Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Kecemburuan di kediaman Hua Mei

Setelah menemukannya, Hwang Jun segera mengambil benda tersebut lalu dia berikan pada Ah Nian.

“Milikmu,” ujarnya sambil menyerahkan tongkat tersebut pada Ah Nian.

Ah Nian meraba udara di depannya dengan ekspresi gugup, entah kenapa dia agak sulit mengendalikan dirinya saat berada di sekitar Hwang Jun. Sama seperti ketika mendengar suara langkah kaki Hwang Jun sebelumnya hingga membuat Ah Nian melakukan kesalahan tanpa sengaja menyentuh guci di samping pintu.

Melihat Ah Nian tidak segera mengambil tongkatnya, Hwang Jun segera mengambil telapak tangan Ah Nian lalu meletakkan tongkat tersebut dalam genggaman tangan Ah Nian. Ah Nian menggenggamnya erat-erat menggunakan kedua telapak tangannya.

“Terima kasih,” ucap Ah Nian dengan punggung membungkuk hormat.

Hwang Jun bertanya-tanya dalam hati tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

“Tadi dia bisa tahu aku mengulurkan tangan saat membantunya berdiri, tapi kenapa sekarang dia tidak tahu aku mengulurkan tongkat padanya? Apa hanya perasaanku saja kalau Ah Nian bisa mengetahui apa pun di sekitarnya tanpa menggunakan kedua matanya?” bisik Hwang Jun dalam hati.

“Ambillah, aku tidak bisa menemanimu. Jika aku berlama-lama di sini berdua denganmu, aku hanya akan menyulitkanmu, lain kali hati-hati,” pesan Hwang Jun sambil menepuk bahu Ah Nian.

Ah Nian menganggukkan kepalanya, dia segera pergi ketika mendengar langkah kaki Hwang Jun perlahan menjauh dan menuruni anak tangga. Langkah kaki Hwang Jun terhenti di tengah anak tangga, entah kenapa dia merasa cemas ketika memikirkan Ah Nian tinggal di kediaman Wei Zhang. Hwang Jun tahu betul kalau Lian Er dan Hua Mei memperlakukan Ah Nian dengan buruk di kediaman tersebut.

Ah Nian masih berjalan pelan menuju ke arah kamarnya yang terletak di ruangan paling ujung lantai dua. Ah Nian tahu Hwang Jun masih mengawasinya saat ini, Ah Nian bisa mendengar derap langkah kaki Hwang Jun belum sampai di lantai utama kediaman. Ada banyak anak tangga, Ah Nian bisa menghitung berapa langkah untuk tiba di lantai utama, dan Hwang Jun baru setengah jalan.

Wei Zhang datang dari pintu utama kediaman dan dia melihat Hwang Jun sudah tiba di rumahnya tapi tengah berdiri di tengah anak tangga sambil menatap ke arah lantai dua.

“Tuan muda Hwang, apa yang begitu menarik di lantai dua? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu terpesona dan tidak bisa berhenti menatapnya?” gurau Wei Zhang sambil berjalan menuju ke arah anak tangga dengan senyum lebar.

Ah Nian di lantai dua bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Wei Zhang. “Ternyata benar, Hwang Jun masih berada di tengah anak tangga dan dia berdiri di sana, terus menatap ke arahku!” bisik dalam hati Ah Nian.

“Ah, tidak ada, saya tadi sempat mendengar suara perabotan pecah di lantai atas, saya hendak memeriksanya tapi tidak jadi,” jawabnya dengan sopan sambil mengukir senyum pada bibirnya.

“Mari kita mengobrol, pelayan sepertinya masih menyiapkan makanan di ruang makan,” ujarnya pada Hwang Jun.

Wei Zhang merangkul bahu Hwang Jun seperti merangkul bahu putranya sendiri. Dari pintu masuk Juan Lin baru datang. Baju yang Juan Lin kenakan terlihat berantakan, serta langkah kakinya sempoyongan seperti baru selesai mabuk-mabukan.

Langkah kaki Juan Lin terhenti ketika melihat Hwang Jun dan Wei Zhang.

“Kalian terlihat akrab, sepertinya kalian memang cocok menjadi ayah dan anak, hahaha,” ujar Juan Lin sambil berjalan menuju ke arah Hwang Jun lalu menyentuh kemeja putih yang Hwang Jun kenakan, Juan Lin menepuk-nepuk dada Hwang Jun dengan telapak tangan kanannya lalu menunjuk wajah Hwang Jun. “Pindah saja ke sini, hik!” ujarnya sambil tertawa lalu disusul suara cegukan.

“Maafkan saya, Juan Lin selalu seperti ini, ah memalukan sekali, Tuan muda Hwang, silakan duduk dahulu,” perintah Wei Zhang pada Hwang Jun.

