Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

00:01

Malam sudah berputar pada poros tengahnya dan bulan sabit awal tahun sudah menampakkan cahaya bias keemasan. Sesekali rembulan setengah sempurna mengintip di sela-sela awan gelap berarak mulai menyelimuti atas persawahan desa Mojokembang.

Nyanyi perdu burung Hut-Hut meminta hujan turun terus bersahutan di tepian kali. Ada pula ocehan seram burung hantu bertengger di salah satu pohon tua sudut desa.

Pukul 00:01 sudah terlihat pada jarum jam dinding yang menempel ogah pada sisi dinding dalam pos hansip tengah desa. Bahkan detak jarum begitu terdengar keras, sebab sunyinya petang merajai.

Pada sisi depan desa tepatnya di area persawahan, dimana jajaran tanaman padi menguning siap panen. Ada dua sosok manusia pembawa kodam hendak melangsungkan pertandingan. Seperti biasa Bakti datang dengan tongkat gaharu di tangan langsung membentakan tongkat ke atas tanah. Pertanda pertandingan kedua Turnamen Of Kodam telah dimulai.

Dinding-dinding gaib mulai menyekat di jarak seratus meter dari setiap sisi arena pertandingan. Seperti biasa enam orang pengawas berjubah serba putih agak gelap datang lalu duduk mengamati.

“Kalian sudah siap! Baiklah pertandingan kedua Turnamen Of Kodam. Antara desa Gedangan yang diwakili oleh Effendik Bin Kastury. Melawan Ganda perwakilan dari desa Mojosari dimulai,” Bakti telah menetapkan jalannya pertandingan seperti biasa sejak iya menjabat sebagai wasit pertandingan lima tahun yang lalu.

Tangan ganda mulai merangkai simbol-simbol jurus pemanggil mirip serial mangga atau kartun dari negeri bunga sakura. Tapak tangan kanannya dibentakan ke tanah sekali pukulan. Sebuah simbol diagram setan muncul membuat gambar lingkaran dengan gambar bintang di dalam lingkaran dan setiap sudut bintang menyala api kecil.

“Datanglah temanku para setan pocong, aku memerintahkan kalian untuk datang membantuku. Kemarilah ada santapan lezat untuk kalian,” oceh Ganda sambil memejamkan mata.

Tiba-tiba pas di atas tanah dari setiap ujung bintang muncullah asap putih dari dalam tanah. Awalnya hanya asap kecil lalu secara terus-menerus menjadi besar dengan volume lumayan tebal. Asap pada akhirnya membentuk sosok-sosok pocong berbagai rupa. Ada yang berwajah selayaknya tengkorak yang hitam bagai terbakar. Ada yang berwujud wajah manusia secara umumnya namun di dua lubang hidung dan telinga tersumbat kapas.

Ada pula yang begitu cantik namun berwajah sanggatlah pucat layaknya warna kapur tulis. Ada juga yang berwajah tak beraturan hingga mata hendak keluar dari tempatnya. Ada jua satu lagi yang paling sangar wajah penuh darah dan memakai kafan warna hitam sebagai pocong terkuat.

Terlihat ganda kembali berdiri tegap dengan senyum menyeringai di tengah lingkaran diagram setan miliknya. Namun Effendik sebagai lawan Ganda kali ini tak bergerak, tiada memanggil makhluk kodam ataupun sejenisnya. Hanya duduk bersila sambil menyulut sebatang rokok dari satu bungkus yang ia ambil dari saku celana.

“Kurang ajar apa kau meremehkanku Effendik. Sehingga kau tak memanggil makhluk pendamping untuk membantumu bertarung,” teriak Ganda begitu marahnya seakan merasa iya telah diremehkan oleh Effendik.

“Aku tak perlu makhluk pendamping atau sejenis kodam seperti yang kalian lakukan. Cukuplah Allah membantuku di setiap kesulitan dan marabahaya yang aku hadapi,” jawab Effendik dengan tegas namun tetap santai jua.

“Baiklah kalau begitu terima serangan pertama dariku ini. Bersiaplah wahai anak Kastury untuk menemui ajalmu,” Ganda terus meracau lalu mengirimkan satu makhluk astral berwujud pocong dari salah satu sisi ujung bintang di dalam lingkaran.

Pocong melesat lurus dengan mulut menganga lebar ke arah Effendik. Seakan Effendik telah mengukur dan mengetahui kekuatan lawannya. Iya tetap bersikap tenang sambil duduk bersila menikmati sebatang rokok yang menempel mesra dibibirnya.

“Dasar kaum musyrikin masih belum sadar juga kalian. Sebenarnya aku mengikuti turnamen ini hanya untuk menyadarkan kalian pembawa kodam dengan setan sebagai pendamping,” gerutu Effendik mengoceh sendiri.

Saat sosok pocong yang melesat dari arah Ganda semakin dekat pada wajah Effendik. Tiba-tiba ada sebuah rangkaian ayat Bismillah keluar dari dalam diri Effendik. Rangkaian ayat Al Quran berupa Bismillah berubah menjadi satu kesatuan berbentuk pedang. Seketika menebas sosok pocong menjadi dua bagian lalu terbakar menjadi abu.

“Sudahlah kawan menyerahlah dan bertobatlah ke jalan yang lurus. Jangan lagi kau mengikuti hawa nafsumu dan terjerumus pada lingkaran setan terlalu dalam,” ucap Effendik mulai berdiri dari duduk bersilanya.

Effendik terlihat mulai berjalan sambil menggenggam pedang dari rangkaian ayat Allah berupa Bismillah. Tapak kaki beralaskan terompah milik Effendik mulai perlahan menjejak menuju ke arah Ganda namun tetap tenang.

“Jangan banyak bicara kau Effendik, layaknya penceramah atau seorang kiai saja kau ini. Lawan aku sepenuh hatimu aku ingin tahu seberapa kuat kau ini. Apakah benar dari berita yang aku dengar kau tak pernah terkalahkan?” Ganda kembali berteriak sambil melontarkan dua sosok pocong kembali ke arah Effendik.

Namun sama dengan sosok pocong sebelumnya. Kedua pocong yang melesat kali ini jua dapat di tebas dengan mudah oleh Effendik dengan pedang Bismillahnya. Effendik terus berjalan mendekat ke arah Ganda. Membuat Ganda semakin ketar-ketir akan ketenangan Effendik.

“Sudah aku bilang menyerahlah aku tidak akan membunuhmu. Selayaknya pemenang pertandingan yang lain, karena membunuh bukan kewenanganku. Aku ini manusia membunuh atau mencabut ruh adalah kewenangan Allah Taala,” Effendik terus melangkah maju membuat Ganda agak menciut nyalinya saat melihat ketenangan wajah Effendik.

Satu sosok pocong lagi di letakkan Ganda pas depan Effendik menghalangi langkah Effendik untuk terus maju. Pocong dengan kain kafan begitu rusuh penuh noda lumpur tanah pemakaman. Berbau anyir darah yang begitu menyengat berasal dari wajahnya yang tak beraturan.

Sosok pocong tiba-tiba menyemburkan cairan menjijikkan dari mulutnya ke arah Effendik. Sebuah cairan mirip comberan penuh belatung di dalamnya. Cairan terlontar bak air dari ujung selang yang disemprotkan pada satu titik yakni wajah Effendik.

Namun belum sampai mendarat pada wajah Effendik. Sekiranya masih berjarak sepuluh meter dari wajah Effendik. Cairan tertahan sebuah lingkaran emas bentukan dari surah Al Fatihah. Sehingga cairan urung atau tak sampai mengenai wajah Effendik. Sehingga cairan meluber ke tanah jatuh bak air raksa menghanguskan apa yang ia timpa.

Lalu secara tiba-tiba surat Al Fatihah kembali berubah bentuk menjadi sebuah tombak. Terbang lurus ke arah pocong dan pocong meledak berantakan.

“Ups maaf ya kawan, peliharaanmu sisa satu ya. Aku tak sengaja loh dan ini semua bukan kehendakku. Mungkin sudah takdir yang digariskan di atas sana,” ucap Effendik terus berjalan menuju Ganda.

“Kurang ajar jangan sampai aku memakai pocong hitam milikku ini. Dia bisa memakan apa saja tak terkecuali ayat-ayat rapalan mu itu,” teriak Ganda mulai terserang mentalnya. Sebab kodam miliknya satu persatu dapat dihancurkan dengan mudah oleh Effendik. Bahkan Effendik sama sekali belum mengeluarkan kodam pendampingnya.

“Baiklah biar aku kali ini yang mengakhiri pertandingan ini. Kalian teramat bodoh mengartikan kodam dari arti sempit. Kalian hanya terfokus dalam artian negatif yang bukan sebenarnya. Bahwa kodam adalah makhluk pendamping, tetapi pusaka gaib jua termasuk arti dari kodam secara luas. Maka terimalah serangan ku dan memang kau yang memintanya bukan untuk aku menyerang,” ucap Effendik mundur kembali beberapa langkah.

Dalam genggaman Effendik muncul sinar biru perlahan membentuk sebuah busur panah lumayan besar. Saat Effendik menarik benang cahaya yang mengikat kedua sisi busur. Muncullah anak panah gaib yang jua berasal dari cahaya.

“Bismilahhirahmanirahim, Allahuakbar,” teriak Effendik dan panah seketika melesat langsung menembus pocong hitam meledakkannya. Tidak sampai disitu panah cahaya terus meluncur deras menancap pada kening Ganda.

Bruk,

Ganda ambruk seketika ke atas tanah tak berdaya dan tak bergerak serta tak bernyawa lagi. Lingkaran diagram setan yang semula mengelilinginya dengan gambar simbol bintang di dalamnya telah hilang.

“Astagfirullah Hal Adzim,” Effendik begitu sangat kaget, karena ada serangan secara tiba-tiba dari arah lain.

Effendik meloncat ke arah samping menghindari pukulan tenaga dalam secara gaib dari arah berlawanan. Namun tanpa di sengaja dari arah belakang Effendik ada sosok gaib ular hitam besar siap melahapnya.

“Woi Ya Allah, Ya Rahman apa ini, Bakti apa-apa an ini?” teriak Effendik dan Bakti berlari menuju Effendik yang telah berada begitu dekat dari mulut si ular hitam raksasa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel