Bab 12 Penawaran
Bab 12 Penawaran
“Tidak berguna! Tidak berguna! TIDAK BERGUNAA!!” rapal Winter berkali-kali sembari melempar ponselnya asal yang pada akhirnya jatuh tepat di atas sofa.
Sungguh, emosi Winter benar-benar sedang tak terkontrol beberapa hari ini. Dirinya, begitu mudah marah dan frustasi terhadap suatu hal. Baik kecil maupun besar.
“Maaf, apakah ada masalah?” tanya salah seorang perawat laki-laki yang tampak langsung masuk ke ruangan Winter tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Mengapa anda masuk ke ruangan saya secara tiba-tiba tanpa mengetuk terlebih dahulu seperti itu?” tanya balik Winter menatap tajam perawat tersebut.
“Ma-maaf, hanya saja saya khawatir jika anda kenapa-napa. Saya mendengar anda memekik dari luar,” jawab perawat tersebut sedikit gugup lantaran ditatap sedemikian tajamnya oleh Winter.
“Keluar! Dasar tidak sopan! Saya baik-baik saja,” ujar Winter yang menyuruh agar perawat tersebut segera keluar dari ruangannya.
“B-baik kalau begitu saya permisi,” balas perawat itu yang kemudian bergegas keluar ruangan dengan tergesa.
“Benar-benar lancang!” gumam Winter mendengus sebal.
Tak lama kemudian, seseorang pun datang sembari mengetuk pintu terlebih dahulu yang membuat Winter mengernyit menerka-nerka siapa orang yang berkunjung.
“Ini kakak, Winter,” ujar orang tersebut dari luar ruangan yang ternyata merupakan Willy.
“Masuk,” balas Winter memperbolehkan Willy untuk masuk. Jelas, karena sesungguhnya perut seorang Winter tengah berbunyi saat ini.
“Maaf, apa kamu menunggu lama?” tanya Willy sembari membuka jaketnya yang sedikit basah terkena air hujan.
“Ya, sangat lama,” jawab Winter jujur apa adanya dengan nada ketus.
“Ah, maaf ya kalau begitu… tadi antreannya cukup panjang, jadi mau tak mau kakak harus menunggu lebih lama,” ujar sang kakak sembari tersenyum ke arahnya. Namun tetap saja, sebanyak apa pun Willy tersenyum pada Winter, sekarang sang adik sudah tak dapat melihatnya lagi.
“Oh,” balas Winter yang masih tampak acuh.
“Nah, ini ramennya. Kakak bawa dengan sangat hati-hati, karena tentunya jika memakai plastik, kita tidak memiliki mangkuk disini,” ujar Willy dengan sedikit kekehan sembari memberikan se-cup mie ramen pada sang adik.
“Oh,” balas Winter yang lagi-lagi singkat.
“Hati-hati panas, lidahmu akan rusak jika makan dalam keadaan panas.”
“Ya.”
“Kamu ingin mencoba udon milik kakak?” tanya Willy menawarkan mie udon miliknya.
“Tidak.”
“Rasanya enak lho, kamu yakin tidak ingin coba?”
“Tidak.”
“Hm, baiklah kalau begitu,” balas Willy yang kemudian mulai menyantap makan malamnya dengan khidmat bersama dengan sang adik tercinta.
Saat malam tiba, kini keduanya sudah berada di tempat masing-masing dengan posisi berbaring. Ya, Winter yang berbaring di atas brankar, sementara Willy yang kini berbaring di atas sofa panjang.
“Besok kakak tidak bekerja lagi?” tanya Winter dengan posisi yang kini membelakangi sang kakak.
“Hm, sepertinya tidak, karena tentunya kakak harus mengantarmu pulang bukan? Selain iyu untuk mengurus kepulangan juga sedikit memakan waktu, jadi sepertinya kakak akan mengambil cuti lagi untuk besok,” jawab Willy yang membuat Winter mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah kalau begitu,” balas Winter yang kemudian menutup kedua matanya untuk segara tertidur.
“selamat malam dan selamat beristirahat Winter,” ucap Willy sembari tersenyum kemudian ikut menyusul memejamkan mata untuk bergabung bersama teman-teman alam bawah sadarnya.
***
Pagi hari pun tiba, Willy yang terbangun lebih dulu pun akhirnya memutuskan untuk langsung pergi membersihkan diri di kamar mandi yang tersedia. Setelah selesai, ia pun sudah mendapati Winter yang tampak terdiam dalam posisi duduk bersandar di kepala brankar.
“Pagi Winter,” sapa Willy dengan senyuman khasnya.
“Pagi,” balas Winter dengan raut wajah datarnya.