Hwang Jun mengangguk sopan.

Wei Zhang segera meraih tangan Juan Lin dan berniat menyeretnya masuk ke dalam kamar yang ada di lantai atas.

Hwang Jun masih berdiri di sana, dia melihat Wei Zhang kesulitan membawa putra tirinya, entah kenapa dia merasa lucu dan hampir tidak bisa menahan senyum pada bibirnya.

“Ayo masuk ke kamarmu, ayo lekaslah!” ajak Wei Zhang sambil menarik lengan Juan Lin.

“Lepaskan aku! Kamu hanya peduli sama si Hua, kalian bahkan melakukan hubungan di tempat terbuka! Ruang tamu adalah tempat semua orang bisa melihat!” teriak Juan Lin seraya menepis tangan Wei Zhang.

“Kamu sedang mabuk, ayo masuk ke kamarmu, cepatlah!” ujar Wei Zhang dengan nada tidak sabar. “Dasar anak tidak becus, di perusahaan hanya bisa mengamburkan uang, di luar mabuk-mabukan dan main wanita!” gerutu Wei Zhang seraya membawa Juan Lin menuju ke arah anak tangga. Tak lama setelah itu, dua pelayan pria langsung menggantikan Wei Zhang membawa Juan Lin menuju kamarnya di lantai atas.

Wei Zhang segera pergi menghampiri Hwang Jun yang kini duduk di sofa ruang keluarga. Pelayan sudah menyiapkan semua menu di atas meja besar ruang makan.

“Sepertinya menu sudah siap, aku akan meminta pelayan memanggil putriku dan istriku untuk turun, para wanita selalu lama saat berdandan,” ujarnya pada Hwang Jun.

Hwang Jun hanya mengukir senyum di bibirnya untuk menjawab perkataan Wei Zhang. Jika Ah Nian tidak tinggal bersama Wei Zhang, Hwang Jun juga merasa enggan memenuhi undangan dari Wei Zhang.

Beberapa menit kemudian semua orang sudah berkumpul dan duduk di kursi meja makan. Hwang Jun duduk sendirian di kursi samping meja besar, sementara Wei Zhang sebagai kepala keluarga duduk di kursi ujung meja, di sudut duduk Hua Mei – istri Wei Zhang dan tepat di depan Hwang Jun duduk Lian Er.

Melihat Ah Nian tidak ikut bergabung bersama mereka di meja makan. Hwang Jun segera bertanya pada Wei Zhang.

“Kalau tidak salah, masih ada lagi yang belum hadir di sini?” tanya Hwang Jun pada Wei Zhang, “Tuan Wei bahkan belum mengadakan pesta untuk menyambut kembalinya putri tertua,” lanjut Hwang Jun dengan nada begitu santai.

Wei Zhang terlihat serba salah, dia langsung menegur istrinya.

“Sayang, kenapa kamu tidak membawa Ah Nian turut serta makan malam bersama?” tanya Wei Zhang pada Hua Mei.

“Dia tidak bisa melihat, untuk apa membawanya turun? Untuk menunjukkan dia tidak bisa membedakan mana sambal dan mana nasi? Memalukan saja!” gerutu Hua Mei.

Hwang Jun spontan menaikkan kedua alisnya mendengar perkataan Hua Mei yang kasar. Hua Mei juga melihat ekspresi pada wajah Hwang Jun. Niat Hua Mei mengundang Hwang Jun tidak lain untuk membuat hubungan Hwang Jun dan Lian Er agar lebih akrab lagi.

“Maksudku, Ah Nian cacat, sebaiknya biarkan saja dia makan di dalam kamarnya,” ralat Hua Mei sambil mengukir senyum enggan.

“Ah, jadi karena Ah Nian buta, bukankah dia buta karena mendonorkan kedua matanya untuk Nona Lian Er? Saya rasa pengorbanannya cukup besar untuk keluarga ini, balas budi ....” perkataan Hwang Jun terpotong oleh Lian Er disertai gebrakan kedua tangan Lian Er di atas meja makan.

“Cukup! Aku akan membawanya turun!” potong Lian Er tiba-tiba dengan kedua tangan mengepal, napas Lian Er terlihat memburu seperti ada batu besar yang menindih dadanya. Kemarahan begitu jelas terlihat pada kedua matanya. Lian Er berjalan dengan langkah cepat keluar dari ruang makan menuju ke lantai atas untuk memanggil Ah Nian.

“Aku benci sekali dengan kedua mata ini! Gadis kumal itu merenggut satu-persatu hati orang yang seharusnya menjadi milikku! Kemarin Papa, dan kali ini Hwang Jun! Aku tidak akan pernah membiarkannya!” bisik Lian Er dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel