Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

04. Athena's Childhood

Athena tak pernah merasa sebahagia ini sejak ulang tahun terakhirnya yang dirayakan besar-besaran ketika dia berusia lima tahun dulu. Pasalnya, pagi tadi ketika dia kembali dari perpustakaan, ia tak sengaja bertemu tatap dengan Amanuel selama dua detik! Ditambah lagi, Amanuel melempar senyum manis padanya.

Begitu tiba di rumah, Athena langsung menghubungi Edgar dengan telepon rumah. "Gar! Cepat datang ke rumahku! Ada yang mau kuceritakan!"

Terdengar hela napas lelah dari si penerima telepon. "Cerita lagi?" tanya Edgar dari seberang telepon dengan tidak bersemangat.

Lain halnya dengan Edgar yang terdengar lesu, Athena justru berapi-api. "Tentu saja! Cepat ke sini, ya!" seru gadis itu riang sebelum memutuskan sambungan telepon.

Tak berselang lama kemudian, Edgar pun tiba di pekarangan rumah Athena. Penjaga rumah mempersilakannya masuk lewat pintu depan, tapi Edgar lebih senang memanjat pohon demi mencapai jendela kamar Athena yang sudah dibuka gadis itu lebar-lebar untuk menyambut kedatangannya.

"Eh, eh. Denger deh, tadi pagi saat istirahat makan siang, Amanuel tersenyum padaku!"

Lalu terdengar teriakan tertahan dari sang gadis yang dengan cepat menutupi wajahnya menggunakan bantal. Edgar yang belum ada semenit di kamar sang gadis langsung mengambil bantal yang lain dan melemparkannya ke arah Athena. Lemparan yang tidak membuat sakit tentu saja.

"Hentikan, dasar alay." Edgar mendengkus sebal. Pemuda itu lantas mengambil tempat duduk di sofa kecil yang berada di dekat jendela, sembari memperhatikan Athena yang sepertinya tidak menyadari ada bantal yang tadi mengenai kepalanya.

Gadis itu menurunkan bantal yang digunakannya untuk menutupi wajahnya yang memerah. Lalu merapikan rambutnya yang semula dikepangnya dua layaknya gadis cupu dalam cerita-cerita remaja.

"Senyumnya begitu cerah layaknya matahari yang menyinariku langsung di pagi hari indah!" Athena mendadak puitis.

"Baru begitu saja kau sudah berlebihan," komentar Edgar sembari tersenyum miring. "Apalagi jika kau menikah dengannya? Bisa-bisa kau mempermalukan dirimu sendiri di depannya."

"Oh, tenang saja. Aku berjanji akan jadi gadis baik jika aku menikah dengannya nanti!" Athena mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Sorot matanya menunjukkan kepolosan dan tekad yang kuat, mau tak mau Edgar memalingkan wajahnya ke arah lain, sebab gadis itu terlihat begitu manis sekarang.

"Jadi, kau memanggilku ke sini hanya untuk itu?"

Athena yang terduduk di lantai keramik putih seketika mendongakkan wajahnya perlahan dan memandangi Edgar yang terduduk di sofa. Pemuda itu membelakangi jendela, otomatis Athena jadi kesulitan melihat wajah pemuda itu karena cahaya matahari yang masuk membuatnya silau.

"Ya, memangnya karena apalagi?"

Edgar kembali menatap Athena, untuk beberapa detik sebelum lagi-lagi mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pemuda itu melipat tangannya di dada dengan kaki kanan yang menindih kaki kiri, duduk layaknya pemilik kamar. Sementara Athena tak mempermasalahkan gaya duduk Edgar, selama pemuda itu nyaman di kamarnya.

"Kukira ada hal menarik apa yang ingin kau ceritakan padaku selain ceritamu tentang Amanuel."

"Bukankah topik tentang Amanuel itu sudah sangat menarik?"

Hening. Athena memiringkan kepalanya begitu Edgar tak lagi merespon. Memandang ke arahnya saja tidak.

Baru Athena sadari, sejak Edgar tadi masuk ke kamarnya pemuda itu sama sekali tidak mau memandang wajahnya seolah tengah menghindarinya.

