Bab 7 Aksi!
Waktu istirahat telah tiba. Mereka bertiga memiliki waktu setengah jam untuk bebincang. Di saat siswa lain sedang sibuk membuka buku rangkuman soal-soal kimianya, Hafni, Akmal, dan Kalila malah sibuk menyusun rencana untuk menguak siapa dan apa yang terjadi di dalam ruangan terkunci itu.
“Jadi kita mulai dari mana?” Akmal menoleh pada Hafni seraya berpangku tangan.
“Untuk memulainya, kita pasti mengambil langkah yang paling mudah terlebih dahulu. Akan kucoba untuk meminjam kunci ruangan itu. Kabarnya, di sekolah ini hanya Pak Ali yang memegang kuncinya. Dia penjaga sekolah yang bertugas pada sif malam. Siang hari seperti ini dia pasti sedang tidur, atau kalau tidak memang belum datang sama sekali,” jelas Hafni.
Akmal dan Kalila mengangguk-angguk.
“Jadi kita harus menunggu sampai malam tiba lantas meminjam kuncinya?” Kalila ikut bertanya.
“Tepat!”
“Jika dia tidak mau meminjamkannya?” Kalila kembali bertanya.
“Kita akan merebutnya dengan paksa atau menunggunya lengah. Tentunya dengan cara-cara yang cerdas. Lalu, mau tidak mau kamu harus membuat duplikatnya agar kita bisa masuk kapan saja kita mau. Kamu bisa meniru benda apa saja, bukan?” Hafni tersenyum simpul. Dia menatap tajam mata indah Kalila.
“Iya, aku bisa membuatnya.”
Akmal kembali tersentak. Wajahnya mendadak bercucuran keringat dingin. Matanya terbelalak lebar dengan kepala menunduk. Siapa sebenarnya Hafni!? Begitulah pikiran Akmal melayang-layang ke angkasa. Dia tidak menyangka kalau Hafni sudah mengenal mereka lebih jauh. Dari mana pula Hafni tahu kemampuan duplikasi Kalila hingga sejauh itu? Akmal mengawang-awang.
Kalila malah lebih kaget lagi dibandingkan Akmal. Namun ketenangannya mampu menyembunyikan semua rasa terkejutnya itu. Dia sendiri terlalu gegabah dengan mengakui kemampuannya di depan orang asing. Baginya, Hafni tetaplah masih seorang yang asing dalam kehidupannya. Namun begitu, akan jadi yang lebih masalah besar jika ia tidak mengakui kebenaran yang Hafni katakan. Ada baiknya jika untuk saat ini ia mengikuti alur permainan yang Hafni jalankan. Begitu sampai waktunya, tentu Kalila dan Akmal tak akan diam saja.
“Kamu kenapa, Akmal?” tanya Hafni yang berusaha menyembunyikan tawa puasnya yang kian menyeruak keluar.
“Tidak. Lanjutkan saja, aku sedang memikirkan rencana lain jika nanti rencanamu gagal.” Akmal tahu dia sedang menebak-nebak isi pikirannya.
“Yah, kau ada di sini memang untuk membantuku membuat rencana terbaik. Kapan saja kamu punya ide lain, sampaikan saja. Aku tak pernah meragukan kemampuanmu menyusun strategi.” Hafni balas dengan pujian setinggi langit. Entah apa yang dia mau dari kata-katanya yang sok merendah itu.
Ketiganya kembali berdiskusi. Akmal berusaha menenangkan dirinya. Dia tak boleh gegabah dengan memperlihatkan ekpresinya di depan Hafni. Salah sedikit saja bisa berbahaya. Dia bisa menebak pikiran orang lain dengan mudah. Tak ada yang tahu pasti siapa Hafni sebenarnya. Dia bukan seorang siswa SMA biasa.
***
Semilir angin malam di sekolah benar-benar membuat tubuh mereka bertiga menggigil. Dinginnya udara malam ini seakan menusuk-nusuk hingga ke dasar tulang. Jaket tebal yang mereka kenakan masih belum cukup untuk mengusir hawa dingin yang menabrak tubuhnya dengan ganas. Memang, yang paling nikmat dilakukan di saat-saat seperti ini adalah tidur dan berkemul, bukan berkeliaran di sekolah yang dikerubungi suasana sunyi bak sebuah komplek pemakaman.
Suasana sepi nan hening sekolah semakin menambah kesan ‘dingin’ di antara mereka. Apalagi suara hewan malam mulai terdengar saling bersahutan. Jangkrik, katak, dan tokek seakan tengah berbalas pantun di keheningan malam ini. Syahdu sekali jika seketika kalian mendongakkan kepala, lantas menatap langit yang dihiasi beraneka macam rasi bintang di angkasa raya.
Area sekolah yang biasanya hangat oleh para siswa yang main kejar-kejaran dan berbicara seenaknya tidak akan ditemui malam hari. Siapa juga yang mau pergi ke sekolah malam-malam seperti ini. Lagi pula, hari ini tak ada acara malam yang dilaksanakan sekolah. Seperti perkemahan misalnya, atau malam bimbingan iman dan takwa.
Ketiganya menyusuri koridor untuk mencapai kamar khusus Pak Ali dan penjaga sekolah lainnya. Kamar Pak Ali sendiri terletak di lantai dua sebelah kiri laboratorium komputer. Mungkin dia sengaja ditempatkan di sana agar lebih mudah mengawasi laboratorium yang rawan sekali terhadap pencurian. Dari kejauhan sudah terlihat, ruangannya paling terang di antara bangunan-bangunan lain.
“Sekolah seram juga ya kalau malam.” Kalila menengok kiri-kanan sambil terus melangkahkan kakinya. Matanya yang jeli tak pernah berhenti memastikan keadaan sekitarnya baik-baik saja.
“Iya, rasanya seperti sedang uji nyali saja,” timpal Hafni. Suaranya amat jelas terdengar di antara kebisuan malam.
Sementara Akmal sama sekali tak menyadari obrolan pendek di antara mereka. Dia sibuk memikirkan bayangan-bayangan yang terlintas dalam pikiran dan hatinya. Rasa penasaran tentang apa yang ada di balik Ruangan Terkunci itu kalah oleh rasa cemas kalau identitas aslinya terbongkar oleh kecerdasan yang dimiliki Hafni. Terbukti beberapa kali Hafni mengupas satu per satu rahasia dirinya, walaupun secara tidak langsung.
“Kalian mau apa malam-malam ke sekolah?” tanya seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak Akmal dari belakang.
Akmal yang terkejut dan merasa terancam refleks melancarkan sebuah pukulan ke arah orang di belakangnya. Namun pukulannya berhasil ditangkis dengan mudah oleh seseorang berlengan besar berotot itu. Akmal lanjut menendang perutnya sekeras mungkin, namun tak berhasil. Orang itu kembali mampu menghindarinya. Gerakannya amat lincah meski ia bertubuh besar.
“Akmal, tahan! Dia itu Pak Ali!” seru Hafni yang mencoba menenangkan emosi Akmal.
“Haha, aku suka kewaspadaanmu, anak muda.” Pak Ali malah memuji Akmal sambil mengelus rambutnya.
Akmal tersenyum malu mendengar pujian Pak Ali padanya.
***