setelah iu, Winter pun melanjutkan langkah kaki tertatihnya menuju suatu tempat yang tentu saja tidak diketahui oleh Winter.

“Ini sepertinya ramai sekali.” Winter, mendengar keramaian tersebut dari telinganya yang sangat peka terhadap beberapa suara. Sementara dirinya saat ini tidak berjalan dengan meraba. Lelaki tampan itu, berjalan dengan sangat normal seolah ia tidak sedang mengalami cacat di bagian mata, atau kasarnya disebut buta. Namun tetap, pada dasarnya ada sedikit kekhawatiran yang dirasakan oleh Winter saat ini. Dirinya, takut terjauh, menabrak sesuatu, atau bahkan nyasar karena tidak mengetahui kemana arah ia melangkahkan kaki.

“Ah, ternyata memang benar-benar merepotkan. Jika saja aku tidak buta, tidak mungkin aku akan menjadi seperti ini bukan? Benar-benar memalukan.” Sepanjang langkahnya, Winter selalu saja mengomel bahkan sesekali mengumpat ketika telapak kaki polosnya menginjak suatu benda keras yang tertu saja tidak disadari olehnya.

Brukk…!

Benar saja, Winter barusan menabrak seseorang sehingga ia kehilangan sedikit keseimbangan karenanya. Orang tersebut yang mengenal Winter pun sontak menyadari dan membantu Winter untuk kembali berdiri dengan tegap.

“Winter? Kamu sedang apa di sini? Bukankah kakak sudah bilang bahwa kamu harus tetap di ruangan saja?” tanya orang tersebut dengan raut wajah paniknya yang tentu saja merupakan Willy, kakak Winter.

“Aku hanya ingin mencari udara segar kak, lagipula—“

“Sudah jawabnya nanti saja, sekarang ayo kita kembali ke ruanganmu,” potong Willy yang langsung menuntun sang adik kembali ke ruangan semula.

Setelah sampai di ruangan Winter, Willy pun langsung mendudukkan sang adik di atas brankar rumah sakit. Sementara dirinya, duduk di sebuah kursi yang tersedia di dekat brankar yang tengah di duduki sang adik.

“Jadi, bagaimana? Bisa kamu jelaskan sekarang.” Willy, kini menyuruh sang adik untuk mulai menjawab pertanyaannya tadi.

“Ya aku hanya ingin mencari udara segar kakak, lagipula aku sudah menunggu lebih dari 5 menit namun kakak belum kunjung datang. Aku bosan dan pada akhirnya memutuskan untuk keluar ruangan,” balas Winter jujur apa adanya.

“Apa? Winter, kakak pergi hanya 7 menit. Kakak tentu menyadari hal itu. Dan kamu bilang, 7 menit adalah waktu yang sangat lama? Kamu ini benar-benar.”

“Aku tidak pernah berkata bahwa 7 menit adalah waktu yang lama. Hanya saja aku sudah terkadung bosan. Apa salah?”

“Sungguh, kamu benar-benar tidak bisa aku atur.”

“Tentu saja aku tidak bisa di atur. Karena pada dasarnya, aku bukanlah boneka atau robot yang dapat digerakkan seperti yang sang pemilik inginkan,” balas Winter dengan dagu yang sedikit diangkatnya serta alis mengerut yang membuat wajahnya saat ini terlihat jauh lebih tampan akibat kesengaannya sendiri.

“Aku bukanlah boneka? Bukankah itu merupakan salah satu judul lagu?” tanya Willy yang tentu saja membuat Winter mengerutkan keningnya tak paham.

“Lagu? Lagu apa? Yang seperti apa? Aku tidak pernah mengetahuinya,” tanya Winter yang benar-benar tidak mengetahui akan lagu tersebut.

“Um… kakak juga lupa, namun sepertinya kakak mengingat beberapa lirik,” jawab Willy dengan raut wajah berpikir guna mengingat.

“Bagaimana?”

“Oh? Um… yang seperti ini.”

“Aku bukan bonekamu, bisa kau suruh-suruh, dengan… seenak maumu. Aku bukan bonekamu bisa kau rayu—“

“Hentikan! Aku ingin muntah mendengar suaramu yang sungguh menggelikan kak,” ujar Winter memotong nyanyian merdu sang kakak.

“Bagaimana? Kamu meledek kakak ya? Jangan suka menghina, kamu juga memiliki suara yang buruk asal kamu tahu ya,” balas Willy membela diri.

“Apa? Aku kan tidak sedang menghina suaramu kak. Hanya saja mendengarmu menyanyikan lagu seperti itu membuatku geli.”

“Jadi maksudnya kamu sedang menghina penyanyinya?” tanya Willy lagi.

“Tidak bukan begitu. Lagipula memang siapa penyanyinya? Kuharap saat dia menyanyikan lagu itu, tidak seburuk dirimu yang tampak aneh seperti banci yang berkeliling di tengah kemacetan jalan.”

“Hey! Lagi-lagi kamu menghinaku! Nama penyanyinya adalah Winter Aldevo Shinosuke,” ujar Willy yang tentu saja memancing kemarahan Winter.

“Apa? Bukankah itu adalah namaku?” tanya Winter dengan wajah memerahnya.

“Kamu menyadarinya? Sayang sekali, padahal itu tentu tidak merujuk padamu,” jawab Willy yang tentu saja membuat Winter pun merasa jengkel karenanya.

“Tidak, hanya saja aku merasa aneh. Setahuku, nama penyanyi tersebut adalah Willy Aldevano Shinosuke. Lantas, mengapa berubah menjadi sama sepertiku?” tanya Winter dengan raut wajah bingung yang dibuat-buat olehnya.

“Oh? Hey, itu namaku,” jawab Willy dengan raut wajah datarnya.

“Kamu menyadarinya? Padahal aku tidak bermaksud seperti itu. Memangnya nama sepertimu itu hanya kamu yang memiliki? Tidak, bukan?”

“Akan tetapi itu sudah pasti merupakan margaku!”

“Benarkah?”

“Tentu saja, karena kamu juga memilikinya.”

“Oh, maaf.”

“Kamu menyebalkan juga ya Winter,” ujar Willy sembari mendengus sebal.

“Bukankah kakak yang duluan membuatku sebal?” tanya Winter yang malah balik menyalahkan Willy.

“Tentu saja tidak, mana mungkin aku membuatmu kesal? Kamu saja yang setiap hari selalu saja seperti wanita yang sedang PMS. Sangat memalukan,” jawab Willy dengan tawa jenaka yang dibuatnya.

“Jangan tertawa, rasanya aku ingin memukulmu sekarang juga,” ujar Winter dengan geram pada sang kakak.

“Pukul saja. Lagipula, kamu tidak akan mungkin dapat melihat dan memukulku,” balas Willy yang tampak tak menyadari bahwa ia telah salah berkata.

“Apa?”

“Ah Winter, kakak tidak bermaksud—”

“Sudahlah, kakak memang terkadang menyebalkan,” potong Winter yang kembali berbaring dengan selimut yang ia pakai hingga menutupi kepalanya.

‘Ah, dia merajuk lagi rupanya. Willy, bisakah kamu menjaga perkataanmu pada Winter?’ tanya Willy dalam hati sembari menghela napas lelah melihat sang adik yang tampak mengacuhkannya lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel