Bab 5 Pola Tangan
Gemericik air hujan disertai gemuruh angin kencang mulai terdengar setelah semua siswa masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Lahan parkir yang terletak agak jauh dari kawasan kelas ikut tergenang hujan, membuatnya becek dan berlumpur. Menjijikkan, terlihat sama seperti kandang hewan ternak.
Mereka yang takut terkena hujan, lari berhamburan meninggalkan parkiran tanpa ingat kunci motornya belum dicabut. Tak sedikit juga dari mereka yang datang dengan basah kuyup karena lebih dulu terkena hujan dalam perjalanan. Pagi ini semuanya kembali ke sekolah tanpa semangat karena cuaca yang tidak bersahabat. Wajah-wajah mereka kusut kusam.
Awan mendung sejak pagi sudah mati-matian menahan hujannya. Padahal soal-soal UAS yang merongrong ganas telah menunggu mereka. Mata pelajaran Bahasa Inggris sudah menanti untuk mereka selesaikan. Tidak ada alasan yang bisa menafikannya, termasuk cuaca yang tak mendukung pagi ini.
Lihat. Hujan di luar semakin deras. Petir sesekali menggoda mereka dengan kidungnya yang sangat menyeramkan. Di kelas pun begitu, pemandangannya sangat tidak sedap dilihat mata. Lantai kelas amat kotor dengan jejak sepatu berlumpur, dihias dengan motif sol sepatu yang beragam.
Kalila menerawang ke luar jendela, lamunannya melayang tinggi menembus cakrawala. Sebuah tempat nun jauh di sana tergambar jelas di pelupuk matanya. Sebongkah keinginan besar untuk kembali ke tempat itu semakin menyesakkan dadanya. Tempat ketika dia bisa bersandar di bawah pohon dan menikmati semilir angin sore bersama ternak-ternaknya.
“Nak, kau jangan terlalu lama diam di sana! Ingat, pohon itu sudah tua, bisa tumbang kapan saja!” teriak majikannya yang sangat baik.
“Iya tuan! Sebentar lagi saya ke sana! Domba-domba ini sangat bandel kalau tidak saya jaga!” jarak yang jauh memaksa mereka untuk berkomunikasi dengan saling berteriak.
Luas sekali padang rumput itu. Jarang sekali ada pepohonan di sana. Pohon apel milik majikannya saja hanya ada beberapa batang. Sejauh mata memandang ia hanya dapat melihat padang rumput yang hijau setinggi mata kaki. Panjang sedikit, kawanan domba ternak akan memakannya.
Lantas lamunan masa lalunya terhenti ketika petir paling keras menggelegar membuat seisi kelas berteriak kaget. Kilatnya berkilauan seperti permainan lampu di ruang teater tempo hari. Ia terbangun, lantas mengerjakan lembar ujiannya.
Sementara itu, hari ini Akmal dan Kalila tidak perlu susah-susah lagi untuk menyontek lembar jawaban Hafni. Mereka menguasai mata pelajaran Bahasa Inggris. Lima puluh soal pilihan ganda, dan lima butir soal uraian sudah mereka selesaikan sejak lima belas menit ujian dimulai. Saking percaya dirinya, mereka berdua tak mau memeriksa kembali hasil kerjanya.
“Hey, Akmal,” panggil Hafni yang duduk tepat di belakangnya.
“Kenapa? Kamu mau nyontek?” tanya Akmal ketus.
“Aku hanya mau mengingatkan, jawaban nomor duamu itu salah.” Hafni menunjuk-nunjuk lembar jawaban milik Akmal dengan pensil yang ujungnya diberi hiasan berbentuk karakter naruto.
“Hah? Nomor dua pilihan ganda?” tanya Akmal berbisik.
Hafni mengangguk mengiyakan.
“Jadi kamu dari tadi nyontek?” Akmal terlihat marah, wajahnya memerah. Ia tidak bercermin dari kelakuannya sendiri yang pernah berusaha menyontek jawaban Hafni kemarin.
“Tidak,” jawab Hafni santai.
“Lalu?”
“Pola jawabanmu tidak sama dengan punyaku di nomor dua. Dan itu memang salah. Harusnya D, bukan C.” Hafni berbisik dengan tenang. “Kalau kau tidak percaya, tanya saja Kalila, apa jawabannya di nomor dua,” sambung Hafni.
Hafni memang anak yang aneh. Orang lain memanggil temannya saat ujian untuk meminta jawaban, dia malah mengingatkan dan memberi tahu jawabannya, itulah yang sedang dipikirkan Akmal. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa Hafni melihat semua pola jawaban Akmal yang sedari tadi tertutup rapat oleh lembar soal?
-----