Bab 12 Gadis Manis
Dalam kekosongan bangunan lama sekolah, seorang siswi bermuka manis tengah menyendiri. Di tangannya ia membawa sebuah salinan buku. Entah buku apa itu. Mustahil jika buku pelajaran yang ia bawa. Sebab, ujian akhir telah selesai. Dia tak perlu menghafal sekeras itu lagi.
Wajahnya yang manis hampir menipu semua orang yang melewatinya. Bangunan lama memang seringkali dikunjungi para siswa walau aturan sekolah dengan gencar melarang mereka memasuki area tersebut. Ia membaca semua isi buku itu dengan anggun. Bibirnya yang sesekali terlihat seperti berkomat-kamit sangat lucu dan menggemaskan. Siapa yang tak terpesona dengan gadis manis kelas 10 itu?
Melihat seorang perempuan cantik tengah duduk sendirian, tiga orang siswa kelas 12 hendak mencoba menganggunya. Dua dari mereka duduk mengapit gadis itu. Tak memberi celah baginya untuk pergi. Sedangkan seorang lagi berdiri tepat di hadapannya. Senyumnya sangat menakutkan. Niat jahat terpancar amat jelas dari tatapannya.
Meski begitu, ia tak sedikit pun merasa terganggu, apalagi takut. Dia tetap santai membaca buku yang bertengger di pahanya. Sama sekali ia tak peduli dengan kehadiran tiga orang kakak kelasnya.
“Ekhem!” seorang yang berdiri di depannya berdeham.
Gadis itu melirik ketiga kakak kelasnya dengan tatapan dingin tak berperasaan. Tatapan itu mampu membekukan mereka bertiga. Akhirnya mereka sendiri yang merasa kikuk. Ketiganya dibuat kesal dengan ketidakacuhan gadis itu.
“Hey anak kecil!” bentak kakak kelasnya yang masih tetap berdiri.
Gadis itu sama sekali tak mempedulikannya. Dia tetap membaca bukunya tanpa merasa terganggu. Ketiga kakak kelasnya itu tak ubahnya ia anggap seperti serangga yang lewat. Sesekali mungkin dapat menggigitnya. Dan dia hanya perlu mengusir mereka ketika mereka mulai menggigit.
“Mungkin dia tuli, Bos?” ucap seseorang yang duduk di sebelah kirinya berkelakar. Sontak ketiganya tertawa.
“Hey kau anak kecil!” tak sabar, akhirnya laki-laki yang berdiri itu menarik kerah baju sang gadis. “Beri kami uang atau kau ….”
Dia terhenti. Kata-kata sesumbarnya dibungkam tanpa si gadis perlu menyumpal mulut laki-laki itu dengan benda. Tatapannya yang dingin cukup membuat dia terdiam tak berkutik. Kedua temannya hanya mampu melihat sang “Bos” dipecundangi adik kelasnya. Mereka ikut ketakutan.
“Jadi yang kau sebut anak kecil tadi itu aku?” tanya si gadis yang sama sekali tak berusaha melepaskan cengkraman di kerahnya.
“Si-siapa lagi hah!?” jawabnya ketakutan. Namun demi gengsi sebagai Bos, dia memberanikan diri untuk tetap menjawab.
“Lebih baik kalian pergi, atau tamatlah riwayat kalian sebelum lulus dari sekolah ini.” Gadis itu mantap mengusir mereka. Tangan kanannya menepis cengkraman dari kerahnya. Lantas balik mencengkram kerah anak laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. Dia mengangkatnya dengan mudah. “Bagaimana?”
“Ba-baik. Kami akan pergi,” jawab teman si Bos yang ngeri melihat kemampuan si gadis manis.
Tak menunggu lebih lama, ketiga anak itu berlari sekencang-kencangnya seperti sedang dikejar setan. Keringat dingin mengucur deras dari pori-pori kulit mereka.
“Siapa gadis itu!?” kata si Bos yang terlihat paling ketakutan.
“Da-dari bet nama di bajunya, namanya ‘Haura’ Bos!”
“Namanya cantik. Wajahnya juga cantik. Tapi sayang, gadis itu sangat mengerikan!” Timpal si Bos yang masih ketakutan.
***
Hari ini taman di belakang sekolah tidak seramai biasanya. Padahal saat ujian tiba, taman ini adalah salah satu tempat favorit para siswa untuk belajar dan membaca materi-materi yang telah lalu. Mereka biasa duduk di kursi permanen yang telah disediakan, atau menggelar tikar –yang juga sudah disediakan sekolah– di atas rumput setinggi dua sentimeter layaknya lapangan olahraga yang terawat.
Saking sepinya, di sana hanya ada Akmal, Kalila, dan jangan lupakan beberapa hewan kecil yang menjadi pengunjung rerumputan hijau taman sekolah. Sedangkan, mereka berdua yang tengah berbincang serius, sama sekali tak menyadari keberadaan hewan-hewan lucu di sekelilingnya.
“Kal, aku mohon jangan terlalu terbuka sama Hafni. Dia tidak tahu siapa kita sebenarnya. Bisa jadi masalah besar kalau Hafni sampai membongkar identitas kita!” Akmal berbicara tegas.
“Aku tahu. Aku tahu kalau Hafni sengaja ingin mengetahui tentang siapa kita. Bahkan aku sengaja menggiringnya agar dia sibuk dengan mencari tahu identitas kita yang sebenarnya. Bukankah dengan begitu kita bisa menyelidiki siapa yang telibat dalam kasus Ruangan Terkunci?” Kalila menjawab dengan tenang.
Mendengar jawaban Kalila, Akmal terdiam seribu bahasa. Dia sama sekali tidak berpikir sampai ke sana. Akmal yang biasanya lebih visioner dalam melangkah, kini kalah telak dengan alasan Kalila menjerumuskan dirinya dalam setiap jebakan yang dibuat Hafni. Siapa pun memang akan berpikir seperti Akmal, menjauhi jebakan-jebakan frontal yang jelas berada di hadapan kita. Tapi Kalila berbeda menanggapinya.
“Kita juga belum tahu kan siapa Hafni sebenarnya? Kenapa tidak kamu saja yang fokus pada kasus ini, dan aku balas semua jebakan yang dibuat Hafni? Bisa saja bukan, kasus ini berhubungan dengan tujuan kita yang sebenarnya?” Kalila kembali mencecar Akmal dengan pertanyaannya.
Akmal masih terdiam tanpa sedikit pun niat dalam hatinya untuk menjawab.
“Akhir-akhir ini kamu kehilangan ketenanganmu, Akmal. Ingat, kita di sini bukan untuk waktu yang lama. Ada sesuatu yang harus kita selesaikan. Lebih penting daripada sekadar menikmati kehidupan SMA yang jauh lebih ringan dari kehidupan nyata kita sebagai ag-” Akmal segera menutup mulut Kalila.
“Aku mengerti kalau soal itu, kamu tak perlu melanjutkannnya, Kalila.”
“Lalu?” Kalila bertanya tegas.
“Aku hanya ingin membayar semua yang telah ….”
“Akmal! Kalila!” panggil seseorang dari belakang, membuat Akmal menghentikan ucapannya.
***