"Ya, itu karena otakmu sudah dipenuhi olehnya! Makanya kau selalu membicarakan Amanuel, Amanuel dan selalu saja Amanuel!"

Ketika kembali bersuara, justru kalimat dingin dan ketus lah yang keluar dari mulut Edgar.

Athena seketika bangkit dari duduknya begitu mendengar kalimat yang diucapkan dengan penuh kekesalan itu. Sahabatnya tidak terlihat baik-baik saja siang hari itu, karena terus menghindar dari tatapannya. Bahkan sekarang, Edgar terang-terangan melihat ke arah lain saat Athena duduk di depannya. Gadis itu jadi khawatir kalau-kalau pemuda itu sakit.

"Kau kenapa, Gar? Sakit?"

Athena langsung menghampiri Edgar tanpa aba-aba dan menempelkan punggung tangannya di kening pemuda itu. Edgar langsung panik begitu menyadari jarak tipis di antara mereka, bahkan wajah Athena terlalu dekat dengannya, sehingga tanpa sadar ia mendorong gadis itu dengan cepat.

"Aw!" Athena merintih saat bokongnya menyentuh lantai. Untung saja rintihannya keluar karena kaget, bukan karena sakit.

Sadar telah mendorong Athena, buru-buru Edgar membantu gadis itu berdiri.

"Ah, maaf. Tadi aku tidak sengaja mendorongmu." Edgar beralasan cepat, sembari menyembunyikan semburat merah muda tipis di kedua pipinya. Jantungnya bertalu-talu di dalam dada.

Athena menggerutu kesal. "Kau ... kenapa jadi bertingkah aneh?"

Edgar mengerutkan keningnya, bingung. "Aneh kenapa?"

Athena yang sudah berdiri tegak dan tak lagi dipapah oleh Edgar langsung menyambar kerah baju pemuda itu dengan satu tangan. "Ini! Kau menghindari tatapanku!" serunya kesal. Seperti dugaannya, Edgar memang menghindar dari menatapnya. Pemuda yang tadi sempat beradu tatap dengannya sebentar kini kembali melihat ke arah lain.

"Aku tidak menghindar tuh."

"Tapi kau tidak mau melihat ke arahku." Athena melepas kerah baju Edgar dan berbalik badan membelakangi pemuda itu. Lalu bertanya dengan nada lirih, "Apa kau sudah bosan mendengar kisah cintaku pada Amanuel, Gar?"

Lagi-lagi kening Edgar berkerut, kali ini disertai kedutan tipis di pelipisnya. "Kalau kau tahu aku bosan mendengarnya, seharusnya kau berhenti."

Athena menghela napas lelah. "Kau kan tahu kalau aku dikucilkan di sekolah. Aku juga tidak punya teman di sana yang bisa kuajak berbagi kisah, dan kini kutemukan kebahagiaanku ada pada Amanuel, cinta pertamaku."

Edgar diam saja saat Athena mendudukkan diri di pinggir ranjang sendirian, seolah menjauhinya. Gadis itu menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Jadi karena aku hanya punya kau, makanya aku bercerita tanpa harus takut diketahui orang lain. Makanya aku terus bercerita tentang Amanuel padamu, kupikir kau akan senang dan ikut mendukungku, Gar."

Nada bicara Athena mendadak berubah, terdengar sendu dan gundah di saat bersamaan. Edgar mendekatinya perlahan, lalu berjongkok di depan gadis yang masih menundukkan wajahnya itu. Edgar hanya bisa melihat puncak kepala dan kening lebar gadis itu saja.

"Apa kau tidak suka melihatku bahagia, Gar?"

Tiba-tiba Athena mengangkat wajahnya kembali. Kali ini, kedua mata mereka saling bertemu satu sama lain. Mata Athena yang berkaca-kaca beradu tatap dengan Edgar yang membelalakkan matanya begitu menyaksikan genangan air mata hadir di wajah jelita gadis itu.

"Kenapa kau menangis!?" Edgar dengan sigap menyapukan ibu jarinya di mata Athena, menghapus air mata yang hendak tumpah dari sana. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, aku selalu peduli padamu."

"Tapi kau berubah sejak aku selalu menceritakan Amanuel." Athena menarik ingusnya layaknya anak kecil yang menangis karena merajuk. Hidungnya terlihat memerah.

"Itu karena kau hanya memanggilku saat kau butuh teman bercerita saja." Edgar tersenyum tipis. "Kau tidak lagi memanggilku untuk hal lain, seperti yang sering kulakukan dulu."

Athena menarik ingusnya lagi, lalu mengerucutkan bibirnya. "Ma-maksudmu ... seperti saat aku memanggilmu karena insiden kecoa itu?" tanyanya polos.

Edgar tertawa geli. Saat itu, Athena terlihat begitu lucu di matanya. Nada bicara seperti anak-anak, mata berkaca-kaca dan bibir yang dimajukan karena cemberut. Persis seperti apa yang gadis itu lakukan beberapa tahun silam.

***

Athena sewaktu duduk di sekolah dasar bukanlah gadis pendiam seperti dirinya di masa sekolah menengah atas. Justru dia tampil apa adanya seperti ketika dirinya ada di rumah, gadis yang ceria dan penuh energi yang sanggup menghabiskan lima potong sandwich dalam dua menit.

"Mama, Edgar di mana?" Athena, 10 tahun, kelas lima SD.

"Dia ada di kamarnya, Sayang. Coba kau naik saja ke atas." Mama Veronica, begitulah Athena memanggilnya. Dia adalah ibu kandung dari Edgar Pollin yang saat itu tengah dicari oleh Athena. Tidak terbiasa memanggil wanita itu dengan sebutan Tante membuat Athena pun memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan Mama.

Veronica sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Apalagi Athena hanyalah gadis kecil berusia 10 tahun yang telah ditinggal selamanya oleh sang ibu kandung karena sakit dan ayahnya yang sibuk bekerja akhirnya melimpahkan urusan perawatan Athena kepada tetangga mereka, yaitu kepada keluarga Veronica.

Anak yang malang pikir wanita itu, sebab di umur yang masih begitu muda sudah ditempa untuk bisa melakukan banyak hal sendirian. Rumah yang besar miliknya itu bahkan tidak memiliki seorang pelayan satupun. Hanya ada beberapa penjaga yang bertugas di luar rumah. Untuk urusan menjaga kebersihan, Athena hanya menumpuk pakaian kotor dan ketika sudah penuh dia akan membawanya ke laundry. Ketika tak punya baju lagi, ia akan membelinya secara online. Athena memang tidak pernah kekurangan uang, tetapi dia selalu kesepian di rumahnya yang megah.

Karena itu dia selalu mendatangi Edgar yang hanya memiliki selisih dua tahun darinya itu, sebab hanya Edgar seoranglah teman rahasianya.

"Gar, Edgar." Athena mengetuk pintu kamar Edgar dengan keras sembari memanggil-manggil nama pemuda itu.

Pintu dengan cepat terbuka, memperlihatkan wajah seorang pemuda kelas 2 Junior High School yang baru bangun tidur.

"Apa?" tanyanya malas.

"Bantu aku kerjakan tugas." Athena tak pernah malu meminta bantuan Edgar dalam mengerjakan tugas sekolahnya. Ini salah satu sifat mengejutkan dari gadis yang terlihat pintar itu dan Edgar sama sekali tak heran.

"Kapan? Di mana?" Edgar menguap dan menggaruk belakang kepalanya yang gatal. Bangun kesiangan di hari Minggu tetapi sudah harus membantu Athena mengerjakan tugas sekolahnya. Luar biasa, pikirnya lagi.

"Sekarang, makanya kujemput kau ke sini."

Athena menarik tangan Edgar dengan cepat, membuat pemuda itu terbelalak kaget. Satu lagi sifat mengejutkan dari Athena; suka bertindak tiba-tiba dan egois.

Bahkan Edgar saja tidak diberinya kesempatan untuk cuci muka. Benar-benar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel