01. Pengagum Rahasia
"Amanuel Bramasta, kelas 10A. Tingginya 176cm ... oh, ternyata kau lebih tinggi darinya, ya? Makanan kesukaan kue durian—oh, memangnya ada ya? Seorang cat lover dan takut sekali pada anjing."
Athena membaca kembali buku catatan berjudul "Dewa Matahariku" dengan saksama. Itu adalah sebuah buku yang disiapkannya khusus untuk menulis segala hal yang ingin ia ketahui tentang Amanuel Bramasta, ketua klub renang di sekolahnya yang telah berhasil membuatnya tidak bisa tidur nyenyak selama tiga malam berturut-turut.
"Setelah itu apalagi, Gar?" tanya Athena kepada satu-satunya orang lain selain dirinya di kamar tidur bercat ungu muda. Tak ada sahutan dari sang sahabat selama beberapa saat. Gadis itu terdiam sebentar kemudian menolehkan kepalanya ke arah sofa, tempat dia melihat Edgar terakhir kali. Di sana dia menemukan Edgar tengah asyik memainkan ponselnya sembari bersandar dengan nyaman.
Athena yang gemas melihat Edgar bermalas-malasan dan main gim seenaknya di sofa miliknya tanpa meminta izinnya pun dengan segera turun dari ranjang, menghampiri Edgar yang dua tahun lebih tua darinya. Athena langsung mengguncang-guncang pundak sahabatnya. "Hei, Edgar!" teriak gadis itu.
Anehnya Edgar justru menaruh ponselnya di bawah bantal sebelum berpura-pura memejamkan mata.
"Hei, bangun! Cepat sebutkan lagi kebiasaan Amanuel yang kaudapat! Kau 'kan punya teman yang pintar mencari informasi!" desak gadis itu tidak sabar, dia makin kesal dengan tingkah Edgar yang kekanak-kanakan. Pemuda itu malah pura-pura tidur di depannya secara terang-terangan.
Ingin rasanya Athena memukul wajah Edgar dengan bantal sofa, tapi ia tak tega melihat wajah tampan itu. Sementara Edgar mengintip sedikit sebelum merespons Athena dengan mulut yang menganga, menguap lebar.
"Hmm, aku tak tahu apa-apa lagi selain itu." Edgar menjawab dengan enggan. Suaranya terdengar serak, tak peduli dengan tatapan tajam yang dilayangkan Athena padanya.
"Di sekolah 'kan kau dekat dengan ketua OSIS sebelumnya! Seharusnya kau tahu sesuatu tentang klub renang ini." Athena beralasan sambil berkacak pinggang. Dia kembali mengguncang-guncang tubuh sang sahabat. "Pokoknya kau harus beritahu aku!" desak Athena lagi.
Berbanding terbalik dengan dirinya di sekolah, saat di rumah Athena justru merupakan gadis yang sangat berisik dan ceria. Dia tampak tomboi dengan penampilan celana baggy warna cokelat dan kaos oversize bergambar tengkorak khas anak metal. Tak seorang pun tahu kepribadiannya yang satu itu, apalagi rahasia mengenai Athena yang berteman dekat dengan salah seorang anak terpopuler di sekolahnya.
Edgar menguap lagi. "Tidak bisa, aku tidak akrab dengan orang yang kau maksud itu," jawabnya singkat, membuat Athena berdecak lidah. "Masih bagus kuberi informasi yang bisa kudapat, jangan melunjak."
"Sesulit itukah bertanya dengan ketua OSIS sebelumnya?" tanya Athena yang tak menyerah mendesak sang sahabat, dia harus dapat informasi tentang Amanuel—pemuda tampan yang dia incar itu.
Edgar memperbaiki posisi duduknya. "Apalagi yang kauingin aku lakukan? Bertanya tentang hal-hal pribadi sebagai laki-laki? Tidak, terima kasih," jelas Edgar sambil membayangkan reaksi teman-temannya saat dia terus menanyakan satu orang yang sama. "Bisa-bisa nanti aku dicap Gay karena terlihat penasaran dengan orang yang kausuka itu."
Athena merotasikan mata, merasa apa yang Edgar katakan itu tak mungkin terjadi di masa depan. Lagipula Amanuel jelas tak mungkin mau dengan Edgar yang menyebalkan ini. Dia itu laki-laki normal.
"Ayolah, kau saja bisa dapat informasi seperti tinggi badan dan makanan kesukaannya. Mustahil kalau kau tidak bisa dapatkan keterangan yang lain," jelas Athena dengan serius. "Bantulah aku, Gar. Aku ingin informasi tentang Amanuel."
Edgar menghela napas panjang. "Meski aku sudah memberimu informasi, belum tentu aku bisa mengetahui informasi lain lagi," ucap Edgar yang menunjukkan penolakan dengan tegas. "Kenapa tidak kau saja yang melakukannya?"
Athena terdiam, dia belum pernah memikirkan hal itu. "Bagaimana caranya?" tanyanya kemudian.
Edgar menjawab asal-asalan, "Ya ... lewat internet, atau kau tinggal ikuti saja dia diam-diam, buntuti kemanapun dia pergi kecuali ke toilet. Pastikan kau selalu di belakangnya, dengan begitu ... kau pasti bisa mengetahui apa saja yang tidak kauketahui tentang pemuda cantik itu."
Athena mendengkus sebal saat Edgar mengejek Amanuel dengan sebutan pemuda cantik. "Maksudmu aku harus jadi seorang stalker?"
Edgar menggeleng. "Bukan seorang stalker, lebih tepatnya ... Secret Admirer. Pengagum rahasia yang selalu ingin tahu kebiasaan orang yang disuka," jelasnya. "Anggap saja kau itu salah satu penggemarnya."
"Ya, ya, ya, baiklah," sahut Athena. "Bagus juga idemu, Gar.”
Sang gadis tersenyum. Ide Edgar terdengar menarik baginya yang sejak dulu ingin sekali melakukan aksi penyelidikan seperti mata-mata untuk mengetahui kebiasaan atau informasi lainnya mengenai Amanuel.
"Jadi, bagaimana?”
"Baiklah, aku setuju," ucap Athena memutuskan. Dia jadi bisa mengetahui apa saja yang pemuda itu sukai dan tidak. Benar-benar ide yang bagus. "Mulai sekarang ... aku jadi pengagum rahasianya Amanuel!"
Edgar tersenyum lebar. "Bagus! Sekarang kau stalker!"
Athena langsung memukul Edgar dengan bantal.
Edgar berkelit dengan cepat. "Omong-omong, kau terlihat menyedihkan di sekolah," komentarnya. "Kau tidak mendapat teman satu pun, ya? bahkan di kelasmu."
Athena menarik napas panjang dan ikut merebahkan dirinya di sofa, tepat si sebelah Edgar.
"Ya, kau benar. Mereka menjauh dariku dan bilang kalau aku ini jelek! Dasar kucing-kucing garong." Athena mengumpat, suatu hal yang jelas tidak bisa diperlihatkannya di sekolah. Tak mungkin ia bisa menunjukkan sisinya yang satu ini di sana, itu hanya akan mengundang kemarahan sang ayah.
"Jangan khawatir. Justru itu menguntungkanmu, jadi dengan penampilan seperti gembel itu, kau akan dengan mudah bersembunyi di balik semak-semak tanpa ketahuan," canda Edgar sambil tertawa.
"Huh, dasar tukang ejek," komentar Athena sinis. "Lebih baik kau pulang sana. Hush, hush!"
Edgar menggeleng cepat, enggan menuruti gadis itu. Dia lantas bangkit dari sofa dan berjalan menuju ranjang, lalu merebahkan tubuhnya di kasur Athena yang empuk. "Ah, lebih nyaman di sini," jawabnya santai. "Rumahku membosankan."
"Huh, jelas saja kau bosan ... karena kau tidak bisa bertemu denganku, kan?" Athena mengibaskan rambutnya seperti seorang model iklan sampo. Edgar hanya menatapnya sekilas, sebelum memejamkan mata.
Merasa diabaikan, Athena mendengkus kesal dan keluar dari kamar. Berencana mengambil cemilan di dapur untuk pemuda malas itu.
Tak ada seorang pun yang tahu jika Edgar yang populer di sekolah ini adalah tetangga samping rumah Athena yang selalu menyelinap masuk ke kamar gadis itu yang ada di lantai dua.
Mereka sudah berteman sejak kecil, karena itulah Edgar selalu mendapat akses masuk ke rumah Athena semenjak rumah itu hanya ditinggali oleh sang gadis beserta dua orang pelayannya yang telah bekerja sejak gadis itu SMP.
Beberapa orang penjaga bertugas di gerbang masuk, tak pernah sekalipun mereka terlihat di rumah.
Edgar memandang sekeliling kamar Athena, tatapannya jatuh pada sebuah figura foto yang ada di atas meja kecil samping ranjang. Figura itu memajang foto Athena saat masih anak-anak.
Athena telah kehilangan ibunya yang meninggal karena penyakit kanker payudara sejak berusia lima tahun. Waktu itu, Edgar dan keluarganyalah yang merawat Athena di rumah mereka selama beberapa tahun. Ayah Athena yang bernama Sam Slavina sibuk mengurusi pemakaman sang istri. Belum lagi mengurus perusahaan tambangnya yang berkembang dengan pesat di Indonesia.
Itulah mengapa Athena dititipkan di rumah keluarga Edgar hingga membuat keduanya menjadi dekat.
"Hei, aku masih belum menemukan cara membuntuti Amanuel secara diam-diam tanpa sepengetahuannya." Tiba-tiba Athena masuk ke kamar sambil membawa nampan berisi semangkuk kue dan dua gelas es jeruk. Edgar buru-buru bangun dan membantu sang gadis. Mereka lalu duduk di lantai.
"Tenang, aku bisa mencarikan alat yang bisa memata-matai seseorang dari kejauhan." Edgar lalu menyebutkan alat-alat yang bisa Athena gunakan untuk memata-matai Amanuel. Ada lebih dari lima macam alat.
Athena mendengkus sekali. "Kenapa bukan kau saja yang melakukannya untukku?" tanyanya malas.
Edgar menggeleng. "Tidak bisa," sahutnya cepat. "Aku sibuk mengurusi fansku di luar sana."
"Ya, ya, kau memang populer. Semua gadis menyukaimu," balas Athena, dia meminum es jeruknya yang lalu diikuti oleh Edgar.
"Semua gadis, kecuali satu orang." Edgar melirik Athena.
"Oh, biar kutebak. Pasti gadis cantik yang ada di sebelah kelasmu itu, si Nanad."
Edgar menggeleng, membuat Athena penasaran. "Jadi siapa orangnya?" tanya gadis itu lagi. Edgar adalah kakak kelasnya yang begitu populer, dia juga mantan ketua klub basket di sekolah, mungkin saja dia sudah punya pacar tanpa sepengetahuannya.
Edgar menjawab lirih, "Sudah pasti itu kamu, kan."
"Hah, aku?" tanya Athena balik karena tak menangkap jawaban Edgar dengan jelas. "Jadi kau suka aku?"
Edgar menaruh kembali gelasnya. "Maksudku, sudah pasti bukan kau," jawabnya sinis, seketika Athena tertawa terbahak-bahak karena sempat berpikir bahwa Edgar menyukai dirinya. Mana mungkin sahabatnya itu jatuh cinta dengan gadis yang bahkan diabaikan oleh teman-teman sekelasnya? Jelas tidak mungkin.
"Baguslah, jangan berharap denganku. Karena mulai sekarang ... hatiku, mataku, pikiranku semuanya milik Amanuel," ucap Athena yang mengklaim sepihak bahwa dirinya hanya untuk pemuda yang dia sukai. "Jadi kau jangan sampai menyukaiku."
Edgar terdiam sebentar, sebelum menjawab, "Baiklah."
"Bagus, anak baik. Sekarang kau pulang, sebelum ayahku datang dan mendapati kau ada di kamar anak perempuannya." Athena mengusir Edgar, karena hari itu sang ayah akan kembali ke rumah setelah menghabiskan waktunya bekerja berminggu-minggu di luar negeri.
Sam tidak pernah lagi mempedulikan anak perempuannya, tapi dia tetap harus menafkahi Athena yang merupakan tanggungjawabnya. Alasan Sam menghindari sang anak adalah karena Athena akan selalu mengingatkannya dengan mendiang sang istri yang meninggal karena kanker.
"Besok kubawakan kameranya," ucap Edgar yang berdiri di dekat jendela kamar Athena yang terbuka lebar, bersiap meloncat ke sebuah pohon yang terletak di samping jendela itu. "Aku pulang dulu."
"Ya, cepat pergi sana," jawab Athena tak acuh, dia melepas kepergian Edgar sembari memakan cemilan yang bahkan belum disentuh oleh Edgar karena pemuda itu harus segera pergi.
Edgar melirik Athena, menatapnya sesaat, sebelum meloncat ke pohon dan bergelantungan sebentar di dahan. Hanya itu satu-satunya akses termudah yang bisa mempertemukannya dengan Athena, gadis yang dicintainya sejak pertemuan pertama mereka.
Tepat di rumah gadis itu, 11 tahun silam.