Part 8
Samira masuk ke sebuah toilet wanita dan ia akhirnya menumpahkan air matanya di tempat ini. Tempat di mana Wisnuaji tidak bisa melihat wajah kalahnya. Wajah yang selama ini ia sembunyikan. Memang Samira tidak pernah menyangka bila Redi sampai hati mengeluarkan kata kata itu terhadapnya setelah ia menolak Redi untuk rujuk setahun yang lalu. Karena bagi Samira, wanita baik baik tidak akan mau merusak kebahagiaan wanita lain. Dia juga tidak mau merebut kebahagiaan anak anak Redi, apalagi ia sudah tidak memiliki perasaan apapun kepada mantan suaminya itu.
Diwaktu yang sama tempat yang berbeda. Ningrum dan Wisnuaji menatap Redi dengan pandangan tidak percayanya.
"Apa anda merasa bahagia setelah mengatakan hal itu kepada seseorang yang pernah anda cintai?" Kata Wisnuaji menahan emosinya melihat tingkah mantan suami Samira
"Tidak, aku hanya ingin kalian tau kekurangannya agar kalian bisa mengambil keputusan yang tepat. Aku tidak ingin dia menjanda sampai dua kali"
"Wow, hanya karena di anggap tidak bisa memiliki momongan anda tega menceraikan istri anda. Istimewa. Saya justru bersyukur Samira tidak akan menghabiskan sisa hidupnya bersama manusia seperti anda."
"Tidak usah munafik, setiap laki laki ingin memiliki anak kandung bukan, termasuk anda ketika anda menikah dengannya kelak?"
"Sayangnya saya lebih mengharapkan memiliki cucu dari anak saya, daripada saya memiliki anak lagi."
Wisnuaji melihat wajah shock Redi di depannya karena kata katanya barusan. Kini Ningrum yang sudah sadar dari keterpanaannya ikut bergabung dalam perbincangan panas dua orang laki laki di depannya ini.
"Nak Redi, laki laki yang memiliki hati tidak akan tega meninggalkan istrinya hanya karena istrinya tidak bisa memberikan keturunan padanya. Bukankah itu adalah salah satu cobaan dalam pernikahan, jika kalian belum dikaruniai momongan?"
"Sudah bu, lebih baik kita cari Samira saja daripada meladeni dia," kata Wisnuaji sambil merangkul ibunya untuk menjauh dari tempat Redi berdiri.
Ketika sudah cukup jauh dari Redi, Ningrum bertanya pada Wisnuaji
"Wis, kamu tau masalah ini?"
"Tidak bu."
"Kasian Samira, punya mantan suami kaya setan begitu."
"Ya begitulah hidup bu, ada keberuntungan, ada kemalangan."
"Apa kalo kamu nikah sama dia, kamu enggak akan menuntut punya anak?"
Wisnuaji menghela nafasnya.
"Bu, umurku sudah mau lansia empat tahun lagi. Jadi aku enggak ingin punya anak, tapi cucu."
"Kalo kamu memang tidak mengharapkan memiliki anak dan Samira juga tidak mampu memberikan keturunan, kalian memang jodoh berarti Wis."
"Ibu ini ngomong apa?"
"Di usia kalian ini, daripada memiliki anak, memiliki teman hidup itu lebih di butuhkan."
Walau kata kata ibunya benar, namun Wisnuaji enggan menjawab dan lebih memilih mengitari Mall mencari Samira hingga akhirnya ia melihat Samira keluar dari toilet wanita.
"Bu, itu Samira," kata Wisnuaji sambil menunjuk Samira
"Okay. Kita kesana Wis"
Kemudian Ningrum dan Wisnuaji menuju ketempat Samira. Tidak ada raut sedih yang tampak dari Samira, namun senyum tulus Samira yang bisa Wisnuaji dan Ningrum lihat di wajahnya.
"Bu, maaf ya tadi saya kebelet."
"Nggak pa-pa, kamu enggak usah mikirin wong sableng itu. Laki laki seperti itu tidak akan bisa menghargai wanita sampai kapanpun. Ayo kita pulang."
