Effendik
Tubuh Effendik hampir saja tertelan ke dalam mulut ular hitam raksasa. Kalau saja iya tak segera mengeluarkan jurus segel pemanggilan kodam miliknya. Beda dengan pemilik kodam yang lain dimana kodam dipanggil dengan prasarana darah pemilik kodam.
Effendik memanggil kodam pendamping miliknya hanya dengan sekilas memejamkan mata. Seakan ia merapal kalimat-kalimat dari satu ajian mantra kuno. Bahkan dari teknik pemanggilan kodam yang iya lakukan datanglah kodam legenda. Sejenis kodam burung punik yang berasal dari bara api. Seakan datang dari jurang neraka. Burung Punik bahkan tiada terbang dari langit. Tetapi muncul dari bawah tanah lalu melesat mendatar begitu dekat dari tanah.
Burung api Punik secepat kilat menyambar tubuh Effendik yang hendak di telan mentah-mentah oleh ular hitam besar. Sebuah ular hitam datang dari teknik pemanggilan kodam jua.
“Kecepatanmu memang tidak diragukan lagi Effendik. Berarti benar kabar simpang-siur tentang kehebatan peserta baru dari desa Gedangan. Nyatanya benar adanya bukanlah isapan jempol belaka,” ucap Wasis seorang pemuda peserta perwakilan dari desa Ploso yang memiliki kodam pendamping ular tanah hitam dan besar.
“Juih, memang benar juga apa yang aku dengar tentang kau Wasis. Kabar tentang kelicikan mu yang selalu menyerang dari belakang saat lawan lengah. Sudah terdengar dimana-mana bahwa kau Wasis pemuda licik dari desa Ploso. Apa maumu mengganggu pertandingan Turnamen Of Kodam kali ini?” teriak Effendik dengan nada intonasi agak meninggi dan berwajah emosi.
“Woi Bakti! Coba jelaskan pada anak muda kemarin sore ini. Kenapa aku datang kemari, jelaskan jua padanya perubahan jadwal yang ditetapkan para petinggi pemangku saham atau pembawa modal Turnamen Of Kodam,” kelakar Wasis begitu sombong dan jemawa sambil bertolak pinggang.
Bakti terlihat menerima panggilan dengan sarana mata batin dan telepati. Tampak ia mengangguk-angguk mendengar sebuah perkataan dari beberapa petinggi pemangku modal atau pembawa saham.
“Baik, Baik laksanakan. Ok kawan data sudah saya terima kembali dan langsung tersimpan pada cip yang ditanam di otak belakang saya. Perubahan jadwal sudah ditetapkan. Bahwa setiap pertandingan yang diadakan tengah malam, akan melakoni dua sesi pertandingan. Bagi yang memenangkan pertandingan pertama dia akan melawan peserta selanjutnya yang mendapatkan Bay. Atau dalam kata lain melawan peserta yang langsung bisa loncat tanpa tahap seleksi awal turnamen,” teriak Bakti melangkah perlahan dengan santai sambil menyulut sebatang rokok menuju ke arah Effendik dan Wasis.
“Sudah gila rupanya para petinggi itu, mabuk harta dunia rupanya mereka. Kenapa peraturan bisa berubah secara cepat, pertandingan macam apa ini?” gerutu Effendik terus memaki-maki.
“Sudahlah Effendik lawan saja aku. Aku juga ingin menjajal kehebatan kodam burung api yang berdiri di belakangmu itu. Apa benar dia sehebat yang dikatakan orang-orang?” sahut Wasis dengan ular tanah hitam besar yang dalam keadaan siap menyerang di atasnya.
Dalam hati Bakti masih bertanya-tanya sebenarnya siapa Effendik ini. Bukankah kodam burung api adalah milik legenda dari desa Mojokembang. Kenapa iya dapat memilikinya, bahkan ia bukan warga desa Mojokembang melainkan warga desa Gedangan. Sebenarnya apa hubungannya Effendik dan Sang legenda pembawa kodam Mas Kastury dari desa Mojokembang? Benarkah tentang rumor yang beredar tentang anak Mas Kastury akan muncul di Turnamen Of Kodam kali ini.
“Baiklah pertandingan ketiga dari Turnamen Of Kodam tahun ke sepuluh. Antara Wasis dari desa Ploso melawan Effendik dari desa Gedangan dimulai,” teriak Bakti mengawali kembali mulainya pertandingan lanjutan dari pertandingan sebelumnya yang dimenangkan oleh Effendik.
