02. Sebuah Permintaan
"Bagaimana? Apa kau sudah paham cara pasangnya?"
Edgar menggeleng. "Belum," jawabnya cepat. Ia terlalu fokus melengkungkan tongkat besi di tangannya sampai-sampai telapak tangannya memerah. "Panduannya sulit kumengerti, tanganku sampai sakit."
Athena mendengkus, buru-buru mengambil kain yang sudah dibasahi sedikit dengan air hangat untuk mengompres telapak tangan sang sahabat. "Makanya ... jangan beli barang murah di online shop sembarangan," cibirnya kesal sambil menempelkan kain tersebut ke telapak tangan Edgar.
"Ya, aku mana tahu kalau barangnya akan seburuk ini," bela Edgar sambil meringis kepanasan. Rupanya kain yang dibawa Athena untuknya itu tidak benar-benar hangat.
"Gara-gara tak punya uang untuk beli yang mahal sih ...."
Edgar seketika melempar buku panduan yang dibacanya ke arah Athena, kesal setelah mendengar perkataan gadis itu. "Kalau begitu, coba kau pasang sendiri," ucapnya tegas sambil melotot tajam. Tentu saja, dia tak bisa benar-benar marah terhadap Athena. Dia tak akan pernah bisa memarahinya. "Coba kau lem dan tempelkan lensanya yang lepas itu. Ayo, cepat."
Athena langsung memasang muka polos. "Oh, ayolah ... dilarang marah padaku, Tuan," godanya sambil tersenyum mengejek. Athena lalu menjulurkan lidah sebelum tertawa geli. Dia tak akan melakukan apa yang Edgar minta, meski lelaki itu memaksanya. Toh, yang memutuskan membeli barang rusak itu adalah Edgar sendiri, kan? Jadi dia tak akan tanggungjawab.
Dengan kesal, Edgar mengambil kembali buku panduan yang sempat dilemparnya ke Athena. Beruntung dia tak mengenai wajah cantik itu. "Baiklah, akan kucoba lagi," ucapnya sambil melanjutkan pekerjaan yang membuat kepalanya pusing. Athena hanya tersenyum malu-malu karena berhasil membuat Edgar lagi-lagi menuruti ucapannya.
Dia tahu jika Edgar tak mungkin menyakitinya, pemuda itu bahkan tak pernah berkata kasar padanya atau membuatnya menangis. Dia sosok laki-laki yang sangat baik.
Athena kemudian menunggu Edgar dengan pekerjaannya, yaitu merakit kamera modifikasi yang dibelinya di salah satu online shop terkenal. Namun sayangnya barang tersebut harus dipasang terlebih dahulu. Bahkan ada buku panduan cara merakitnya.
Edgar tampak begitu serius saat berusaha menyambungkan kabel merah dan biru di kamera mini itu.
"Kalau kau tidak tahu cara merakitnya, lebih baik kita pakai kamera lain saja," usul Athena setelah melihat Edgar kesulitan merakit kamera mini yang dibelinya seharga 37$ di toko baru di sebuah platform belanja online. Jangan-jangan dia kena tipu barang palsu, pikir Athena dengan curiga.
"Kamera pengintai itu harus memiliki ukuran yang kecil, itulah sebabnya dinamakan spy camera. Kalau ukurannya besar nanti kameranya akan lebih cepat ketahuan," ucap Edgar menjelaskan. "Bukankah kau berencana menaruh kamera ini di bawah meja orang itu?"
"Aduh, sudah pernah kubilang, dia itu punya nama, Gar. Namanya Amanuel Bramasta," ralat Athena membenarkan ucapan sang sahabat, tapi Edgar terlihat tidak peduli. Buktinya saja dia tak ingat siapa nama lelaki itu, pikir Athena. Benar-benar hanya menguji kesabarannya saja.
"Gar!"
"Terserahlah siapapun juga namanya. Intinya kau suka padanya, kan."
Athena terdiam, memikirkan kata-kata Edgar sebelumnya. Pemuda itu sampai menoleh kepadanya karena jarang melihat Athena diam seperti ini.
"Kalau dipikir-pikir lagi ... kata-katamu tadi benar juga. Aku harus menggunakan kamera kecil jika ingin merekam Amanuel secara diam-diam." Athena terlihat memikirkan hal itu, sebelum akhirnya dia tersenyum kepada Edgar dan berkata. "Kalau begitu kau lanjutkan saja merakit kamera ini. Yang semangat ya, Edgar."
Edgar langsung mendengkus kasar begitu Athena tertawa geli di atas penderitaannya.
"Ketika ada maunya saja, barulah kau jadi manis padaku," sindir Edgar seraya bersungut-sungut. Athena masih menertawakannya.