Kini Samira sudah di gandeng Ningrum menuju parkiran tempat mobilnya di parkir. Kemudian mereka mengantarkan Ningrum ke rumahnya, walau Ningrum mengajak Samira mampir, namun hari ini ia sedang tidak ingin berbasa basi dengan orang lain. Yang Samira inginkan hanya segera kembali ke hotel dan menenangkan hatinya serta pikirannya.
Di mobil pun Samira memilih diam tidak mengajak Wisnuaji mengobrol. Ia lebih memilih larut dalam pikirannya sendiri.
"Saya minta nomer Rekening kamu," suara Wisnuaji memecah keheningannya di dalam mobil tersebut.
"For what?"
"Ganti uang yang kamu keluarkan tadi."
Samira hanya tersenyum sambil menatap Wisnuaji sekilas.
"Tidak perlu, itu bukan hal yang besar. Jika Mamanya Nada suka dengan kado itu, itu sudah cukup menjadi bayarannya."
"Sam, itu bukan nominal kecil."
"Apalah arti sebuah materi jika kita tidak memiliki keluarga untuk berbagi."
Kata kata Samira mampu membungkam Wisnuaji sehingga ia tidak bisa berkata kata lagi di depan Samira. Di dalam pikirannya Wisnuaji bertanya tanya perempuan macam apa Samira ini, sudah di sakiti oleh mantan suaminya, di permalukan di depan orang, tapi dia tidak menunjukkan kesedihannya. Mungkin wanita itu sudah pernah tersakiti begitu dalam hingga hal seperti ini tidak mempengaruhi dirinya.
"Kamu saya antar sampai depan rumah saja ya?"
"Okay," hanya itu jawaban Wisnuaji sebelum akhirnya ia turun dari mobil Samira.
***
Sampai di hotel Samira langsung menuju ke kamarnya. Ia benar benar terpukul atas kejadian tersebut. Bahkan ia tidak tau bagaimana jika ia bertemu lagi dengan Wisnuaji serta ibunya besok.
Untuk itu ia turun arah kolam renang hotel, untuk menikmati sore yang cerah hari ini.
"Wow, makin tua tubuh dan wajahmu semakin menggoda Mir."
Karena kaget Samira menoleh dan menemukan Redi ada di dekatnya.
"Darimana kamu tau aku ada di sini?"
"Aku cukup tau asetmu di Indonesia ada di mana saja. Salah satunya di sini. Keren juga kamu, 12 tahun menghilang, ternyata kamu menjadi wanita kaya raya tanpa bantuan keluarga."
"Ada urusan apa kemari?"
"Aku mau meminta maaf soal yang tadi."
"Sudah aku maafkan silahkan pergi dari tempat ini, sebaiknya kita tidak bertemu lagi."
"Kenapa?"
"Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun. Aku juga tidak mau istrimu berfikir yang tidak tidak."
"Baik jika itu maumu. Namun tidak ada salahnya kamu menengok ayahmu, kamu sudah tidak pulang satu dekade lebih, bahkan beliau sudah sakit sakitan."
"Baik, terima kasih informasinya."
"Kamu beruntung memiliki calon suami dan mertua yang sepertinya tidak keberatan dengan kondisimu. Pertahankan laki laki seperti itu."
Apa pula maksud kunyuk satu ini.....
Kata Samira dalam hati. Kemudian ia meninggalkan Redi sendirian untuk menuju ke kamarnya. Jika Redi bisa mengetahui asetnya di Indonesia, ada kemungkinan Redi memata matai semua kegiatannya, pikir Samira.
Ketika ia sampai di kamar, ia mendapatkan telepon dari nomer yang tidak di kenal. Awalnya ia abaikan telepon tersebut, namun handphonenya tidak berhenti berbunyi, mau tidak mau ia harus mengangkatnya.
"Hallo"
"Hallo Sam," sebuah suara yang Samira kenali sebagai suara Wisnuaji
"Ya Mas, ada apa?"
