Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Racun Minuman

Pak Jamal telah sampai di rumahnya. Perjalanan panjang selama hari ini telah dia lewatkan dengan energi penuh. Ada banyak dokumen yang mesti diantar ke Markas. Dan begitulah Markas, tak pernah mau memberi tenggat waktu berlebih. Lebih cepat lebih baik. Dan jika bisa hari ini kenapa harus dikerjakan besok? Merepotkan sekali memang peraturan mereka.

Sebelum menuju kamarnya, ia masuk ke dapur dan menyeduh segelas besar coklat panas. Bekal untuk menemaninya bergadang malam ini. Tangannya meraih satu kresek makanan ringan dari tasnya yang ia beli di minimarket. Setelah semuanya siap, ia segera melangkahkan kakinya menuju kamar.

Sampai di kamar bukan berarti semua kerjaannya selesai. Jadwal tidur, menyulam bulu mata dan bermimpi menemukan bidadari cantik harus dia tunda untuk beberapa saat. Ada tugas lain yang menjadi bebannya sebagai agen senior. Data-data yang mampu meringankan beban kedua agen muda itu dia olah dalam laptop pribadinya.

“Akmal dan Kalila sepertinya akan sangat membutuhkan bantuanku suatu saat nanti,” kata Pak Jamal seraya membuka salah satu fail dalam brankas rahasianya. Tangan kirinya mengantarkan satu buah makanan ringan ke dalam mulutnya.

“Aduh lupa! Harusnya kan menggunakan tangan kanan!” ujar Pak Jamal, matanya tetap fokus ke layar laptop.

***

Pak Ali masih terbaring pingsan di kamarnya. Mereka bertiga tak berusaha membangunkan Pak Ali untuk menghindari masalah yang mungkin saja kembali terjadi. Dengan begini mereka bisa lebih bebas menyelidiki semua benda yang mencurigakan di kamar Pak Ali dan penjaga sekolah yang lain.

“Mereka tertidur pulas sekali. Atau mungkin Pak Ali sengaja membuat mereka tertidur dengan obat bius?” selidik Hafni sambil memastikan cangkir teh yang tadi dihidangkan Pak Ali untuk menyambut kedatangan mereka bertiga.

“Dalam cangkir kita memang ada obat bius. Aku bisa mencium baunya.” Kalila menjawab santai.

Kalila… teriak Akmal dalam batinnya.

“Ternyata hidung kita sama, ya! Aku juga mencium bau racun saat pertama kali teh ini dihidangkan.” Hafni menanggapi peringatan Kalila. Kalila sendiri tak terlihat antusias pada Hafni.

“Sejak awal kunci-kunci ini memang palsu.” Kalila melemparkan gulungan kuncinya pada Akmal.

“Kau benar. Semua kunci ini nomor serinya sama, hanya bisa dipakai untuk membuka satu pintu saja. Sebenarnya masuk akal. Pak Ali tidak mungkin sembarangan memberikan kunci sekolah. Tapi kurasa dia telah gegabah kalau menyamakan kita dengan orang lain yang mampu dikelabuinya.” Akmal menjelaskan kesalahan Pak Ali. Kata-katanya terdengar seperti dipaksakan.

“Bisa saja semua pintu di sekolah ini memang hanya bisa dibuka dengan satu kunci,” sergah Hafni.

“Lalu untuk apa kunci sebanyak ini jika yang dibutuhkan hanya satu buah?” Akmal bertanya balik.

“Mungkin untuk membuat pencuri panik?” Hafni memancing jawaban cerdas dari Akmal.

“Ah iya, kau benar. Bisa saja pencuri dibuat pusing dengan melihat kunci yang sangat banyak ini.” Akmal segera menyadari ke mana arah pembicaraan Hafni.

“Kau salah. Pencuri tidak akan mungkin segegabah itu. Mereka terlatih membaca macam-macam tipe kunci dari permukaannya walau hanya dengan merabanya saja,” timpal Kalila yang malah terjebak kata-kata Hafni.

Hafni tersenyum simpul.

Jam dinding di kamar Pak Ali tepat menunjukkan pukul sebelas malam. Suara-suara hewan nokturnal seperti burung hantu dan kelelawar yang terbang saling berkejar-kejaran semakin keras terdengar memekakkan telinga. Satu-dua bahkan terbang rendah melewati pintu kamar Pak Ali yang terbuka lebar. Sesekali mereka membuang kotorannya di koridor sekolah. Meski berwarna putih, tetap saja kotoran itu MENJIJIKKAN!

Di luar sana, langit malam begitu cerah memamerkan setiap perhiasannya yang menyiramkan aneka cahaya lembut. Amat mengangumkan. Bintang dengan berbagai variasi rasinya yang tertata rapi seakan mengelilingi bulan purnama yang malam ini menjadi pusat perhatian di langit malam. Kemolekan cahayanya mampu menyihir setiap mata untuk selalu mengaguminya. Walaupun cahaya bulan hanya sebatas pemberian matahari menurut ilmu alam.

Sudah waktunya mereka pulang.

Jika tadi di angkasa muncul bintang yang baru saja bersinar. Maka bersamaan dengan itulah petualangan mereka baru saja dimulai.

“Pak Ali akan kita apakan?” tanya Akmal sebelum meninggalkan kamar.

“Aku sebenarnya ingin sekali membuatnya masuk penjara,” jawab Hafni.

“Tapi?” Akmal kembali bertanya.

“Kita tidak punya bukti yang cukup kuat untuk mengantarnya. Belatinya saja sudah tercampur sidik jari Kalila. Jika mengandalkan hasil visum, luka yang dia alami lebih parah daripada kita.” Hafni menjelaskan dengan sangat padat.

“Benar juga.” Akmal mengangguk-angguk.

“Kita hanya perlu tetap waspada sampai kita tahu apakah Pak Ali benar-benar melakukan semua ini atas kesadarannya sendiri, atau dalam pengaruh orang lain.” Kalila ikut bersuara. Semuanya dibuat bengong oleh pendapat Kalila. “Sebab saat memandang matanya, aku merasa bahwa Pak Ali sedang dalam kendali sesuatu.”

Hafni menelan ludah dengan susah payah. “Kendali sesuatu?”

Akmal mengangguk setuju. “Aku juga merasakannya. Tidak mungkin seorang penjaga sekolah yang akan tega mencelakakan kita. Bukankah selama ini kitalah yang diajaga?” sambung Akmal.

“Aku yakin, Pak Ali pasti ada hubungannya dengan peristiwa ruangan terkunci itu atas perintah orang lain. Dan jika benar, dia pasti ada di sekitar kami.” gumam Akmal dalam hatinya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel