Bab 6 Sekolah Tanpa Hafni
Terbesit dalam pikiran Akmal untuk benar-benar menanyakannya pada Kalila. Dia menimbang-nimbang. Berkali-kali dia melirik ke arah Kalila, namun urung juga bertanya.
“Apakah aku harus benar-benar melakukannya?” pikir Akmal.
Sesaat dia enggan memikirkannya, dia percaya bahwa jawabannyalah yang benar. Itu hanya omong kosong. Atau mungkin ….
Akmal segera mengganti jawabannya. Penghapus mulai berdecit di lembar jawabannya yang selalu bersih tanpa keraguan. Ini pertama kalinya dia mengganti jawabannya. Dengan cepat dia menghitamkan bulatan poin D.
“Terima kasih Hafni,” kata Akmal lirih.
“Okay!”
“Aku rasa ini hanya jebakannya saja untuk menguji kepercayaanku padanya. Kau memang cerdas Hafni! baik akan kulayani permainanmu!” Akmal bergumam, lantas menyeringai tipis.
Akmal yang penasaran dengan bagaimana Hafni membaca lembar jawabannya dari balik kertas, malah menghabiskan sisa waktu ujiannya untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan Hafni melakukannya. Sudah tiga puluh menit dia berpikir. Jangan-jangan Hafni juga tahu isi soal uraiannya. Tapi jika benar-benar dia tahu, Hafni akan lebih menyeramkan dari segala sesuatu yang horor di dunia ini.
“Hafni, kamu tahu isi soal uraianku juga?” bisik Akmal sambil mengetukkan pulpen ke meja untuk menyamarkan suaranya agar tidak terdengar orang lain.
“Tidak, aku hanya tahu jawaban pilihan gandamu saja.” Hafni balas mengetukkan pulpennya.
Apa yang dipikirkan Akmal benar. Hafni tidak melihat lembar jawaban miliknya sama sekali. Sedikit pun tidak. Hafni hanya melihat pola tangan Akmal ketika menjawab soal-soal pilihan ganda. Akmal yang menjawab semua soal dengan sangat mudah dan cepat justru semakin memudahkan Hafni untuk membaca posisi tangannya, kapan berada di bulatan A, B, C, D, atau E.
“Nanti-nanti kau harus belajar cara membaca pola tanganku ketika menulis huruf per huruf, Hafni.” Akmal menyeringai puas. “Sudah kuduga, kau hanya ingin memerlihatkan kebolehanmu saja, bukan?” gumam Akmal.
Hafni hanya tersenyum simpul dengan ketenangan yang menjadi ciri khasnya. “Ayolah Akmal, kau tahu apa maksudku,” kata hatinya ikut berbicara.
Mendengar Akmal yang sudah tahu bagaimana caranya membaca pola posisi tangan, Hafni tak sedikit pun terkejut. Dia tahu, Akmal bukan orang yang bisa diremehkan begitu saja. Sejak awal Hafni memang merasakan hal yang berbeda dari Akmal dan Kalila. Mereka seperti dua orang yang ‘berusaha terlihat normal’. Sekilas memang tidak ada yang aneh dari mereka berdua, tampak sama saja seperti siswa SMA biasa.
Tanpa menunggu lebih lama, Hafni beranjak dari kursinya. Dia mengumpulkan lembar jawabannya tanpa ada sedikit keraguan dalam hatinya. Wajahnya terlihat sangat sombong seperti biasa. Tak ada senyuman sedikit pun yang tersungging dari bibirnya. Meski ketika tersenyum pun dia akan tetap terlihat sombong juga. Sama saja!
Kini semua mata tertuju padanya. Mereka menatap Hafni langkah demi langkah. Bukan karena kagum akan kepintarannya. Itu sudah basi! Semua orang sudah tahu kalau Hafni memang anak nomor satu di sekolah ini. Akan tetapi, siapa pun akan merasa sebal dengan orang yang mengumpulkan hasil ujiannya duluan sebelum waktunya habis. Sebab hal itu akan memicu ketegangan siswa yang lain.
Sebenarnya ada banyak alasan mengapa Hafni selalu menampakkan sifat sombongnya di sekolah. Selain dia merupakan siswa nomor satu dengan paras rupawan yang tak pernah mengecap posisi kedua, dia juga memiliki segudang prestasi nonakademik. Singkatnya, sekolah ini berutang banyak pada kemampuannya. Ia merasa bahwa guru-guru di sekolah sangat membutuhkannya. Karena tanpa dirinya, sekolah ini tak ada apa-apanya. Namun apa pun alasannya dan siapa pun orangnya, sifat sombong tetaplah salah.
***