"Ibu ngajakin makan malam bareng sama Juna dan Nada."
"Kapan?"
"Besok malam, kamu bisa?"
Mau tidak mau Samira tersenyum. Setelah sepuluh tahun lebih ia tidak merasakan kehangatan keluarga, kini justru keluarga Wisnuaji yang memberikan "kebutuhan batinnya."
"Bisa, dimana lokasinya?"
"Rumahnya Nada dan Juna."
"Okay, kita ketemu di sana."
"Ibu bilang kita berangkat bareng saja. Asal kamu enggak keberatan."
"Apa enggak ngerepotin?"
"Nggak, santai saja. Kamu kirimkan alamat kamu ke nomer ini."
"Okay," jawab Samira singkat
"Okay. Aku tutup teleponnya. Bye."
"Bye."
Setelah Wisnuaji menutup teleponnya, Samira langsung membuka almari di kamar hotelnya mencari pakaian yang pantas yang akan ia kenakan besok.
***
Pukul 3 sore Samira sudah siap menunggu Wisnuaji di loby hotel. Karena Wisnuaji mengatakan bahwa sepuluh menit lagi ia akan sampai di sana dan ketika Wisnuaji sampai di sana Samira benar benar terpana melihat Wisnuaji dalam balutan kemeja warna putihnya.
Penampilannya tidak terlalu resmi namun mampu membuat Samira terpaku padanya. Banyak laki laki lebih tampan, kaya dan mungkin juga lebih jago mengatakan kata kata manis daripada laki laki yang sedang berjalan ke arahnya ini, namun sifat Wisnuaji yang rela mengesampingkan kebutuhan pribadinya dan memilih membesarkan putranya cukup membuat Samira jatuh hati kepadanya. Berapa banyak pria yang biasanya akan dengan mudah menikah kembali setelah perceraian, termasuk juga Redi. Namun Wisnuaji tidak melakukan itu, bahkan ia juga menyayangi keluarganya hingga menantunya. Hubungan Wisnuaji dengan para pekerja di rumahnya pun cukup dekat. Lebih dari sekedar materi, bagi Samira laki laki baik bisa terlihat dari cara dia memperlakukan orang lain dan keluarganya.
Untung saja kali ini ia juga berdandan semi formal. Dengan baju yang menurutnya sudah cukup pantas untuk bertamu ke rumah Juna dan Nada.
"Sam, kamu sudah siap?"
"Sudah," jawab Samira sambil bangkit dari sofa yang ia duduki
"Okay, kalo begitu kita berangkat sekarang."
Samira hanya mengangguk dan jalan di sebelah Wisnuaji. Tatapan para karyawannya yang melihatnya berjalan bersama Wisnuaji pasti akan menimbulkan gosip ke depannya. Karena mereka semua tau dirinya adalah seorang janda tanpa pasangan yang hidup seorang diri selama ini.
Setelah sampai di mobil Wisnuaji membukakan pintunya untuk Samira.
"Maksih Mas."
Wisnuaji hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan ke sisi pengemudi.
Ketika Samira duduk, ia mendengar suara orang berdeham dari kursi belakang dan ternyata Ningrum sudah duduk manis di kursi belakang mobil Wisnuaji.
"Sore Bu," sapa Samira ramah
"Sore Sam. Kamu cantik sekali, padahal hanya mau ke rumah si kunyuk."
Mau tidak mau Samira tertawa, bersaman dengan itu Wisnuaji telah berhasil mendudukkan dirinya di kursi pengemudi.
"Kita berangkat sekarang ya?"
"Okay," jawab Samira singkat.
Sepanjang perjalanan Samira hanya mendengarkan Ningrum mengoceh tentang macetnya jalan sore hari ini. Menurut Ningrum cucunya terlalu memaksakan diri setiap hari karena tinggal di Temanggung namun bekerja di jogja. Padahal Juna dan Nada memiliki rumah di Jogja yang hanya mereka tinggali jika sedang malas pulang ke Temanggung.
Satu jam setelahnya, mereka tiba di rumah Juna dan Nada yang berhalaman luas namun terlihat nyaman ini.
"Ibu males banget Wis kalo ke rumah Juna, kebanyakan tangga," kata Ningrum bersamaan dengan turun dari mobil.
"Ya besok minta sama Juna suruh kasih lift,"
Jawab Wisnuaji santai.
"Boleh juga, nanti ibu bilang sama Juna. Ibu sama Astuti kalo ke sini sama saja olahraga saking harus jalan jauh sama naik tangga."
"Anggap saja jalan jalan ke Borobudur Bu. Sudah ayo kita naik," kata Wisnuaji sambil berjalan di samping ibunya, mau tidak mau Samira jalan di belakangnya.
Dari cara Wisnuaji memperlakukan ibunya Samira tau, jika Wisnuaji adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Setelah sampai di atas, Wisnuaji memencet bel rumahnya, dan menemukan Juna membukakan pintu.
"Assalamualaikum," sapa Wisnuaji ketika pintu di buka oleh Juna
"Waalaikum Salam Pa, Eh Eyang sama ada Mbak Samira. Ayo masuk," kata Juna mempersilahkan mereka bertiga masuk ke rumahnya.
"Pa, langsung ke ruang tengah saja. Juna lagi bantuin Nada masak soalnya."
Samira menaikkan alisnya mendengar pengakuan Juna dan Juna telah meninggalkan mereka bertiga begitu saja. Sungguh bukan tuan rumah yang baik.
"Jun, piring, sendok sama gelas sudah di sterilisasi semua?"
"Sudah."
"Good, bantuin nata di meja."
"Iya bentar, aku bikin minum buat tamu kita."
Samira memperhatikan interaksi Juna dan Nada, ia tersenyum kecil melihatnya.
"Kamu jangan heran lihat mereka, mereka enggak seperti pasangan normal pada umumnya," kata Wisnuaji pada Samira, namun matanya sedang fokus memperhatikan ibunya yang sibuk berjalan mondar mandir di ruang keluarga memperhatikan rumah cucunya.
"Mereka pasangan yang serasi. Bisa melakukan apa saja berdua. Justru itu yang seharusnya pasangan lakukan di rumah tangganya. Saling bahu membahu."
Wisnuaji terkekeh mendengar kata kata Samira.
"Pa, ini minumnya. Mbak diminum ya. Yang gelas ini punya eyang. Soalnya gulanya khusus."
"Okay. Thank you Jun," kata Wisnuaji pada Juna.
"Juna," panggil Ningrum pada cucunya
"Ya Eyang, ada apa?"
"Kamu sama Nada makin sering ya naik gunung?"
"Sering Eyang, setiap malam malah," jawab Juna santai sambil berjalan kembali ke arah dapur.
Kata kata Juna sukses membuat wajah Samira memerah. Samira tidak habis pikir bagaimana Juna bisa sesantai itu berbicara tentang urusan ranjangnya.
"Eh ada Mbak Samira, maaf ya Mbak, enggak maksud menodai pendengaran Mbak Samira," kata Juna spontan ketika menyadari ada orang lain yang kini hadir di dalam keluarganya.
"Nggak pa-pa," hanya itu yang sanggup Samira katakan pada Juna.
Juna kembali membantu Nada. Sedangkan Wisnuaji sudah beranjak berdiri dari posisi duduknya menuju ke halaman samping rumah.
"Jun, loreng sehat?"
"Sehat Pa, sana kalo Papa mau main sama loreng."
"Mbak Samira ikut saja, loreng imut dan lucu lho."
Mau tidak mau Samira beranjak berdiri dari duduknya dan mengikuti ke arah Wisnuaji berjalan.
What the hell....
Samira membelalakkan matanya ketika melihat loreng. Ternyata loreng adalah harimau yang berada di kandang cukup luas di samping rumah Juna dan Nada yang herannya begitu terlihat jinak dan akrab dengan Wisnuaji.
"Kamu jangan dekat dekat banget lah Mas, aku ngeri lihatnya takut di terkam."
"Di dunia ini tidak ada yang lebih menakutkan daripada manusia Sam."
Samira hanya terdiam mendengar kata kata Wisnuaji.
"Papa, Tante Samira, ayo masuk kita makan bareng bareng."
"Ya Nad."
Kemudian Wisnuaji meninggalkan loreng di kandangnya untuk berjalan masuk ke rumah di ikuti Samira.
Nada dan Juna yang menatap Wisnuaji dan Samira hanya bisa tersenyum.
"Serasi," desis Nada
"Apanya?"
"Bajunya"
"Aku kira Papa sama Mbak Samira."
Nada hanya terkekeh di sebelah Juna.
"Jun, dia itu lebih pantas di panggil Tante. Usia dia sudah mau 43 tahun sebentar lagi."
Mendengar pengakuan Nada, mata Juna membulat sebesar piring makan.
"Serius kamu?"
"Iya lah, emang kamu suka bercandain aku. Sudah ayo makan," kata Nada sambil beranjak meninggalkan Juna
Malam ini mereka makan dalam suasana santai di rumah Juna. Bahkan canda tawa menghiasi makan malam mereka malam ini.
"Tante Samira berdiri situ deh, mau aku foto."
"Buat apa?"
"Kenang kenangan soalnya Tante cantik banget malam ini."
Mau tidak mau Samira menuruti kemauan Nada untuk berpose di dekat meja makan.
"Sudah Tante. Makasih ya."
Samira melihat wajah Nada begitu ceria entah karena apa.
"Tante nama akun Instagramnya apa?"
Kemudian Samira menyebutkan nama akunnya kepada Nada dan Nada mengetiknya di handphonenya.
"Sudah aku follow ya Tante. Jangan lupa follback."
"Iya."
Beberapa saat kemudian handphone Samira berbunyi menandakan ada pemberitahuan dari Instagram miliknya. Samira kaget melihat Notifikasi jika Nada menandai dirinya dalam sebuah kiriman.
Welcome to the Family Tante Samira ❤️
❤️231 like, 122 comment
Deva : calonnya mas Adam?
Nada : sok tau, gandengannya papa yang baru dong, cantik kan ?
Salma : anjir, gue kagak salah baca ini, Om Wisnu punya gandengan?
Deva : ihirrr.... Juna siap siap punya dedek bayi.. oek....oek....
Juna : andai Lo laki Dev, sudah gue ajak berantem Lo Dev.
Deva : di wakilin Fabian saja Jun
Juna : kagak, kasian gue sama laki Lo, malang banget punya bini cetakannya kaya Lo gini
Wisnuaji : Nada jangan bikin gosip?
Nada : Upss....papa datang, kita pulang semuanya ?
Adam : ya Allah, Om Wisnu saja punya gandengan, masa gue masih jomblo saja?
Ervin : jangan kebanyakan milih jadi orang Dam
Vanilla : mas Adam, Lo nikah sama gue saja
Adam : ogah, Lo adek gue, lagian enggak mau gue jadi lagunya seventeen yang jalan terbaik. Kita beda kitab Van?
"Nad," panggil Samira ketika mereka sedang menonton film di ruang keluarga rumah Juna
"Ya Tan, kenapa?"
"Kok kamu upload foto Tante dan komentarnya rame pula."
Nada hanya terkekeh di sebelah Samira.
"Tante santai saja. Enggak bakalan ada yang marah kok. Papa itu masih available."
Samira hanya memegang keningnya. Kini ia bingung harus seperti apa menghadapi hari esok hanya karena kesalahan ibu Wisnuaji mengartikan hubungannya dengan putranya di tambah unggahan Nada di Instagramnya yang membuat orang semakin berspekulasi lebih tentang hubungannya dengan Wisnuaji. Dari semua yang terjadi di hidupnya kini, entah kenapa Samira begitu menikmati semua ini. Kini bahkan hidupnya terasa berwarna bukan hanya hitam dan putih saja.
***