BAB 4 | BUNGA LANGKA
Tiba di mansion bernuansa gelap miliknya, Vandyke langsung duduk di kursi kesayangannya. Kenapa disebut kesayangan? Karena ia kebanyakan menghabiskan siang dan malamnya di sana.
“Ampun, Tuanku. Aku siap dihukum,” ucap Lori dengan sungguh-sungguh.
“Hukum dirimu sendiri,” balas Vandyke.
Terlihat raut kebingungan di wajah Lori. Dia pun mencoba berpikir, hukuman apa yang akan ia lakukan demi memuaskan rasa kesal tuannya itu.
“Aku akan, berburu hewan langka di goa terlarang. Tuan pasti sangat menginginkan darah hewan itu, kan?” ucap Lori sambil bertanya di akhirnya.
“Jangan gila! Aku tidak berminat darah hewan itu. Kau lakukan saja tugasmu lebih giat lagi, bersihkan mansion ini hingga bersih mengkilap,” ucap Vandyke, membuat Lori merasa senang, karena sang tuan sendirilah yang menyebut jenis hukumannya.
“Terima kasih, Tuanku!” seru Lori.
Vandyke menghela napas sambil bergeleng kepala saat melihat aksi abdinya itu.
Ctak!
Dalam sekali petikan jari, Vandyke pun menghilang dan muncul di kamarnya. Kamar bernuansa klasik dengan warna kelam sesuai hatinya, dan juga banyak buku di sana, entah sudah dia baca semua atau kah belum, hanya dia yang tahu. Kamar tanpa ranjang dan tirai untuk menutup jendelanya itu, tentunya terbilang unik, sebab jendelanya mengarah ke air terjun timbal balik. Dalam arti kata, air terjun itu memiliki dua sisi. Sisi yang dapat dilihat dari mansion Vandyke, dan juga sisi yang tidak dapat dilihat dari sisi mansionnya juga.
“Lori!” sapa Vandyke.
Wink!
Dalam sekali sebut, Lori langsung muncul dengan posisi berlutut di hadapan Tuan Vandyke-nya.
“Aku di sini, Tuanku,” sahut Lori.
“Aku mau kamar dan seluruh mansion diberi cat warna cerah, misalnya, warna biru.”
“Baik, Tuanku!” sahut Lori dengan semangatnya. Kemudian ia menghilang dari sana.
“Lori!” seru Vandyke lagi.
“Siap, Tuanku!” Lori pun muncul lagi di sana.
“Aku mau tempat tidur, yang empuk dan warna elegan. Lalu, berilah jendela ini tirai berwarna cerah, misalnya … merah.”
“Siap, Tuanku! Apakah ada lagi, Tuanku?” tanya Lori.
“Tidak ada. Kau bisa pergi.”
“Baik, Tuanku!”
“Hmmm, apalagi yang harus kuubah?” gumam Vandyke yang kemudian heran sendiri karena merasa dirinya menjadi aneh. “Ada apa denganku?”
“Tuanku sepertinya sedang jatuh cinta,” gumam Lori di suatu tempat di dalam mansion itu.
“Apa katamu?!” Vandyke yang mendengar gumaman Lori pun langsung muncul di sana.
“Tuanku!? Kenapa Tuan kemari? Ini kandang kuda, apa Tuan tidak jijik?” tanya Lori yang sebenarnya hendak mengalihkan amarah dari pikiran Vandyke.
“Untuk apa aku merasa jijik? Bukankah kau sudah membersihkan kandang kuda ini setiap hari?” balas Vandyke.
“Tetap saja, ini adalah kandang kuda, Tuanku,” ucap Lori lagi.
“Jaga pikiranmu, Lori. Aku bisa mendengar semua yang ada di dalam kepalamu itu,” pinta Vandyke sebelum dia menghilang dari sana.
“Ada apa, Vandyke?” tanya Luis yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Vandyke. “Apa kau sudah bertemu Tuan Putri?” tanya Luis lagi.
“Ahh? Aku lupa, mereka masih di sini,” pikir Vandyke.
“Ya, kami berdua masih di sini. Apa kau sebenci itu kepada kami?” tanya Luis kepada Vandyke.
“Ya, kalian menganggu ketenanganku,” jawab Vandyke tanpa basa basi, bahkan terkesan lancang.
“Tuanku?!” Lagi, Zen merasa amarahnya akan meledak karena kelancangan yang diperlihatkan oleh Vandyke.
“Tahanlah, Zen. Kau bukan hanya sekali ini ikut kemari, bukan? Kenapa kau masih tidak tahu bagaimana sifat dan sikap Tuan Vandyke?” tanya Luis pada Zen pengikut setianya itu.
“Ampun, Tuanku,” sahut Zen sambil berlutut di belakang Luis.
“Ayo Zen. Kita pulang, yang penting kita sudah melihat keadaan Tuan Vandyke, dan Tuan Vandyke juga bersedia menjaga kerajaan itu,” ucap Luis yang diacuhkan oleh Vandyke sedari tadi, bisa dikatakan, Luis seakan berbicara dengan angin. Kasihan.
Akhirnya, Lori datang, lalu mengantarkan Luis dan Zen keluar mansion, “Terima kasih sudah berkunjung, semoga sampai ke tempat tujuan, Tuanku,” ucap Lori dengan sopan.
“Terima kasih, Lori. Kau memang pengikut yang baik,” ucap Luis dengan senyuman tulus untuk Lori.
“Sudah menjadi tugasku, Tuan,” sahut Lori.
“Oh iya, Lori. Peringatkanlah Tuanmu, jangan sampai jatuh hati kepada manusia. Apalagi dia sekarang adalah seorang bangsawan dari makhluk abadi. Karena, pada akhirnya akan menjadi buruk,” ucap Luis kepada Lori.
“Tapi, bukankah Tuan Luis sendiri yang mengatakan bahwa Tuanku akan jatuh hati kepada Tuan Putri dari kerajaan itu?” tanya Lori langsung ke intinya.
“Aku hanya bercanda, mana mungkin aku mendukung hal seperti itu,” jawab Luis dengan wajah tanpa dosanya.
Mendengar jawaban Luis, terasa kesal pula Lori jadinya. “Silahkan, Tuan. Jalan keluarnya di sebelah sini.”
“Ternyata, seorang abdi dan tuannya tidaklah jauh berbeda. Namun, kau masih mengusir kami dengan cara halus,” ucap Luis kepada Lori setelah sadar dirinya sedang diusir itu.
“Terserah kepada Tuan hendak berpikir seperti apa,” sahut Lori dengan berani. Sebab, dia tahu bahwa nyawanya selalu dilindungi oleh sang Tuan—Vandyke Duke Valter.
“Tuanku!?” geram Zen atas sikap Lori.
Hsssshh!!!
Zen dan Lori saling bertatap muka dengan jarak dekat. Keduanya terlihat siap untuk berkelahi.
“Zen, tenanglah. Ayo kita pulang,” ajak Luis kepada Zen si pemarah itu.
“Kenapa kalian belum pergi juga?” tanya Vandyke yang tiba-tiba saja muncul di sana.
“Hahaha, ayo, Zen!” Luis terlihat enggan berkelahi, jadi ia memutuskan untuk langsung pergi dari sana.
“Tuanku, kenapa Tuan keluar? Aku saja sudah cukup mengantar mereka,” ucap Lori.
“Aku ingin menyelidi hutan yang kita lalui,” ungkap Vandyke pada Lori.
“Hutan? Tempat di mana Tuan Putri dikejar vampir ganas??” tebak Lori.
“Iya.”
“Baik, Tuanku.”
Kedua Vampir itu pun pergi secepat beberapa kedipan mata ke arah hutan yang dimaksud.
“Baunya tidak enak,” Vandyke menutup mulutnya, namun terlihat pupil matanya yang melebar serta berubah warna. Seakan ia sedang menginginkan sesuatu yang ia lihat saat ini.
“Dasar makhluk menjijikan. Kenapa mereka melakukan semua ini kepada para manusia?” gerutu Lori yang tatapan mata yang sama dengan sang tuan.
“Lori, tahan rasa hausmu, atau kau tidak akan bisa menjadi vampir vegetarian lagi,” ucap Vandyke sambil tersenyum.
Lori menoleh ke arah Vandyke, ia tahu bahwa sang tuan juga sangat tergiur dengan apa yang ada di hadapan mereka sekarang. Meskipun para jenazah di sana hanya menyisakan beberapa tetes darah saja, tetap itu menarik hawa nafsu terdalam milik Vandyke dan Lori yang selama ini hanya meneguk darah hewan semata.
“Tentu saja, Tuanku,” ucap Lori sambil menahan kuat dahaganya.
“Ayo! Kita temui penghuni tempat ini,” ajak Vandyke.
“Baik, Tuan.”
Di tengah perjalanan, Zen bertanya kepada tuannya—Luis.
“Tuan, apa mereka berdua sebodoh itu?” tanya Zen kepada Luis.
“Apa maksudmu?”
“Mengenai ujian untuk mereka, maksudku Tuan Vandyke itu sendiri. Terkait sebuah kerajaan yang baru dibangun serta Tuan Putri dari kerajaan itu,” sahut Zen.
“Zen, kau tahu? Aku benci jika kau banyak bicara.”
