03. Terobsesi
Berkat bantuan Edgar, Athena berhasil mendapatkan alamat rumah Amanuel. Bukan jenis rumah mewah di perumahan elit, hanya sebuah hunian kecil yang nyaman ditinggali oleh pemiliknya. Lingkungan sekitarnya juga ramai oleh rumah-rumah penduduk, karena rumah Amanuel diapit oleh dua rumah besar yang dijadikan rumah sewaan untuk para mahasiswa.
Athena pikir Amanuel sangatlah beruntung karena dikelilingi orang-orang baik dalam hidupnya. Dia senang dengan fakta itu, apalagi dia adalah anak yang kekurangan kasih sayang dari orang tuanya.
Sejak hari di mana Athena menemukan rumah Amanuel, dia pun mulai membuntuti kemanapun pemuda itu pergi. Meskipun tidak bisa memiliki hatinya saat ini, setidaknya dia cukup puas mengejarnya dengan tatapan. Bukankah menunggu juga termasuk perjuangan?
Hari pertama mengikuti Amanuel berjalan lancar. Athena bersembunyi di balik pohon, berharap agar keberadaannya tidak diketahui oleh pemuda pujaan hatinya. Lalu ketika Amanuel berjalan sekitar 15 meter darinya, Athena buru-buru menyusul.
Kegiatan yang mendebarkan, tetapi membuat perasaannya senang.
Selama ini, Athena hanya berkutat dengan buku pelajaran sendirian setiap jam istirahat di sekolah. Terkadang duduk sendirian di taman atau di perpustakaan. Penampilannya yang seperti itu makin menguatkan panggilan kutu buku yang disematkan oleh teman-teman sekelasnya. Bahkan guru baru pun ikut meledek dirinya yang seperti itu.
Athena muak dengan semua perlakuan mereka. Lalu pada suatu hari, dia bertemu dengan Amanuel yang disinari matahari ketika dia tak sengaja masuk ke kolam renang mereka.
Jantung yang berdebar tak karuan, mata yang tak bisa dialihkan, dan lidah yang mendadak kaku. Athena pun sadar bahwa dia sudah jatuh cinta dengan pemuda tampan itu.
***
Hari berganti hari, tak terasa empat bulan penuh perjuangan pun berhasil terlewati. Athena masih disibukkan dengan rutinitas hariannya, membuntuti Amanuel kemanapun pemuda itu pergi. Dia selalu mengikuti Amanuel dengan jarak tak kurang dari 20 meter.
Jarak yang aman agar tidak mudah ketahuan oleh target yang diincar. Itulah yang Edgar katakan kepada Athena ketika gadis itu meminta saran darinya.
"Nuel, hari ini kita latihan renang di luar lagi, ya?" tanya Adam, teman sekelas Amanuel. "Hari ini rapat, 'kan?"
Amanuel mengangguk. "Ya, kita masih latihan di luar. Kita akan berdiskusi tentang kolam renang indoor yang masih belum selesai direnovasi itu. Entah kapan kita baru bisa menggunakannya," ucap pemuda berambut pirang itu dengan nada prihatin.
"Ah, mungkin karena dananya selalu dipakai untuk hal lain, sehingga renovasi kolam renang indoor klub renang pun hanya menjadi sebuah rencana saja."
Amanuel dan Adam berbincang-bincang sepanjang koridor menuju gedung lama, di gedung itulah ruang klub renang mereka berada. Sepasang mata mengintip mereka dari balik tembok, menunggu hingga Amanuel berjalan agak jauh dari lokasinya dengan tanpa curiga.
Ketika Amanuel berjarak hampir 15 meter darinya, gadis bersurai hitam itu segera keluar dari persembunyian dan berjalan cepat mengikuti langkah kaki sang pemuda. Dia tidak boleh kehilangan jejak Dewa Mataharinya itu.
"Oh, astaga!" Athena buru-buru menundukkan badan, bersembunyi di balik pot bunga berukuran besar saat dia melihat Amanuel menoleh ke belakang. Gadis itu menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Senyumnya merekah saat Amanuel kembali berjalan dengan Adam di sampingnya.
"Amanuel ... hari ini sangat indah," gumam Athena, ia mengintip dari balik pot. Dirinya yang bertubuh kecil tersamarkan dengan baik berkat pot bunga itu. "Semakin hari, ketampanan Amanuel naik 100%," puji Athena dengan segala pujian-pujian yang ia miliki untuk mengagumi keindahan yang Amanuel miliki.
Ketika Amanuel dan Adam berbelok ke arah kiri, Athena bergegas berlari menyusul keduanya. Sama sekali tak terdengar decit sepatu dan lantai yang bergesekan ketika gadis itu berlari. Athena sudah pandai mengikuti Amanuel secara diam-diam dari belakang.
