Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Tetap Waspada!

Hari sudah larut. Jam dinding yang tergantung di ruangan penjaga sekolah menemani mereka dengan suara dentingan jarum detiknya yang mendayu-dayu. Diiringi dengkuran para penjaga sekolah sif siang yang sengaja tak pulang ke rumah. Mereka memilih tinggal dan tidur di sana.

Pak Ali menyambut kedatangan mereka bertiga dengan ramah. Tiga cangkir teh hangat dihidangkannya untuk menjamu tamu malam yang datang tak terduga. Namun Akmal, Hafni, dan Kalila tetap waspada walaupun tanpa perintah. Sebab, acara penjamuan ini di luar rencana. Ketiganya saling lirik memberi isyarat untuk melakukan hal yang sama. Mereka tak benar-benar meminum tehnya untuk berjaga-jaga.

Sang tuan rumah sendiri mulai meminum teh di hadapannya lebih dulu. Seakan ia memberi sinyal bahwa dalam cangkir itu tak ada sesuatu yang membahayakan. Hanya air yang diberi gula dan seduhan teh celup praktis.

“Siapa tahu dalam cangkir itu sudah disimpan beragam racun yang dapat melumpuhkan kami kapan saja!” gumam Akmal seraya berpura-pura meneguk teh dalam cangkirnya.

“Ini trik lama, aku bisa mencium bau racun dari teh ini! Semoga Akmal dan Kalila merasakan hal yang sama!” Hafni berkata dalam hati.

Lantas, Pak Ali menaruh cangkir tehnya di meja. Lalu mulai berbicara, “memang, setelah semua kejadian janggal di depan ruangan itu, banyak yang meminta kuncinya sama saya.” Pak Ali mengeluarkan semua kunci yang ditaruh dalam tasnya. “Semuanya ada 120 buah kunci,” sambung Pak Ali. Kalila lantas mengambil gundukan kunci itu.

“Ini kunci apa saja, Pak? Banyak sekali!” Akmal segera mengambil kunci itu.

“Semua ruang kelas, ruangan-ruangan penunjang, lemari-lemari dan masih banyak lagi. Pokoknya semua benda yang menggunakan kunci di sekolah ini, kuncinya ada sama saya,” jelas Pak Ali tegas.

Hafni manggut-manggut tanpa menyentuh gundukan kunci itu. Lantas kembali memerhatikan percakapan mereka. Terutama semua hal yang dikatakan Pak Ali pada mereka bertiga.

“Yakin nggak ada Pak?” tanya Kalila seraya melihat-lihat semua gulungan kunci itu satu per satu.

Pak Ali hanya menjawab dengan anggukan.

Dia sepertinya sudah lelah dengan kasus ini. Terlebih lagi, dia selalu menjadi orang yang paling banyak dicecar pertanyaan para penyidik. Sebab di sekolah ini tidak ada lagi yang memegang seluruh kunci sekolah, hanya Pak Ali seorang. Selebihnya, mungkin hanya pencuri.

Tatapan mata Pak Ali tak sedikit pun menggoreskan bait keraguan. Dia tampak tenang-tenang saja. Gerak-geriknya amat meyakinkan. Jangankan berniat jahat, dari mimik mukanya saja tak ada tanda-tanda dia menyembunyikan sesuatu. Hafni dibuat kalap menghadapi ketenangan wajah Pak Ali. Meski dalam pikirannya dia yakin bahwa Pak Ali memiliki keterlibatan dalam kasus-kasus ini.

“Boleh kami coba semua kuncinya, Pak?” tanya Hafni tiba-tiba.

Sambil mengerutkan kening, Pak Ali berkata, “silakan, tapi saya mau ikut ke sana juga, boleh?” Pak Ali kembali tersenyum tipis, memamerkan wibawanya.

“Tentu saja boleh, Pak!” jawab Hafni ramah.

Pak Ali tidak mau melewatkan apa yang mungkin ditemui ketiga anak pemberani ini. Alasan itu pun diterima. Menurut Akmal, cukup masuk akal jika seorang Pak Ali ingin mengetahui apa yang terjadi di balik ruangan terkunci itu. Sebagai seorang penjaga sekolah, sudah menjadi kewajibannya untuk tahu masalah apa saja yang berkeliaran di daerah yang dia awasi.