“Bagaimana keadaanmu saat ini? Apakah semakin membaik? Jika memang sudah, kakak akan langsung mengurusnya,” tanya sang kakak pada adik tercintanya itu.
“Sudah baik.”
“Benar tidak merasakan apa pun? Seperti pusing, lemas, atau sebagainya?” tanya Willy lagi berusaha untuk meyakinkan.
“Kakak ini dokter atau apa sih?” tanya Winter yang tampak tak suka dengan pertanyaan-pertanyaan sang kakak yang ia anggap sangat cerewet itu.
“Ah, kakak hanya khawatir jika pulang nanti keadaanmu ternyata belum benar-benar pulih,” jawab sang kakak dengan senyum maklum.
“Bukankah sudah kukatakan tadi? Aku sudah baik-baik saja.”
“Baiklah-baiklah, kalau begitu kakak akan mencari sarapan terlebih dahulu. Setelahnya, barulah kakak mengurus kepulanganmu,” ujar Willy yang kemudian bergegas mengambil dompet, ponsel, serta kunci mobil yang ia taruh di atas sofa lalu pergi keluar ruangan meninggalkan Winter yang masih tetap dalam posisi semula.
“Haruskah aku mandi terlebih dahulu? Namun, bisakah?” tanya Winter pada dirinya sendiri sembari mendecak malas.
“Jika aku mandi, akankah kakak akan memarahiku lagi?”
“Ah aku tidak peduli. Badanku terasa sangat lengket,” ujar Winter mengambil keputusan untuk beranjak menuju kamar mandi guna membersihkan dirinya yang terasa begitu lengket.
Saat berada di dalam kamar mandi, Winter meneguk salivanya susah payah. Semuanya terasa gelap, ia merasa buta arah. Ya, walaupun kenyataannya ia memang buta.
“Aku benar-benar tak dapat melihat apapun. Sial, ini benar-benar sangat merepotkan,” Kesal Winter yang pada akhirnya memutuskan untuk menyerah dan berbalik untuk kembali ke brankar.
Bukk…!!
Memang terkadang nasib sial menimpa Winter. Kepalanya yang mulus, harus mencium tembok kamar mandi yang membuat tubuhnya oleng dan terjengkang ke belakang.
“Sial! Sial! Sialll!!!” umpat Winter menggeram rendah sembari memegang pelipisnya yang terasa berdenyut.
“Mengapa hidupku benar-benar sial sekali sih?!”
“Dasar tembok tak tahu malu! Bisa-bisanya dia muncul dihadapanku secara tiba-tiba, kurang ajar!” omel Winter dengan wajahnya yang merah padam menahan emosi yang ingin meledak-ledak.
“Argghh! Sungguh merepotkan!” kesal Winter yang sudah mencapai ubun-ubun. Setelahnya, barulah ia berusaha untuk kembali bangkit dan meraba dinding agar tidak kembali menabraknya.
“Winter,” panggil Willy yang tampak baru memasuki ruangan dan mengernyit seketika saat melihat sang adik yang tampak memegangi pelipis.
“Kenapa cepat sekali?” tanya Winter menatap sang kakak dengan raut wajah kesalnya.
“E-eh? Oh, ini kakak belinya tepat di sebelah rumah sakit. Jadi, tidak terlalu memakan waktu,” jawab Willy sembari memperlihatkan sebuah bungkusan pada Winter.
“Oh,” balas sang adik tampak acuh yang kemudian kembali melanjutkan langkah menuju brankar.
“Ngomong-ngomong, kamu kenapa Winter?” tanya sang kakak setelah duduk di kursi samping brankar.
“Kenapa apanya?” tanya balik Winter dengan sewot.
“Mengapa kamu terus memegangi pelipismu seperti itu?”
“Terbentur.”
“Bagaimana bisa? Memangnya kamu kemana dan sedang apa sampai bisa seperti itu?” tanya Willy lagi penasaran sekaligus khawatir.
“Sedang di kamar mandi dan ingin mandi tentunya,” jawab Winter asal yang memang benar adanya.
“Bagaimana? Ke kamar mandi? Mandi? Bukankah kakak sudah bilang untuk jangan ke kamar mandi dulu jika tidak ada kakak? Kamar mandi itu licin Winter, bagaimana jika kamu terpeleset nantinya? Beruntung saat ini kamu hanya menabrak tembok bukan?”
“Kakak, aku sudah besar. Tidak mungkin aku seceroboh itu di kamar mandi. Ini hanya karena kebetulan letak dinding yang tidak pas saja!” balas Winter sembari mendengus sebal. Mendengar balasan Winter yang seperti itu, Willy pun sontak tertawa mendengarnya.
“Kenapa kakak tertawa? Apakah ada yang lucu?” tanya Winter dengan sinis pada sosok kakak yang tengah menertawainya itu.