Lorong yang sepi membuat rencana Athena selalu berjalan mulus.
Greenfield High School memang tidak seperti sekolah pada umumnya. Siswa-siswi di sekolah itu tidak diperbolehkan berkerumun di sekitar lorong, meski hanya tiga orang sekalipun. Larangan itu dibuat untuk dilanggar dan berkat larangan itu jugalah, Athena jadi bisa membuntuti Amanuel dengan bebas.
Gadis itu berjalan melewati lorong tanpa merasa takut ada yang akan memandang aneh dirinya. Baginya, Amanuel menjadi satu-satunya alasan mengapa dia masih bertahan di sekolah itu.
Athena melihat Amanuel turun melewati tangga dan menyeberang ke gedung di sebelah gedung utama. Bangunan lama itu mempunyai tiga lantai, dan lantai pertama merupakan lantai khusus bagi anggota klub renang. Di dalamnya terdapat kolam renang indoor yang belum selesai direnovasi.
Gadis itu berdiri mengamati dari atas tangga, melihat melalui jendela yang tidak bisa dilihat dari luar. Athena memutuskan untuk menunggu Amanuel di sana, seraya mengamati dari kaca itu.
Sang gadis teringat percakapannya sebulan yang lalu dengan Edgar, saat hari perpisahan dengan anak-anak kelas 3.
"Jangan merindukanku," ucap Edgar saat hari kelulusannya tiba. Dia dan Athena sedang berbincang di lapangan basket sekolah, di saat semua orang sedang sibuk merayakan hari kelulusan di tengah lapangan.
"Tidak akan," jawab Athena, seraya mencari-cari Amanuel di kerumunan orang-orang. Sepenuhnya mengabaikan ucapan lelaki di depannya.
"Tapi tenang saja, aku akan datang ke rumahmu." Edgar kembali berkata, seakan tidak terpengaruh dengan sikap Athena. Dia sudah terbiasa dengan kebiasaan gadis yang selalu mencari-cari keberadaan Amanuel dimana pun itu. "Kita bisa bertemu setiap hari jika kau mau."
"Jangan setiap hari. Lagipula, aku sudah pernah katakan, jangan dekat-dekat denganku di sekolah. Pura-pura tidak melihat saja," ucap gadis itu dingin. Dia berkata seperti itu karena siswi-siswi penggemar Edgar sedang memandanginya seperti seogok sampah, dan Athena membenci semua tatapan itu. Meski para siswi itu berada di radius 20 meter lebih dari mereka.
"Kau masih akan melanjutkan pengamatanmu terhadap Amanuel?" tanya Edgar, tak peduli dengan kalimat Athena sebelumnya. Ia pandangi kulit Athena yang berkeringat karena teriknya matahari.
"Ya, tentu saja aku tidak akan menyerah! Sudah kubilang, aku akan mengumpulkan semua kebiasaan, kesukaan, cita-cita bahkan impian Amanuel dalam satu buku catatan!"
Edgar tersenyum. Athena memang tidak pernah berubah, sama seperti perasannya kepada gadis itu. "Kau makin hebat, teruskan perjuanganmu."
Berkat semangat dari sang sahabat, Athena makin sering mengikuti Amanuel kemanapun pemuda itu melangkah. Dia tidak akan menyerah. Semua orang punya cara memperjuangkan cintanya dan inilah cara yang Athena gunakan untuk bisa mendapatkan hati dan perhatian Amanuel. Dan pertama-tama, ia harus mengumpulkan semua kebiasaan Amanuel dulu.
"Oh, dia datang! Dia datang!" Athena buru-buru mengeluarkan kamera polaroid yang diberikan oleh Edgar, menekan tombolnya dan menjepret ke arah Amanuel yang baru saja keluar dari ruang klub bersama anggota lain.
Dengan sabar, gadis itu menunggu hingga kamera selesai mencetak selembar foto yang baru saja dia ambil untuk bisa langsung melihat hasilnya tanpa perlu repot-repot mencetaknya di studio. Indahnya kemajuan zaman, Athena bisa langsung melihat hasil jepretan tangannya sendiri.
"Ya ampun, Nuel ... selalu terlihat tampan." Dan dimulailah puji-pujian Athena yang ditujukan kepada Amanuel Bramasta seorang. Dia adalah sosok yang menjadi pusat perhatian Athena selama beberapa bulan terakhir ini.
Sosok yang membuat Athena menjadi begitu terobsesi dengannya. Ketika jam pulang sekolah tiba, Athena buru-buru menunggu Amanuel keluar dari kelas. Biasanya pemuda itu keluar paling terakhir dari yang lain dan itu adalah kesempatan Athena untuk bisa mengikutinya dari belakang.