Seperti yang telah dijanjikan Edgar sebelumnya, dia datang ke kamar Athena dengan membawa sebuah kotak berukuran medium yang tampak mencurigakan. Mereka membongkarnya bersama-sama, begitu terbuka rupanya ada tas kamera berwarna hitam di dalam kotak itu.
Isi kotaknya aneh, ada banyak barang-barang yang menarik perhatian Athena. Misalnya sebuah kamera kecil seukuran permen, ada juga obeng, buku panduan dan berbagai alat yang hanya pemuda bermata biru di depannya saja yang mengetahui fungsinya.
"Ayolah, semangat! Demi aku."
"Karena kau yang memberikanku semangat, entah mengapa aku jadi malas melakukannya," canda Edgar sambil melirik Athena, tapi Athena dengan cepat melemparinya sebuah bantal yang melayang ke wajah Edgar.
"Hei, kenapa melemparku!?"
"Karena kau terlalu berisik." Athena membalas sengit, dia mendengkus sebal sebelum menolehkan kepalanya demi memandang langit di luar jendela. Dia akan menunggu sampai Edgar selesai merakit spy camera itu dan menunggu instruksi selanjutnya.
Athena sempat melihat kotak kemasan kamera itu. Spy Camera adalah kamera yang dirancang dengan ukuran yang super kecil sehingga bisa disembunyikan dan tidak terlihat oleh obyek foto. Alat yang 'katanya' praktis ini akan digunakan olehnya untuk merekam tiap kegiatan Amanuel—pemuda yang gadis itu sukai—selama di sekolah. Benar-benar sebuah kamera impian.
"Aku pikir aku akan menaruh kamera ini di dalam loker miliknya," monolog gadis itu sambil berkhayal bisa melihat wajah Amanuel dari dekat jika dia merekamnya dengan kamera itu. Membayangkannya saja sudah membuat wajahnya memerah.
Edgar melirik Athena yang tersenyum malu-malu, tingkahnya seperti seekor anak kucing. "Terserah kau saja, itu hakmu," respons Edgar singkat. "Tapi jangan mengkhayalkan yang tidak-tidak tentang laki-laki lain."
Athena tak mendengarkan, dia menyibukkan diri dengan memandang langit cerah.
Sekitar 20 menit kemudian, begitu Edgar menghubungkan perangkat kamera itu dengan ponsel Athena, dia berseru puas, "Selesai!" ucapnya yang puas dengan hasil rakitannya sendiri, tentu saja berkat bantuan buku panduan di dalamnya. "Sekarang kamera ini sudah bisa kau gunakan. Tapi ingat, kau hanya bisa menggunakannya dengan maksimal jarak 10 meter."
Athena langsung menoleh dan melihat ke arah sahabatnya dengan mata berbinar-binar cerah. "Oh, sudah selesai!?" tanya gadis itu kegirangan. Edgar mengangguk cepat.
"Ya, kau bisa menggunakannya besok." Edgar menyerahkan kamera mini itu kepada Athena yang menerimanya dengan perasaan berbunga-bunga. "Jangan lupa dicharger dulu sebelum kau gunakan."
"Pasti! Oh, terima kasih banyak, Gar! Akhirnya aku bisa mempunyai rekaman dan fotonya Amanuel yang tampan. Beruntung sekali aku!"
Edgar tersenyum tipis. "Sama-sama," balasnya singkat. Dia tak tahu harus bahagia atau tidak dengan pencapaiannya sendiri karena telah membantu gadis yang dicintainya untuk bisa bersama dengan saingan cintanya sendiri. "Iya, beruntung sekali ya dia."
Athena yang terlalu senang tak mendengar kalimat Edgar yang terakhir. Dia hanya mengangguk-angguk cepat, perjuangannya dalam mendapatkan hati Amanuel baru saja akan dimulai. "Dukung aku, ya, Gar!" ucap gadis itu dengan semangat, ia memeluk kameranya dalam dekapan yang erat.
Edgar memandangnya bingung. "Kenapa aku harus mendukungmu?"
"Kita 'kan teman! Teman ada untuk saling mendukung," ucap Athena seraya tersenyum bahagia, dia yakin Edgar pasti akan mendukung perjuangannya dalam mengejar cintanya Amanuel.
Sementara Edgar sendiri hanya bisa membalas ucapan sang gadis dengan senyuman tipis, menyembunyikan kekecewaan di balik pedihnya luka di hati.
Tak ada yang lebih menyakitkan selain hanya dianggap sebagai teman oleh seseorang yang kita cintai, tapi itu sedikit lebih baik daripada keberadaan kita tidak dianggap sama sekali.
Bukankah cinta terkadang memang tak seadil itu?
