Bab 9 Pertarungan
Pak Ali menggeram, lantas menyerang mereka bertiga dengan cekatan.
Akmal melompat selangkah agak ke belakang, bersamaan dengan Hafni yang juga melakukan hal serupa. Sedangkan Kalila berjaga-jaga di belakang mereka berdua.
Akmal dan Hafni tak kalah gesit. Gerakan kakinya sangat cepat. Mereka bisa menghindar dan menepis serangan Pak Ali dengan tepat. Begitu pula dengan serangan balik yang mereka lancarkan. Hampir tak kasat mata saking cepatnya.
Beberapa pukulan yang mereka layangkan telak mengenai wajah, perut, dan dada Pak Ali yang sedikit ditutupi kulit keriput, namun tampak kokoh dan gempal. Lebam berwarna biru pun terlukis di pipinya sedikit demi sedikit. Sepadan dengan lebam yang dia ukir di wajah Hafni dan Akmal sebelumnya. Mereka benar-benar tak bisa diremehkan! batin Pak Ali kesal.
Mendapat pukulan dari dua orang bocah SMA, membuatnya merasa amat terhina. Pak Ali semakin beringas mengayunkan belatinya tanpa ragu. Ia mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ia kembali menyerang tanpa menimbang-nimbang kemungkinan paling buruk yang akan terjadi. Matanya gelap oleh keterhinaan yang disebabkan pukulan-pukulan bocah SMA.
Pak Ali semakin gelap mata. Hanya amarah yang kini tengah bertakhta dalam dirinya. Dalam benak Pak Ali hanya kematian mereka berdualah yang mampu membayar semua rasa marahnya. Dan dalam dadanya kini tengah meledak-ledak sebuah energi menakutkan bak lava pijar yang sudah lama dipendam dalam-dalam.
Dalam suasana pertempuran yang tak lagi dapat dielakkan, Kalila maju dengan tenang menghampiri Pak Ali. Langkahnya melenggang mantap tanpa sedikit pun tampak rasa takut dari dirinya. Mata birunya tajam memandangi Pak Ali layaknya anak panah yang melesat tepat pada sasaran. Pak Ali sendiri tak bisa bergerak. Dia mematung, tak mampu mengusir kharisma Kalila yang semakin dekat semakin menyudutkannya.
“Kalila! Kamu mau apa!?” teriak Akmal merasa cemas.
Kalila tetap melangkah dengan penuh keyakinan. Perkelahian di antara mereka bertiga mendadak terhenti begitu saja. Pak Ali sendiri mulai menampakkan rasa takutnya melihat tatapan tajam mata Kalila yang kebiruan, seakan tanpa ampun. Ada sebuah aura yang kuat terpancar dari matanya. Siapa pun pasti akan roboh melihat sorot mata itu. Pak Ali sendiri kesulitan menafikan tekanan dari sorot mata Kalila.
Kini jarak di antara keduanya hanya beberapa jengkal. Pak Ali bisa saja menebas leher Kalila dengan belatinya. Namun sayang, Kalila tak sedikit pun menurunkan tekanannya. Seperti hipnotis, Kalila mampu membuat Pak Ali tak bergerak bahkan dalam jarak yang terlampau dekat seperti saat ini.
Akmal membiarkan Kalila mendekati Pak Ali. Ia tak berusaha memanggil Kalila lagi. Sebab Akmal tahu betul apa yang dilakukan Kalila. Sedangkan Hafni, dia ngeri sendiri melihat apa yanag dilakukan Kalila. Mendekati seorang penjaga sekolah bertubuh besar yang nampak seperti beruang, lantas menatapnya tajam seperti elang. Sampai-sampai dalam keadaan setengah sadar, Hafni menggingit bibirnya yang pecah-pecah.
Pak Ali mencoba menghunus belatinya, akan tetapi tangannya tak dapat lagi mengayun lincah seperti saat dia melawan Akmal dan Hafni. Tubuhnya bergetar hebat. Giginya gemerutuk menggigil. Pak Ali sudah kalah. Dia tak bisa lagi mengendalikan gerak tubuhnya yang kini diselimuti gumpalan awan ketakutan. Bahkan kedua tangannya pun melemas, belati dalam genggamannya sedikit lagi jatuh.
“Belati ini berbahaya Pak. Aku ambil ya,” ucap Kalila seraya merebut belati dari tangan Pak Ali.
Seketika tubuh Pak Ali ambruk, menyebabkan suara benda jatuh yang terdengar amat berat. Dia pingsan begitu saja di tempat dengan mata melotot. Begitu kuatnya rasa takut yang baru saja dia alami. Jangankan untuk membunuh Kalila, membalas tatapannya saja dia tak mampu.
***