Tidakkah Athena merasa lelah? Mungkin lelah, tapi lelahnya berubah jadi bahagia saat ia memandang wajah Amanuel ketika pulang sekolah. Cinta memang kadang memberi semangat seperti itu.
***
Athena memandangi semua foto polaroid hasil bidikannya di dinding kamar. Kamar bercat ungu muda tersebut telah dipenuhi serangkaian foto dari sang idola. Bukan idol boygrup terkenal Korea atau karakter tampan dari sebuah anime, melainkan semua foto Amanuel yang diambil Athena secara diam-diam.
Satu poster berukuran lebih besar dari sarung bantal tidur pun terpampang di belakang pintu kamar. Foto seorang pemuda dengan celana pendek selutut, memegang kacamata renang berwarna biru dan bersiap meloncat ke air. Foto itu diambil saat Amanuel melakukan latihan renang di outdoor, semua mata bisa menyaksikan latihan itu. Salah satunya Athena.
"Halo, Sayang. Hari ini kalian punya teman baru." Athena tersenyum bahagia saat menggantungkan 10 lembar foto polaroidnya ke gantungan dinding yang diberi lampu hias di sekitarnya.
Rasanya menenangkan saat memandangi semua foto Amanuel dalam berbagai pose dan pakaian.
"Semuanya tampan," ucap Athena sambil memandangi satu per satu foto Amanuel. "Terutama yang ini ... indah." Athena memandangi potret seorang pemuda yang sedang memukul bola bisbol ketika ada pertandingan olahraga antar kelas. Waktu itu, kelas Athena dan Amanuel sedang bertanding satu sama lain.
"Aku akan berusaha untukmu, Sayang," bisik Athena seraya mengecup foto Amanuel dengan mesra.
"Hiyy, mengerikan." Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda. Begitu menoleh, Athena mendapati Edgar yang sudah duduk di tepi jendela dengan kaki yang disilangkan. Entah kapan pemuda itu masuk ke kamar Athena, gadis itu tak tahu. "Dasar maniak. Kau mulai terobsesi dengannya, Na."
Athena mendengkus sekali seolah tak peduli dan kembali menciumi wajah Amanuel di foto tersebut.
Edgar bangkit dan langsung menyentil kening sang gadis. "Sadar, rasa sukamu sudah berlebihan," ucapnya. "Jangan sampai obsesimu membuatmu seperti maniak."
"Maniak?"
"Ya, sejak kau mulai mengkhayal yang tidak-tidak tentangnya, kau sudah jadi orang menyebalkan," jelas Edgar yang langsung membuat wajah Athena memerah. Edgar merotasikan mata, kesal. "Suka berlebihan itu tidak bagus, sudah pernah kubilang dulu."
"Na-namanya juga usaha," jawab Athena sambil memalingkan wajah, menghindar dari tatapan Edgar yang terus saja memandanginya. "Terserah aku, mau obsesi atau tidak. Tak ada seorang pun yang bisa membuatku berhenti mencintai Dewa Matahariku."
Edgar menghela napas panjang. "Sudah tak tertolong lagi," bisiknya datar.
Sudah sejak lama Athena menyadari bahwa rasa cintanya pada Amanuel memang terasa berlebihan dan mulai mengarah ke tidak normal. Akan tetapi bagi gadis itu, sehari saja tidak mengikuti Amanuel maka ia merasa seperti cacing kepanasan. Selalu cemas memikirkan pemuda itu.
Dalam sehari ia harus ada mengikuti Amanuel, mengawasi apa yang pemuda itu lakukan atau hendak pergi ke mana. Walau tak bisa mengawasi Amanuel setiap saat
Amanuel yang merupakan anggota Parlemen Siswa begitu sibuk dan Athena yang menyukai sang pemuda akan menunggu pemuda itu selesai dengan kegiatan sekolahnya. Ia memang sesuka itu padanya.
"Aduh ..." Edgar menepuk keningnya. "Pokoknya aku sudah memperingatkanmu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari."
Athena hanya tersenyum mendengarnya.
Karena menurutnya tak ada usaha yang sia-sia, sebab berkat kegigihannya ia berhasil mengumpulkan banyak informasi tentang Amanuel. Termasuk informasi yang memberitahu bahwa Amanuel sebenarnya berasal dari keluarga yang tidak utuh. Ayah Amanuel meninggal dunia karena suatu insiden di tempat kerjanya, meninggalkan Amanuel yang masih kecil bersama ibunya yang cantik jelita.
Athena merasa nasib mereka sama, dan itu membuatnya senang. Sebab ia bisa memahami apa yang Amanuel rasakan.
Kehilangan anggota keluarga.
Berbahagia di atas penderitaan orang lain itu tidak boleh, tetapi jika senasib dengan orang yang dicintai maka tidak mengapa. Terkadang cinta memang segila itu.