Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6

"Kamu siapa bisa ada disini?"

Mendengar pertanyaan wanita itu Samira bangkit berdiri dari posisi duduknya dan tersenyum canggung. Kini ia bingung harus menerangkan siapa dirinya kepada wanita ini. Tidak mungkin ia mengatakan jika ia adalah pengagum rahasia Wisnuaji sejak 10 tahun yang lalu kepada wanita ini.

Ya Tuhan...

Tolong kirim Malaikat penolong saat ini, karena aku tidak tau harus menjawab apa sekarang..

"Saya, saya," Kata Samira dengan sedikit bingung harus berucap apa

"Dia pasanganku. Siapa yang mengijinkanmu masuk ke sini?"

"Satpam membukakan gerbang untuk aku tadi Mas."

"Aku bukan Mas mu. Sudah cukup Retno kamu mencoba mengganggu kehidupanku sejak beberapa bulan ini. Sebaiknya kamu angkat kaki dari rumahku"

Samira melihat wanita cantik yang berdandan dengan pakaian kurang bahan ini sambil menelan ludah. Ia yakin wanita ini berusia jauh di bawahnya. Mungkin kisaran 37 tahun. Jika wanita seperti ini saja di tolak Wisnuaji, apalagi dirinya yang sempurna saja tidak sebagai wanita.

Setelah Wisnuaji menolaknya secara mentah mentah, Retno keluar dari rumah Wisnuaji. Namun kali ini Tuhan memang berencana menghukumnya karena sesosok wanita tua dengan kebaya datang menghampirinya dan Wisnuaji.

"Alhamdulillah Le, Kowe wes nduwe calon bojo saiki*." (*Alhamdulillah Nak, kamu sudah punya calon istri sekarang)

Diantara ketakutannya Samira juga ingin tertawa karena Wisnuaji seperti sosok laki laki muda yang baru saja ketauan oleh orang tuanya bila sudah memiliki kekasih.

"Sinten asmane*?" (*siapa namanya) tanya ibu Wisnuaji kepada Samira.

"Nama saya Samira," kata Samira sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Saya Kusumaningrum. Panggil saja Ningrum," kata Ningrum sambil menjabat tangan samira

"Baik Bu."

"Ayo duduk. Wah pas sekali kamu disini. Saya sedang mencari teman untuk membeli kado buat besannya Wisnuaji."

Samira hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Walau sebenarnya ia merasa pusing karena kenapa semua menjadi serumit ini.

"Wis....Wis...kamu cepat siap siap, kita berangkat secepatnya."

"Ya Bu. Aku ganti baju ke kamar dulu."

Andai ia tau jika ibunya akan datang ke rumah ini, dia pasti tidak akan mengatakan jika Samira adalah pasangannya dan karena kesalahan mulutnya, kini ia harus bersandiwara di depan ibunya. Tidak ada cara lain selain itu untuk saat ini. Toh ia harus menghargai usaha menantunya untuk mencarikannya gandengan.

Sejak ia pensiun dari pekerjaannya, Wisnuaji lebih memilih penampilan santai untuk berpergian. Jas dan kemeja hanya ia gunakan ketika benar benar harus menghadiri acara acara penting. Sehingga ia hanya menarik kaos hitam dan celana hitam dari dalam walk in closet miliknya.

Ketika Wisnuaji turun dari tangga rumahnya, Samira masih terpaku melihat sosok laki laki yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini. Bagaimana bisa Wisnuaji berpenampilan layaknya anak muda.

"Wis, kamu kok sekarang sering pakai kaos sama jeans," suara Ningrum membuat Samira kembali kepada realita yang ada kini.

"Kita cuma mau ngeMall Bu. Bukan mau kondangan."

"Iya tapi penampilanmu kalo kaya begini enggak beda sama anakmu."

"Bagus dong Bu, berarti aku awet muda."

"Oh, jadi kamu senang kalo awet muda?"

"Ya senang lah Bu, apalagi kalo Juna kasih cucu secepatnya. Dijamin Bu makin tambah muda."

"Kamu aja buruan nikah lagi dan bikin anak."

"Nggak, nggak Bu. Aku sudah happy dengan keadaan seperti saat ini. Sudah pensiun dari kantor ,kerjaan pengacara."

"Iya kamu memang pengacara sekarang, pengangguran banyak acara. Kamu kalo off-road sama teman teman kamu enggak pernah ingat jalan pulang."

Samira kini tau jika Wisnuaji tidak menginginkan pernikahan

Apakah kegagalannya menjalin rumah tangga dengan Pinar Defne begitu membekas dihatinya. Padahal itu semua sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu.

