Part 4
"Good morning sweetheart."
"Om Tom, aku punya nama."
"Yes"
"Panggil aku dengan namaku."
Tom hanya mengangguk dan tersenyum, bagaimana bisa setelah percintaan hebat mereka semalam, Salma masih bisa berubah 180 derajat ketika matahari menampakkan keanggunannya. Seakan penyatuannya tubuh mereka tidak pernah terjadi. Tom mendekati Salma dan mencium keningnya. Berlutut di hadapannya menyandarkan kepalanya di paha Salma. Salma hanya menatap Tom dalam diam.
"Ini manusia satu kenapa pula, tiba tiba begini," batin Salma
Salma enggan berkomentar apapun, karena saat ini yang ia butuhkan adalah Handphonenya yang di sita Tom, paspornya dan tentu saja dompetnya. Ia sudah merindukan pekerjaannya, teman tamannya dan tentunya anak anak di panti.
"Don't leave me," Gumam Tom
Salma yang kaget langsung mengarahkan pandangannya ke Tom.
"Aku harus pulang sudah satu bulan lebih aku menghindari masalah dan aku harus hadapi sekarang. Apalagi Nada sudah mau nikah dengan Juna, aku harus hadir di sana."
"It's dangerous for you."
Salma hanya tersenyum memandang Tom.
"Terimakasih atas kekhawatirannya, tapi aku tetap ingin pulang."
"Pekerjaan Om sebentar lagi selesai di sini, setelah itu Om harus memantau proyek di Dubai dan Seoul, kamu bisa ikut Om, setelahnya baru Om antar kamu pulang."
Salma menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Why?"
"Karena aku tidak pernah cocok dengan habitat Om, yang tidak jauh berbeda dengan almarhum Papi atau keluargaku yang lain."
Tom memandang mata Salma dalam, seperti menuntut penjelasan lebih atas pernyataannya.
"Papi dan Mami bercerai ketika aku masih kelas 6 SD dan Mak Ijah memutuskan balik ke kampungnya di Bantul. Beberapa hari di tinggal Mak Ijah aku sakit dan tidak sembuh sembuh, karena dia yang merawatku sejak kecil ketika orang tuaku sibuk dengan pekerjaan dan dunia sosialitanya. Aku selalu merasa tidak seharusnya aku hadir di tempat ini. Menjadi pewaris tunggal Papi. Memiliki orang tua lengkap tapi hanya sebatas di sepucuk kartu keluarga tanpa pernah merasakan kehadirannya. Dan aku mengatakan kepada orangtuaku untuk ikut tinggal dengan Mak Ijah. Mereka menyetujuinya, sejak itulah kehidupanku yang serba ada menjadi kehidupan anak normal pada umumnya. Bersekolah di sekolah umum, berteman dengan siapa saja tanpa melihat status sosialnya, dan memiliki keluarga baru yang terjalin tanpa adanya hubungan darah. Aku bersyukur mengenal Nada dan Deva. Bahkan keluarga mereka sangat menyayangiku. Walau kami berbeda keyakinan, setiap hari raya idul adha aku selalu hadir di rumah Nada, dan hari raya idul fitri di rumah Deva. Kalo Natal dan Paskah, kadang aku di rumah keluarga Robert. Aku merasa memiliki keluarga yang sebenarnya ketika aku bersama mereka semua."
"Apakah itu alasan kamu tidak protes soal surat wasiat Papimu walau keluarga Papimu sampai baku hantam untuk merebutkannya," Tom membuat tanda kutip dengan kedua tangannya ketika menyebut baku hantam.
"Yang jelas karena aku memang tidak pernah mengharapkannya, aku merasa sudah cukup dengan apa yang kini aku miliki."
Tom hanya menatap Salma tidak mampu berkata kata. Terbiasa dengan orang orang yang selalu menginginkan sesuatu darinya, bahkan wanita yang mendekatinya tidak lebih dari sekedar mengejar materi.
"Kartu kredit yang Om berikan tidak pernah kamu pakai, padahal Om cek Tagihan bulanan kamu yang dulu ketika Papi kamu masih hidup selalu puluhan Juta. Apa yang kamu beli?"
"Apapun itu yang jelas bukan untuk kepentinganku pribadi."
Tom memandang Salma dalam dalam. Sebenernya ia tau uang itu larinya kemana. Selama ini Salma mengalokasikan uang itu ke beberapa panti asuhan bayi, anak dan panti jompo. Bahkan ia juga menyekolahkan beberapa anak yang cerdas namun berasal dari keluarga tidak mampu.
Biasanya ia melakukan itu semua bersama Robert, salah satu sahabatnya sejak SMA, bahkan mereka sebangku selama tiga tahun.
Sifat darmawan yang dimiliki Salma tidak terlalu banyak orang yang tau, karena ia menutupinya dengan penampilannya yang begitu mewah. Namun orang orang yang dekat dengannya tau, bahwa Salma adalah orang yang hemat, selalu membeli apapun berdasarkan kebutuhan bukan keinginan.
"Walau kamu enggak kasih tau, tapi Om tau Sal uang itu larinya kemana."
"Bagus kalo begitu."
"Kamu enggak mau nambahin alokasi dana itu dari uang dari Om."
"Jangan, nanti Om Tom enggak jadi kaya raya kalo uangnya di kasih aku."
"Bukan buat kamu, tapi buat agenda rutin kamu."
"Kalo memang minat telepon Robert saja, minta rekening ke mana uang itu sebaiknya di kirim."
"Iya Sal. Om keluar dulu ya," kata Tom sambil beranjak keluar dari kamar Salma.
Salma hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia memandang kepergian Ton dari tempatnya duduk. Bagaimanapun selain teman temannya, Tom adalah keluarga yang terjalin tanpa hubungan darah dengannya.
***