***
Athena tak menduga rencananya menggunakan spy camera untuk memata-matai pergerakan Amanuel akan berakhir gagal saat dirinya salah memasang posisi kamera itu, sehingga kameranya sama sekali tak menyorot meja Amanuel, melainkan siswa lain di sebelah pemuda itu. Rencananya telah gagal total, apalagi dia sudah repot-repot menyembunyikan salah satu ponselnya di dalam pot di depan kelas pemuda itu di pagi hari buta.
Athena langsung putus asa saat melihat hasil rekamannya yang tidak memuaskan sama sekali, bahkan kamera itu tidak bisa memperlihatkan wajah Amanuel dan hanya menyorot ke arah lain.
Gadis itu langsung uring-uringan begitu tiba di rumah. Makan pun enggan.
"Hei, apa kau berhasil merekamnya?" Edgar tiba-tiba masuk ke kamar Athena melalui jendela yang tidak terkunci. Gadis yang baru pulang dari sekolah itu hanya bisa menggumam tak jelas sebelum menenggelamkan wajahnya ke bantal. Suasana hatinya benar-benar buruk, padahal dia sudah berharap lebih hari itu, tapi dia malah gagal mendapatkannya.
Edgar menduga ada sesuatu yang salah. Apalagi tak biasanya Athena uring-uringan di atas ranjang dengan masih memakai seragam lengkap. Dia lalu mengambil ponsel Athena dan memeriksa isinya. Tawanya langsung meledak tepat di menit yang menunjukkan di mana Ehsan yang merupakan teman sebangkunya Amanuel tengah membersihkan lubang hidungnya.
Benar-benar pemandangan pertama yang membuat siapa saja geli melihatnya.
"Jadi anak ini yang namanya Amanuel?" canda Edgar sambil tertawa terbahak-bahak, padahal dia sendiri sudah tahu seperti apa wajah Amanuel itu. Athena langsung bangkit dari ranjang dan melempari Edgar dengan semua bantal yang ada di atas ranjangnya.
"Hei, cukup! Hentikan!" pinta Edgar sambil tertawa. "Aku minta maaf!"
"Tidak lucu, Gar. Sudah jelas anak jelek ini bukan Amanuel. Kau tahu sendiri, kan? Amanuel itu luar biasa jauh lebih tampan seratus kali lipat dari pria manapun di seluruh dunia ini."
Setiap kata-kata pujian untuk Amanuel yang keluar dari mulut Athena diberinya sedikit penekanan, agar Edgar bisa mengerti tentang betapa dia begitu mengagumi pemuda itu.
Edgar memunguti semua bantal yang Athena lempar padanya sambil tertawa geli. Untung saja dia tak dilempari bantal saat masih bertengger di jendela. "Karena rencana ini sudah gagal, jadi kau harus pakai rencana awal," ucapnya sambil menyusun kembali semua bantal Athena ke tempatnya semula.
"Rencana awal ... maksudmu aku harus pasang lagi kameranya?" Athena bertanya dengan setengah putus asa. Bahkan dia sudah lupa apa rencana awal yang dibuatnya.
"Bukan, jadilah stalker. Intinya kau harus mengikutinya kemana saja, menyamarlah atau bersembunyi sesekali agar dia tidak mengetahui keberadaanmu," ucap Edgar sebelum kembali berkata, "kukira itu sulit bagimu, ternyata rencana menggunakan kameranya yang malah gagal."
"Ya, gagal total," keluh gadis itu. Padahal dia baru mencoba kameranya selama sehari. Dia benar-benar tak ingin melanjutkan rencana menggunakan kamera lagi, merepotkan. "Sepertinya rencana awal memang yang paling baik."
Edgar tersenyum. "Kau benar."
"Kalau begitu, tolong bantu aku mewujudkan keinginanku lagi, Gar." Athena menatap sahabatnya lekat-lekat, memohon dengan gaya imut.
"Apa maumu?" Edgar menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban Athena.
"Tolong bantu aku mencari alamat rumah Amanuel," pinta gadis itu yang membuat Edgar terkejut. "Aku ingin mengikutinya sejak dia berangkat ke sekolah. Mungkin bisa sesekali singgah di rumah dan bertemu orang tuanya? Pokoknya aku ingin totalitas."
Ucapan Athena membuat Edgar tercengang sampai kehabisan kata-kata.
"Ayolah, bantu aku. Aku tak peduli jika ini ilegal atau melanggar hukum. Aku akan bayar temanmu yang ahli IT itu berapapun nominalnya, asalkan dia bisa mendapatkan informasi Amanuel yang jauh lebih penting dibandingkan uang yang kumiliki saat ini."
Edgar kembali tersenyum di balik kekecewaannya. Tak menyangka jika Athena sudah sejauh itu demi laki-laki lain. "Benar-benar pemuda yang beruntung," gumamnya sendu, sebab dia iri dengan Amanuel. Bahkan Athena tidak menyadari perjuangannya selama ini. "Baiklah, aku akan membantumu."