Bab 13 Informan
Entah sejak kapan Pak Jamal ada di taman. Yang jelas, keduanya baru sadar saat gurunya itu memanggil nama mereka dengan suara yang sedikit berteriak. Padahal jarak mereka tak terpaut jauh.
Sambil melangkah santai, Pak Jamal menghampiri keduanya dengan senyumannya yang khas. Akmal malah berkeringat melihat senyuman itu. Seperti ada sebuah ancaman tidak langsung yang terpancar dari senyumannya. Sedangkan Kalila, dia dengan tenang membalas senyuman gurunya itu. Tidak ada secuil pun rasa takut dalam diri Kalila. Dia sendirilah yang paling menakutkan di sini.
Akmal berusaha menenangkan dirinya. Sebab, Pak Jamal bisa membaca pikiran orang lain. Bisa gawat kalau Akmal sendiri tidak bisa mengalihkan pikirannya. Dia kemudian membayangkan hal-hal lucu yang pernah ditontonnya dari media sosial. Juga beberapa kejailan yang pernah dia lakukan ketika masih menjadi seorang siswa SMP. Akmal berhasil, dia asyik sendiri dengan pikiran-pikiran tidak pentingnya.
Sekilas Kalila menatap mata Akmal. Dia memastikan kalau Akmal sudah mulai dapat menguasai dirinya. Ia seringkali merasa kesal dengan sifat Akmal yang selalu mencemaskan sesuatu dengan berlebihan. Ada kalanya sifat itu memang baik bagi sebuah persahabatan. Akan tetapi pada seorang agen seperti mereka, sifat gampang khawatir justru lebih sering membuat mereka masuk dan terjebak dalam sebuah masalah.
Kalila menggeser duduknya, memberi sedikit ruang, mempersilakan Pak Jamal untuk bergabung. Sementara Pak jamal malah lebih memilih duduk di antara mereka berdua. Terpaksa Akmal yang sedang asyik dengan khayalannya harus bergeser dua jengkal ke pinggir kursi. Untungnya, dia masih tetap tenang dan tidak memikirkan rahasia-rahasia penting lainnya.
“Aku memang tidak bisa membaca hal-hal yang tidak sedang kau pikirkan. Cerdas sekali pengalihanmu, Akmal.” Frontal, Pak Jamal langsung memujinya.
“Ah, saya hanya belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, Pak.” Akmal menjawab mantap, mengiyakan “tuduhan” yang dilayangkan padanya.
“Barusan aku bertemu Hafni di dekat mading sekolah,” ujar Pak Jamal, tiba-tiba membuka obrolan inti.
“Lalu?” sahut Kalila yang tak sabar menunggu kelanjutannya.
“Seperti biasa, aku melakukan hal yang biasa kulakukan,” jawab Pak Jamal spontan.
“Membaca pikiran lawan bicara, bukan?” Akmal menyahut tanpa sedikit pun memberi Pak Jamal celah untuk masuk ke dalam pikirannya.
“Ya, kau betul Akmal.” Pak Jamal sedikit terkekeh mendengar dugaan Akmal.
“Lantas, apa yang dia pikirkan sampai-sampai membawa Bapak kemari?” Akmal kembali bertanya kritis. Perkiraan yang tepat!
“Instingmu memang tajam,” pujinya pada Akmal.
Akmal tersenyum bangga.
“Dari awal dia memang tidak berniat menguak kasus ini. Justru kalianlah yang menjadi objek penelusurannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Yang jelas, aku sendiri masih belum tahu lebih jauh siapa kalian berdua dan Hafni sebenarnya. Jika kalian keberatan untuk menjawab, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa.” Pak Jamal tersenyum simpul, ada sedikit kebohongan yang terucap dari mulutnya.
Semua yang dikatakan Pak Jamal selalu tepat sasaran. Semua kalimatnya, tidak, setiap kata-katanya benar-benar membuat Akmal dan Kalila kepayahan. Mereka terombang-ambing dalam perasaan terkejut di dadanya. Entah itu menghunjam jantung, atau membuat ngilu ulu hati. Permainan retorikanya yang kritis selalu mendesak lawan bicaranya untuk berterus terang. Tidak ada seorang pun yang mampu menjaga rahasia jika dia sudah ikut campur.
Suasana semakin sepi, lengang tanpa ada satu pun mulut yang bersuara. Akmal dan Kalila memilih untuk tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan gurunya itu. Beribu-ribu rangkaian kata disusun terlebih dahulu dalam pikiran mereka. Sebisa mungkin jawaban yang dilontarkannya harus benar-benar matang. Bisa gawat kalau ada kesalahan walau hanya sebutir kerikil.
Orang ini berbeda, dari sisi mana pun dia tidak bisa diremehkan. Bahkan rencana Kalila yang frontal menjerumuskan diri dalam setiap jebakan tidak bisa dipakai dalam menghadapi Pak Jamal.
Sambil memberanikan diri, Kalila mencoba menjawab pertanyaan gurunya yang masih menunggu dengan gelagat santai seperti tidak terjadi apa-apa. Picik sekali orang ini. Di saat mereka berdua tengah berusaha menciptakan ketenangan dalam sanubarinya, ia malah memporakprandakannya dengan senyum ketenangan versinya sendiri.
“Pertanyaan ini memang berat untuk dijawab Pak. Maaf saya tidak bisa menjelaskan semuanya. Tapi tenang, setelah semuanya selesai, Bapak akan tahu siapa kami sebenarnya. Entahlah kalau Hafni, saya saja baru mengenalnya.” Pak Jamal menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Kalila dengan saksama.
Akmal menepuk dahinya. Secara tidak langsung, dengan pengakuan seperti itu, kalila malah membuka tabir penyamaran mereka kalau mereka berdua bukanlah anak SMA biasa seperti pada umumnya.
Pak Jamal menganguk-anggukan kepalanya, dia mengerti ke mana arah pembicaraan Kalila. Dalam pikirannya, dia tertawa. Tanpa dijelaskan lebih detail pun ia sudah tahu siapa mereka bertiga.
“Dengan jawabanmu yang seperti itu, kau sudah sedikit membuka celah tentang siapa sebenarnya kalian. Ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku. Dan kurasa hal itu memang sangat penting. Jika benar begitu, sebaiknya kalian simpan rahasia ini baik-baik.” Pak Jamal menepuk pundak Akmal dan Kalila bersamaan.
Tuh kan! Akmal mengeluh dalam hatinya.
Keduanya mengangguk, mengiyakan perintah Pak Jamal. Keringat dingin deras menyusuri leher mereka. Apalagi Akmal. Dia memang susah sekali menyembunyikan rasa cemasnya.
“Bisa saja seseorang yang sedang kalian cari itu adalah aku,” jelas Pak Jamal sambil melenggang pergi meninggalkan taman belakang sekolah, juga mereka berdua.
Bagaimana mungkin dia tahu kami sedang mencari seseorang di sini! Teriak Akmal dalam batinnya.
***