"Nak Samira, kamu kan pacarnya. Tolong di kasih tau suruh cepat menghalalkan kamu."

Samira menelan ludahnya, bersamaan dengan itu Wisnuaji membelalakkan matanya.

"Sudah ayo kita berangkat. Pakai mobil kamu saja Wis yang muat banyak."

"Lagi service di bengkel. Ada Hummer, ibu mau ?"

"Tidak."

"Maaf, pakai mobil saya saja, kalo hanya kita, insyaallah cukup."

"Owalah, boleh boleh Nak. Ayo kita berangkat," kata Ningrum sambil menggandeng Samira untuk berjalan keluar dari rumah Wisnuaji.

Selama di perjalanan, Wisnuaji duduk di depan di sebelah supirnya dan Samira di belakang bersama Ningrum.

"Nak Samira kerja dimana?"

Samira hanya tersenyum, ibu Wisnuaji benar benar mulai melakukan "sensus" kepadanya

"Samira Group."

"Di bidang apa itu?"

"Kosmetika awalnya dan kini merambah perhotelan serta fintech Bu."

"Wis, gek ndang di rabi wae*." (* Wis, buruan di nikahi saja.)

"Bu, kalo berkhayal jangan ketinggian, aku itu cuma pengangguran, enggak akan sanggup biayain kehidupan Samira."

"Kamu kerja puluhan tahun di mana hasilnya?"

"Sudah aku pindah tangankan ke Juna semua. Aku sudah bahagia hidup seperti ini."

"Wis, kamu itu jangan terlalulah kalo kasih kerjaan ke anak, pantas saja Juna enggak kasih ibu cicit sampai sekarang. Lha kamu bikin dia capek kerja."

Wisnuaji memilih diam. Ia sudah berjanji kepada Juna untuk tidak memberitahukan kepada ibunya tentang kondisi Nada, jika Nada memiliki rahim retrofleksi. Itu salah satu sebab Nada belum berhasil memberikan keturunan untuk klan Widiatmaja. Jika Nada tidak bisa memberikan keturunan untuk Juna pun, Wisnuaji tidak akan meminta atau memaksa Juna meninggalkan istrinya. Karena ia tidak bisa meminta memiliki menantu yang lebih baik daripada Nada.

Nada adalah wanita yang dicintai putranya untuk pertama kalinya dan Nada pulalah yang membuat Juna berani melawan ketakutannya untuk menikah.

"Kalo bisa ibu jangan keseringan nanyain Nada sudah isi belum. Sekarang lihat, Juna jadi enggak pernah bawa Nada main ke rumah lagi kan?"

"Iya sih, ibu kangen sama mereka. Besok kesana ya Wis."

"Maaf Bu, enggak bisa, aku mau ke Maldives sama anak-anak."

"Samira kamu ikut saja. Kamu jagain Wisnu, takut ada Wewe gombel kaya Retno lagi."

Kini mata Samira membelalak mendengar kata kata ibu Wisnuaji. Pergi ke Maldives bersama Wisnuaji?

Itu benar benar di luar impian Samira. Karena ia sendiri takut tidak bisa menahan dirinya lagi jika harus berdua dengan Wisnuaji

Tidak terasa mobil yang membawa Samira, Wisnuaji dan Ningrum telah sampai di parkiran Hartono Mall.

"Kita parkir di sini saja. Enggak usah di dalam," kata Samira pada sang supir

"Baik Bu."

Setelah mobil berhenti, Wisnuaji dan ibunya keluar lebih dulu. Setelah Wisnuaji dan ibunya keluar. Samira mengeluarkan dompetnya serta mengeluarkan uang berwarna merah selembar

"Sambil nunggu saya, kamu bisa istirahat, dan pakai ini buat beli kopi."

Walau awalnya menolak tapi sang supir mau tidak mau menerimanya karena Samira akan meninggalkan uang itu di jog penumpang depan jika ia menolaknya lagi.

"Baik Bu. Terimakasih. Nanti ibu telepon saja kalo sudah selesai."

"Okay Pak. Saya keluar dulu."

Saat Samira keluar dari mobil, ia sudah melihat Wisnuaji dan ibunya sedang menunggu dirinya di dekat pintu masuk Mall. Segera ia bergegas berjalan menghampiri mereka berdua.

Kali ini walau tanpa persetujuan, mereka harus bersikap layaknya pasangan di depan ibu Wisnuaji. Walau Samira menikmatinya, namun ia takut juga jika suatu saat kebohongan ini akan terbongkar.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel