Part 7
Setelah menghampiri Wisnuaji dan Ibunya, mereka bertiga masuk ke Mall. Samira lebih memilih jalan di belakang Wisnuaji dan ibunya, karena ia sendiri sulit mengatur ritme irama jantungnya yang berdetak semakin cepat jika ia ada di dekat Wisnuaji. Seharusnya di usianya yang sudah kepala 4, ia tidak merasakan rasa bak anak remaja tujuh belas tahun yang sedang jatuh cinta dan naksir kepada kakak kelasnya seperti ini.
"Nduk, kamu kok jalan di belakang, sini sebelahan sama ibu," kata ibu Wisnuaji sambil memutar tubuhnya menghadap ke Samira dan tangannya langsung menggenggam tangan Samira untuk berjalan di sebelahnya.
Kini justru Wisnuaji yang berjalan di belakang ibunya dan Samira. Bahkan Wisnuaji menghala nafasnya melihat ibunya yang bersemangat seperti ketika Juna dan Nada akan menikah.
"Kita mau beli apa Bu?" Tanya Samira yang berjalan di sebelah Ningrum
"Apa ya, Kalo satu set perhiasan saja bagaimana?"
"Boleh."
"Apa tidak berlebihan Bu?" Kini Wisnuaji sudah memotong pembicaraan Samira dan ibunya.
"Berlebihan bagaimana Wis? Besanmu itu Suryawan Raharja lho Wis, kita juga tau dia pengusaha sukses. Apalagi dia besan kita satu satunya."
"Iya aku tau Mas Surya, cuma kalo membelikan perhiasan di toko favoritnya Mbak Gendis itu bisa seharga mobil Bu."
"Kalo kamu enggak mau bayarin nggak pa-pa Wis, Ibu bisa bayar sendiri."
Wisnuaji lebih memilih diam dan terus mengikuti Ningrum dan Samira berjalan hingga masuk ke gerai perhiasan favorit menantu dan besannya.
Akhirnya Samira dan ibunya memilih untuk membeli satu set perhiasan seri Electa. Bahkan Wisnuaji harus menelan ludah ketika ibunya memilih cincin emas 18 karat dengan berlian 1karat seharga 120 juta, itu baru cincinnya saja ketika ibunya juga memilih kalung dengan seri yang sama yaitu kalung emas 18 karat dengan liontin berlian seberat 0,81 karat, Wisnuaji benar benar pusing seketika karena harganya 96 juta. Sebagai anak yang baik mau tidak mau Wisnuaji mengeluarkan kartu debetnya dari dalam dompet. Namun ketika ia mengulurkan kepada karyawan toko, sang karyawan menolak karena sudah di bayar oleh Samira. Seketika Wisnuaji membelalakkan matanya.
Ketika mereka keluar dari toko perhiasan tersebut, Wisnuaji menarik tangan Samira untuk menjauhi sang ibu yang sedang bertelepon ria dengan besannya.
Ketika Wisnuaji merasa bahwa tempat ia dan Samira sudah cukup jauh dari ibunya akhirnya ia mengeluarkan isi hati dan pikirannya.
"Kenapa kamu membayari semua belanjaan ibu?"
"Itu bukan buat Ibu, tapi untuk mamanya Nada."
"Iya, untuk Mamanya Nada, tapi itu seharusnya saya yang membayar, karena kado ini akan di berikan dari keluarga Widiatmaja, bukan dari kamu."
"Kalian ngapain disini?" Tanya Ningrum sambil menatap Wisnuaji dan Samira bergantian
"E...e...nggak ngapa ngapain Bu," jawab Samira sedikit tidak yakin.
"Nduk, Wisnu ngapain kamu?"
"Nggak ngapa-ngapain Bu. Aku cuma lagi tanya sama Samira kenapa dia bayarin belanjaan kita?" Kini Wisnuaji sudah menjawab lebih dulu karena ia tidak mau ibunya berfikir macam macam tentangnya.
"Ya sudah, ayo kita makan," kata Ningrum sambil menyeret Samira menjauh dari Wisnuaji.
Ketika Wisnuaji Baru saja akan melangkah tiba tiba handphonenya berbunyi dan sebuah pesan WhatsApp dari Juna masuk kepadanya. Ia menghentikan langkahnya dan membuka pesan dari putra semata wayangnya itu.
Arjuna : Pa, kiriman dari aku sudah sampai?"
Wisnuaji : kalo gurame asam manis bikinan Nada sudah. Makasih.
Arjuna : bukan itu, lainnya.
Wisnuaji : kalo maksud kamu Retno, sudah Papa usir.
Arjuna : amit amit sama itu Wewe gombel satu.
Mau tidak mau Wisnuaji tertawa membaca pesan dari Juna, karena Nada pernah bercerita kepada Wisnuaji jika Retno ingin membuat rumah tangga sepupunya berantakan dulu. Sejak itu Nada menyematkan nama Wewe gombel kepada Retno. Mungkin karena gunung kembar Retno yang begitu padat besar sehingga Nada memberikan nama baru untuknya.
Wisnuaji : so?
Arjuna : Eyang.
Wisnuaji menghela nafasnya, jadi ibunya bisa sampai di rumahnya karena Juna mengirimnya ke sana.
Wisnuaji : oh, jadi kamu sengaja kirim eyang ketika Samira sedang dirumah Papa?
Arjuna : ? papa aku cerdas banget ?
Wisnuaji : kamu memang titisan anak iblis Jun ?
Arjuna : jangan suka ngatain diri sendiri Pa. Aku anak iblis, berarti iblis nya....
Wisnuaji menggeram membaca pesan WhatsApp putranya. Ia tidak mau menjadi gila secara instant karena berdebat dengan putranya lewat pesan singkat. Buru buru ia menuju ke restoran tempat dimana ibunya dan Samira masuk.
Ketika ia masuk ke sana, ia melihat Samira begitu santai mengobrol bersama ibunya bahkan mereka terlihat dekat, tidak nampak jika mereka baru saja berkenalan beberapa jam yang lalu. Buru buru Wisnuaji berjalan mendekati ibunya dan Samira, kemudian ia menarik kursi di sebelah ibunya.
"Kamu dari mana saja Wis?"
"Tadi habis WhatsApp an sama Juna."
"Dia kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa Bu. Ibu sudah pesan?"
"Sudah. Kamu panggil waitersnya saja. Mau pesan apa?"
Tanpa menjawab ibunya, Wisnuaji memanggil waiters untuk datang ke mejanya. Kemudian ia memesan secangkir americano.
Setelah pelayan pergi dari mejanya, Samira akhirnya bertanya kepada Wisnuaji.
"Kamu enggak pesan makan Wis?"
"Nggak lapar. Kopi saja cukup"
"Wis?" Desis Ningrum heran ketika mendengar Samira memanggil Wisnuaji hanya langsung menggunakan namanya saja tanpa embel embel apapun
"Ibu kenapa ?" Tanya Wisnuaji heran
"Samira kenapa manggil kamu nama Saja. Harusnya dia manggil kamu Mas
Wisnu, secara kamu lebih tua dari dia"
Kini Samira hanya bisa menelan ludahnya mendengar kata kata Ningrum barusan. Memanggil Wisnuaji "mas" sungguh sesuatu yang sulit ia lakukan. Karena ia tidak pernah membayangkan akan memanggil Wisnuaji dengan panggilan itu.
"Maaf Bu," hanya itu yang mampu di ucapkan Samira.
"Nggak pa-pa Nduk, tapi mulai sekarang kamu panggil dia Mas Wisnu. Jangan sampai ya keluarga besan atau orang lain dengar kamu manggil Wisnuaji hanya nama saja. Saru."
Dengan berat hati Samira menganggukkan kepalanya di depan Ningrum, sedangkan Wisnuaji hanya mampu memegang keningnya yang tiba tiba saja pusing karena kini hidupnya jungkir balik hanya dalam waktu beberapa jam saja.
Setelah makanan mereka tiba di meja, mereka makan dalam diam. Bahkan setelah makan selesai, Samira lebih banyak mengobrol dengan Ningrum daripada dengan Wisnuaji yang lebih sibuk dengan Handphonenya.
Setelah merasa lelah, akhirnya Ningrum mengajak Samira dan Wisnuaji untuk pulang dan sepanjang perjalanan menuju parkiran mobil, Ningrum banyak berceloteh ria tentang kehidupannya serta kehidupan putra dan cucunya kepada Samira. Bahkan kini Samira sedikit tau banyak tentang Wisnuaji langsung dari ibunya.
Ketika mereka hampir keluar pintu Mall, Samira di panggil oleh seseorang
"Mira...Mira... Samira," mendengar namanya di panggil Samira, Wisnuaji dan Ningrum menghentikan langkahnya dan menoleh kepada sumber suara itu.
Kini mata Samira membelalak melihat mantan suaminya sedang berjalan menuju ke arahnya dengan setelan resmi ala pekerja kantoran.
"Mas Redi .?" Desis Samira ketika Redi sudah mulai mendekat ke arahnya. Satrio Hadi memang memiliki nama panggilan yang tidak sesuai dengan namanya yang ia buat sendiri ketika masih kecil.
"Hallo Sam, apa kabar?" Sapa Redi sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Samira.
"Alhamdulillah baik," jawab Samira seperlunya
Kemudian Samira mendengar Ningrum berdeham yang membuatnya sadar jika kini ia tidak sedang sendiri.
"Oh, mas Redi kenalin ini ibu Ningrum, dan ini Mas Wisnu."
Kemudian Redi menyalami Ningrum dan Wisnuaji bergantian.
"Ngomong ngomong hubungan anda dan Samira apa ya?" Kini Ningrum sudah menyuarakan pertanyaan yang ada di oraknya
"Saya mantan suaminya Samira 12 tahun yang lalu."
Kini mata Ningrum dan Wisnuaji membelalak ketika mendengar penuturan Redi barusan.
"Maaf kalo boleh tau anda siapa?"
"Saya calon mertuanya dan itu calon suaminya."
Seperti di sambar petir, kini giliran Samira dan Wisnuaji yang shock mendengar kata kata yang meluncur dari bibir Ningrum.
"Wow, pinter juga kamu Mir cari calon suami yang lebih muda dari aku."
"Maaf Mas Redi kalo sepertinya Mas Redi salah kali ini, karena Mas Wisnu sudah berusia lebih dari setengah abad."
Kini Redi tertawa di hadapan Wisnuaji, Samira dan Ningrum karena jelas jelas laki laki yang bernama Wisnuaji ini lebih muda dari dirinya.
"Haduh, kamu pinter ngelawak ya Mir, Oh iya, jangan lupa bilang sama calon suami dan calon mertuamu, kalo kamu itu wanita yang tidak bisa memberikan keturunan. Biar mereka berfikir ulang apakah benar benar tidak bermasalah dengan itu."
Seketika air mata muncul di pelupuk mata Samira tapi ia tidak akan sudi untuk menangis di depan mantan suami laknatnya ini. Dengan perasaan hancur lebur, ia pergi kembali ke arah dalam mall tanpa berpamitan kepada Wisnuaji dan Ningrum. Bahkan ketika Ningrum memanggil namanya, Samira tidak menggubrisnya karena ia sedang tidak memiliki kekuatan dan keberanian untuk bertemu dengan Wisnuaji dan ibunya.
***