Kali ini Effendik harus langsung kembali bertanding melawan Wasis dari desa Ploso. Dimana Wasis mendapatkan undian keberuntungan dengan mendapatkan Bay yang langsung bisa meloncat tanpa mengikuti sesi seleksi sebelumnya.
Angin mulai berubah arah kembali sealur dengan kembali dimulai pertandingan turnamen menyesatkan kaum manusia. Ketika Wasis dan Effendik bertanding markas pusat dari para petinggi penanam modal. Tengah mengintai dengan mata-mata penerawangan mereka yang begitu dahsyatnya.
Seakan kelima petinggi yang tengah duduk di kursi-kursi emas singgasana mereka sangat menikmati. Terkadang mereka bertaruh akan para peserta dan menebak siapa yang keluar sebagai juara dari satu partai pertandingan yang sedang berlangsung.
“Bagaimana Mas X, kau kali ini memilih siapa untuk taruhanmu. Menurutmu siapa yang akan kau jagokan Wasis atau Effendik?” celetuk MR Y duduk santai menikmati hidangan buah-buahan segar di atas meja samping singgasananya.
“Aku bertaruh tinggi untuk Effendik perwakilan dari desa Ploso. Sebab iya memiliki Kodam legenda burung api Punik. Aku curiga rumor kalau akan muncul anak dari Kastury akan ikut turnamen kali ini benar adanya,” jawab MR X sambil menikmati kepulan asap cerutu dari mulutnya.
“Kalau kau Adi MR Z, kau memilih siapa yang keluar sebagai pemenang partai pertandingan kali ini?” pertanyaan kembali terlontar dari mulut MR X sambil mengunyah buah anggur di mulutnya.
“Aku tetap pada pilihan awal jatuh pada Wasis. Sebab Effendik sudah melakoni partai pertandingan sebelumnya. Tentu ia juga manusia biasah walau memiliki kodam legenda. Bukan berarti Effendik tidak memiliki kelelahan,” pernyataan MR Z terlontar dan menjatuhkan pilihannya pada Wasis sebagai pemenang.
“Kalau aku sebagai pemegang saham acara lima tahunan ini yang paling muda. Aku sadar aku belum pengalaman dan belum tahu benar tentang kekuatan para peserta. Tapi menurut pengamatanku kali ini Effendik bukan lawan yang remeh bagi Wasis. Jadi aku memilih Effendik yang akan keluar sebagai pemenangnya,” jelas MR W menimpali omongan untuk pertaruhan dari rekan-rekan sesama petinggi di sampingnya.
“Kalau aku sebagai petinggi paling tua di sini. Seorang petinggi yang sudah banyak menyaksikan pertandingan di Turnamen Of Kodam ini. Aku cenderung memilih Effendik sebagai pemenang nantinya. Aku curiga memang dia benar-benar anak legenda juara pertama turnamen ini yakni Kastury. Aku tahu dari gaya-gaya bertarungnya mirip sekali dengan muridku Kastury dahulu,” ucap MR V yang penuh pengalaman dengan usia paling tua dari kelima petinggi pemangku saham berdirinya Turnamen Of Kodam.
“Baiklah sebaiknya kita nikmati saja pertandingan kali ini. Rupanya dukungan lebih mengarah pada Si Pemuda misterius dari desa Ploso Effendik. Jangan lupa taruh uang taruhan kalian pada sekretaris saya Sari yang cantik jelita ini,” oceh MR Y sambil memberi kode dengan lambaian tangan ke arah Sari Sang sekretaris seksi milik MR Y.
Sari berjalan dengan lenggak-lenggok bak gitar Spanyol. Setiap mata dari ajudan-ajudan penjaga setiap para petinggi melirik ke arah pinggul dan langkah kakinya. Sari hanya tersenyum memandang tatapan-tatapan gairah para ajudan sambil terus mengambil tumpukan-tumpukan uang di setiap meja samping para petinggi pemangku saham.
“Au, lah kok mencolek Mas!” teriak Sari secara otomatis saat bagian area sensitifnya dicolek oleh salah satu ajudan dari MR X.
Duor,
Sebuah tembakan mengarah ke kepala salah satu ajudan MR X yang berani mencolek tubuh Sari. Suara letupan pistol berasal dari tangan MR Y. Sekali bidik pelor meluncur deras pas mendarat di tengah kening ajudan tersebut.
“Jangan berani-berani memegang tubuh sekretaris saya. Tubuh Sari hanya khusus untuk saya pemilik syah dari kehidupannya,” teriak MR Y begitu marah.
“MR Y, MR Y, kendalikan dirimu dan maafkan anak buahku. Dia sudah mati jadi jangan marah seperti itu. Hal ini hanya kesalahan kecil tak perlu dibesar-besarkan mari bersulang,” ucap MR X menenangkan kemarahan dari MR Y yang sejatinya memang selalu gampang tersulut emosi.
Wasis tampak terengah-engah meladeni kecepatan Effendik dengan kodam burung api Punik miliknya. Kodam ular tanah hitam besar milik Wasis telah hancur oleh serangan burung punik milik Effendik. Kini tinggallah Wasis mengandalkan kekuatannya sendiri tanpa kodam yang harus melawan Effendik, dimana Effendik masih dalam keadaan tegap berdiri tanpa luka sedikit pun.
“Effendik lekas akhiri pertandingan ini dengan membunuh Wasis agar kau dinyatakan sebagai pemenang. Bukan hanya kau yang ingin pulang untuk istirahat, aku jua ingin tidur siang ini,” ucap Bakti memberi saran pada Effendik untuk cepat mengakhiri pertandingan lalu pulang untuk tidur.
Memang kebanyakan para pelaku Turnamen Of Kodam terjaga sepanjang malam. Lalu mereka tertidur di siang harinya sebagai pengganti istirahat mereka. Namun berbeda dengan Effendik yang jarang sekali tertidur, walau pun iya harus tertidur mungkin satu atau dua jam saja sudah cukup baginya.
“Bakti kesatria tak akan membunuh lawannya yang sudah tiada berdaya lagi. Begitulah seharusnya sifat Sang Kesatria sejati, bukan hanya mengincar kemenangan semata. Tapi lebih mengedepankan jalan kebenaran serta menjunjung tinggi rasa kemanusiaan,” tutur Effendik mulai menyulut rokok sebatang kembali.
“Ah bodoh sekali kau Effendik, Persetan dengan pemahaman dan pemikiranmu yang idealis itu, terima serangan terakhirku ini mati kau!,” Wasis berlari menuju Effendik menggenggam sebilah pedang di tangan kanannya. Pedang Wasis ternyata sudah tersalurkan aura level tiga berwarna biru. Dimana apabila pedang atau senjata pusaka dialiri cakra akan dapat menebas apa saja sesuai kehendak pemiliknya.
Effendik tak tinggal diam dia jua telah membentuk pedang seperti biasanya dari lafaz Bismillah. Sebuah ayat-ayat Al Quran yang keluar dari dalam mulut Effendik lalu membentuk pedang tajam. Effendik berlari menyongsong Wasis yang jua berlari ke arahnya dengan satu kali sabetan. Effendik dapat memotong tubuh Wasis menjadi dua bagian dan Wasis akhirnya menemui ajal.
“Maaf kawan aku tak bermaksud membunuh tapi keadaan dan kau sendiri yang memancingku untuk membunuhmu,” gerutu Effendik saat melewati Wasis yang terbelah menjadi dua bagian sehingga darah mengucur kemana-mana.
Seperti biasa petugas kebersihan dari acara Turnamen Of Kodam hadir secara tiba-tiba dengan cepat membereskan semuanya. Sehingga tempat yang dijadikan arena turnamen kembali seperti semula. Selayaknya tak terjadi apa pun di tempat tersebut, begitu rapi dan terstruktur.
“Ok sudah tercatat pemenang partai ketiga adalah Effendik. Sudah mari kita pulang hari sudah menjelang pagi benar,” ucap Bakti menghilang perlahan lalu lenyap entah kemana.
Effendik yang masih berada di arena terduduk di atas jajaran tanaman padi. Merenung kembali dan mulai meratapi dosa-dosanya, sebab iya sudahlah banyak membunuh orang demi masuk dan ikut dalam turnamen bergengsi Turnamen Of Kodam sekarang ini. Effendik mulai mengandai-andai bahwa jikalau iya menjadi yang kalah satu saat nanti dan tidak dapat menemukan sosok Kastury sang Ayah tercinta.
“Hai Nak Effendik, apa kabar mu?” sebuah sosok tinggi besar berwujud seorang tua memakai tongkat dari kayu cendana tiba-tiba berdiri di belakang Effendik tersenyum. Seakan Pak tua tersebut begitu mengenal Effendik sudah begitu lamanya.
“Astagfirullah Hal Adzim,” Effendik tersentak seketika meloncat ke arah berlawanan.