Detik demi detik melaju tanpa siapa pun dapat menghentikannya. Desau angin malam semakin liar menerpa runtutan dedaunan nan anggun. Semakin lama angin kian ganas mencubit tulang jengkal ke jengkal.

“Dingin sekali!” keluh Hafni seraya berpangku tangan, berusaha menciptakan kehangatan untuk tubuhnya.

“Lemah!” seru Kalila pada Hafni dengan nada yang sangat sinis. Hafni dibuat cemberut oleh ejekan frontal Kalila terhadapnya.

Tidak pernah Hafni sampai merasakan udara sampai sedingin ini, apalagi di sekolah. Berbeda dengan Akmal dan Kalila yang sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Meski demikian, Hafni tetap kuat menahan rasa dingin yang menyergap tubuhnya. Dia tidak mau kalah dari mereka.

Perlahan, satu per satu menuruni anak tangga. Kalila berjalan paling depan, dia sibuk mengecek semua kunci di tangannya tanpa sedikit pun memperhatikan jalan. Walaupun begitu, dia sama sekali tidak tersandung atau bahkan salah jalan. Insting menuntun langkahnya lebih kuat daripada matanya.

Akmal malah khawatir dengan sikap Kalila yang terang-terangan menunjukkan bakat-bakat anehnya. Meski hanya sedikit, Hafni bisa saja mencatatnya sebagai sesuatu yang tidak lazim bagi seorang siswi SMA. Tetapi, dia juga percaya bahwa Kalila bukan orang sebodoh itu. Di balik kelakuannya yang membuat Akmal jengkel, Kalila pasti memiliki alasan tertentu.

“Kalila… aku mohon jangan gegabah!” batin Akmal berteriak.

Tiba-tiba langkah kaki Kalila terhenti. Alisnya terangkat. Dia menyadari sesuatu yang janggal dari gulungan kunci-kunci yang disatukan dengan tali itu. Tidak hanya sampai di sana, dia juga mendengar suara aneh dari sebuah benda di tangan Pak Ali yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sontak semuanya ikut berhenti. Mereka saling tatap dalam waktu yang sangat singkat sebelum semuanya mengerti apa yang terjadi.

“Kenapa Kalila?” tanya Hafni mendahului semuanya. Ia berpura-pura tidak tahu, mencoba memancing reaksi Pak Ali. Matanya melirik agak ke belakang.

Hal yang sama dilakukan Akmal. Ujung matanya diam-diam berusaha menatap ke belakang. Perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pasti ada yang tidak beres dengan Pak Ali!

Kalila mengembuskan napasnya pelan. Hanya dia yang tampak tenang-tenang saja. “Pak Ali,” katanya sambil menundukkan kepala. “Apa yang Bapak pegang di balik punggung itu?”

Akmal dan Hafni segera menoleh ke belakang. Keduanya cekatan menghindar sejauh mungkin dari Pak Ali. Sebilah belati terhunus dari tangannya. Sambil tertawa jahat, ekspresi wajahnya berubah menjadi amat menyeramkan dengan aura gelap dan nafsu membunuh yang menguar sangat kuat. Siapa pun yang ada di sana pasti dapat merasakannya.

“Aku sudah tahu sejak awal. Memang ada yang aneh dengannya.” Hafni menatap tajam Pak Ali, tak sedikit pun fokusnya teralihkan oleh suara-suara menyeramkan hewan malam yang saling bersahutan.

“Tetap hati-hati Hafni! Akan sulit melawannya!” seru Akmal mengingatkan. Dia sendiri masih ingat bagaimana pertarungan dadakannya melawan Pak Ali yang bertubuh besar dan berotot itu.

Mendengar Akmal bicara begitu, Pak Ali merasa tinggi hati. Dia menganggap remeh ketiga anak SMA di depannya. Apalagi saat melawan Akmal, dia tak perlu mengeluarkan banyak tenaga.

“Kalian terlalu berani anak-anak. Hampir saja leher kalian putus kalau anak perempuan menyebalkan itu tidak menyadarinya!”

Ketiganya saling pandang. Mendengar ancaman Pak Ali yang mestinya terdengar seram, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Tak ubahnya seperti lelucon acara televisi, ancaman itu tak sedikit pun membuat mereka bertiga gentar.

“Kau ingin menebas leherku sampai putus? Cobalah!” tantang Hafni seraya menepuk-nepuk lembut lehernya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel