Bab 11 Deg!
Ujian akhir semester sudah habis terlaksana. Semua kegiatan di sekolah selama seminggu ini hanya berfokus pada kegiatan ekstrakurikuler demi menyambut festival lomba antar sekolah. Sebagian dari mereka ada juga yang sibuk mengerjakan remedial. Tentunya itu semua hanya berlaku untuk para siswa dengan raihan nilai yang kurang. Mata pelajaran Matematika dan Fisika semester ini memakan banyak korban. Hampir setengah dari semua anak IPA mengulang ujiannya karena nilai mereka di bawah kriteria kelulusan minimal.
Pak Jamal dengan inisiatif kejamnya membuat ranking paralel seluruh siswa IPA kelas sebelas. Semua nilai mata pelajaran dijumlahkan tanpa terkecuali. Tidak ada faktor penambah yang dapat membantu meningkatkan nilainya. Murni! Dan parahnya lagi, nilai remedial tidak bisa dimasukkan ke dalam sistem ranking paralel. Setelah terakumulasi, semua data dipajang di mading sekolah. Tak ada yang berani protes dengan apa yang dia lakukan. Termasuk guru-guru lain.
“Kau peringkat satu lagi Hafni. Bukankah itu hebat?” kata Pak Jamal yang menyadari kehadiran Hafni di belakangnya.
“Ah cuma kebetulan saja Pak. Satu poin lagi Akmal bisa mengalahkanku.” Hafni merendah, lantas mendekati madingnya.
“Iya, jarak nilai kalian bertiga memang tidak begitu jauh. Kalila hanya selisih dua poin denganmu.” Pak Jamal tersenyum simpul.
“Mereka memang teman bersaing saya, Pak!” Hafni terdengar antusias. Ia berusaha menyembunyikan kepribadiannya dari Pak Jamal.
“Benarkah? Kau tidak keberatan jika kemudian mereka mengambil posisimu?” tanya Pak Jamal sedikit bercanda.
“Jika memang saya yang salah dan mulai malas belajar, saya tidak masalah. Apalah artinya sebuah predikat nomor satu selain-”
“Selain untuk terlihat populer, iya kan?” Pak Jamal memotong ucapan Hafni.
“Bisa jadi,” sahut Hafni seraya menatap langit.
Pak Jamal benar-benar ahli membawa seseorang untuk masuk ke dalam dimensi yang dia inginkan. Obrolan pendek ini seakan tanpa makna. Namun, dibalik setiap kata-kata dan pertanyaannya ternyata dia memiliki maksud lain. Semua itu hanyalah sebagai pembuka pada inti yang ingin ia bicarakan.
“Bagaimana petualangan pertama kalian? Mengasyikan? Sepertinya Bapak tidak perlu membantu semalam,” sambung Pak Jamal.
Deg!!!
Hafni benar-benar dibuat kaget dengan pertanyaan itu.
Suasana di antara mereka berdua lengang seketika. Suara angin yang melintas terdengar kentara menyapa tubuh mereka. Amat jelas ketimbang deru napas mereka sendiri. Tak ada jawaban apa pun yang terlontar dari mulut pedas penuh kesombongan milik Hafni. Ia terbungkam seribu bahasa. Pikirnya habis dalam ketidaksampaian: dari mana Pak Jamal tahu soal petualangannya semalam?
Lantas suara langkah para siswa yang lalu-lalang mengalahkan bunyi angin. Mereka menuju arah mading, membuat kebisingan dengan obrolannya masing-masing. Kebisuan menerpa Hafni lumayan lama. Hafni tak bisa berkata apa-apa. Sedangkan Pak Jamal dengan bangganya menyunggingkan senyum kemenangan. Dia tahu, orang-orang yang dicarinya satu per satu bermunculan.
Mulutnya kian kaku. Beberapa kali mencoba berkata, namun tak bisa. Tak pernah ia dibuat sebisu ini. Bahkan soal Matematika tersulit pun tak pernah bisa membungkamnya. Matanya benar-benar terbelalak lebar. Sedikit demi sedikit dia menoleh ke arah guru cerdasnya itu. Dadanya yang berdegup kencang mengumbar banyak pertanyaan, siapa sebenarnya orang ini?
Sambil terus berusaha menciptakan perasaan lega, Hafni memberanikan diri untuk berkata, “sudah kukira Bapak akan tahu semuanya.” Walau tipis, dia masih mencoba tersenyum ujub.
“Tidak semuanya. Aku hanya tahu apa tujuanmu dan kapan kau akan bergerak setelah ini.” Pak Jamal menjawab dengan tenang.
“Dia memang monster!” batin Hafni.
“Kau pasti sedang berpikir bahwa aku monster, bukan?” tebak Pak Jamal sambil menyeringai.
“Bapak ini terlalu banyak sok tahu,” jawab Hafni dengan tatapan yang tak kalah sinis. Dia berusaha menangkis tekanan Pak Jamal. “Bukankah orang yang terlalu percaya diri dengan kebolehannya menebak hal-hal tersembunyi akan terjerumus bakatnya sendiri?” Hafni membalasnya dengan cerdas.
“Hahaha. Maaf maaf, Bapak hanya bercanda.” Pak Jamal mengusap kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Boleh juga, dia ternyata sangat berhati-hati,” ucap Pak Jamal dalam hatinya.
***