Bab 7 . Oh My God!
Madeline pun terlelap. Ya, tubuh dan otaknya kelelahan, belum lagi masa depan yang akan dilaluinya tidak jelas. Namun, baru terlelap sebentar, kesadarannya terpanggil kembali karena keributan yang sayup-sayup terdengar.
Merenggangkan tubuhnya membuka mata, seketika Madeline duduk tegak dan menatap ke asal suara.
"Oh My God!" pekik Madeline.
Bagaimana tidak, saat ini Madeline menatap seorang wanita meliuk-liuk seksi di hadapan Maximillian Qin dan itu membuatnya mual.
Ini tidak dapat diterima. Madeline melompat berdiri dan berlari ke arah dapur. Mengambil sapu dengan gagang kayu dan berjalan ke arah dua manusia yang tidak bertingkah sesuai dengan sebutan itu.
"Hei! Kalian, masuk ke dalam kamar!" ujar Madeline garang. Satu tangan memegang sapu dan tangan satu lagi berkacak di pinggang.
"Hei, perempuan! Untuk apa sapu itu?" tanya Max dingin, dengan seorang wanita bergelayut manja pada tubuhnya. Wanita yang bahkan, namanya tidak diingat oleh Max. Untuk apa repot mengingat nama mereka yang hanya akan berhubungan dengannya satu malam saja? Itu yang dipikirkan oleh Max.
"Hei, kamu tidak mengatakan kalau kita akan bermain bertiga. Tapi..., tidak masalah. Aku menyukai ide itu!" ujar wanita mabuk itu sambil tertawa senang.
Madeline menelan ludah. Dirinya tidak bisa tinggal di kamar kotor itu. Jika mereka hendak melakukan seks, maka itu harus dilakukan di kamar. Tidak di ruang tamu ini, karena ini akan menjadi area di mana Madeline akan menghabiskan waktunya.
"Aku tidak akan memukulmu dengan ini!" ujar Madeline sambil mengangkat sapu di tangannya itu.
"Namun, jika kalian tidak masuk ke kamar dan mengunci pintu, maka sapu ini akan mendekatimu dan akan menghilangkan semua keberuntunganmu!" ujar Madeline lantang.
Max menaikkan sebelah alisnya dan menatap geli ke arah wanita itu yang dipanggilnya dengan sebutan perempuan. Lagipula, siapa yang bersedia menjadi tontonan. Perempuan itu terlalu berlebihan dan itu cukup menggelikan.
Tidak menjawab, Max langsung membopong wanita mabuk itu dan berjalan masuk ke dalam kamar. Tentu wanita yang berada dalam gendongannya memekik gembira. Tidak lupa, Max menutup pintu dengan tendangan kakinya, cukup kuat.
BAMMM!
Pintu terbanting cukup kuat dan menggetarkan seisi ruangan ini. Madeline akhirnya dapat bernapas lega dan melempar sapu itu ke lantai. Berjalan ke arah dapur, membuka kulkas dan membuka sebotol air mineral. Meneguknya banyak, untuk meredakan emosinya.
Suara-suara yang terdengar olehnya, jelas menunjukkan apa yang sedang terjadi di sana. Apakah pria itu tidak tahu malu? Apakah pria itu sama sekali tidak bermoral? batin Madeline kesal. Rasa kantuknya sudah menguap dan dirinya kembali duduk di atas selimut di depan jendela, menatap ke arah sang rembulan yang bersinar begitu terang. Suasana hatinya buruk, rasa bersyukur tidak berakhir menjadi tuan wisma langsung pupus. Buruk, sungguh buruk apa yang harus dilaluinya.
Madeline berbaring di atas selimut tipis itu dan menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Tidak tahu berapa lama dirinya berusaha mengabaikan suara itu, pada akhirnya rasa lelah mengambil alih dan Madeline kembali terlelap.
Di dalam kamar tidur.
Maximillian mengenakan kemeja dan celananya kembali, kancing dipasang asal. Wanita itu telungkup dan terlelap di atas ranjang, telanjang. Max melemparkan selembar cek ke atas ranjang dan melangkah pergi. Seperti inilah hidupnya, menjalankan bisnis dan memuaskan kebutuhan fisiknya. Namun, kepuasan yang diterimanya semakin berkurang dan tidak lagi istimewa. Bahkan, dirinya mulai malas melakukan hal ini. Namun, reputasi buruknya harus tetap dipupuk agar tetap tumbuh subur.
Hari ini, dua kali dirinya memuaskan hasratnya. Ya, hanya dua kali bahkan kadang hanya satu kali. Semua wanita sama dan tidak ada harganya. Karena, semua begitu murah dan memuakkan.
Senyum sinis tersungging di bibir tipisnya dan Max mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya. Menghisap dalam dan menghembuskan keluar asap yang lembut. Dirinya tidak akan menikah, apalagi memiliki keturunan. Ya, inilah hukuman yang akan diberikan kepada sang ayah. Max tidak akan memberikan cucu. Jika, sang ayah memaksa, maka Max akan meminta sang ayah menikah lagi dan membuat anak.
Walaupun Max yakin, di luar sana banyak anak haram milik ayahnya yang berkeliaran. Max tahu, hanya dirinya keturunan yang diakui keluarga besar Qin. Mungkin, semua ini akan diwariskan pada anak sepupunya nanti dan dirinya tidak pernah peduli.
Dengan rokok terselip di antara bibir tipisnya, Max melangkah meninggalkan kamar. Saat tiba di luar kamar, langkah kakinya terhenti, mencoba menemukan perempuan itu. Max melihat ke sofa dan tidak menemukannya, lalu melangkah ke dapur, sama, perempuan itu tidak ada. Namun, Max yakin tidak mungkin dapat keluar dari ruangan ini tanpa dicegat oleh para penjaga.
Max kembali ke ruang tamu dan mengedarkan pandangan. Tatapan matanya terjatuh di dekat jendela besar ruangan ini. Max menatap dari jauh dan melihat bagaimana perempuan itu, yang sungguh berani atau mungkin bodoh. Namun, ada sesuatu yang menarik mengenai perempuan itu. Max tidak yakin apa itu, mungkin karena kondisinya cukup malang. Ya, Max telah memeriksa latar belakang Madeline Lu. Kehidupannya sebagai menantu keluarga Kang cukup buruk, tidak dihargai. Mungkin karena itulah, Max menaruh perhatiannya pada perempuan itu. Ya, mereka sama, sama-sama diperlakukan buruk dan tidak dihargai.
Namun perempuan itu, tidak tahu diri dan mulutnya sangat tajam, terlalu lancang. Max akan memberi hukuman karena kelancangannya itu. Hukuman tetap berada di sampingnya. Tidak ada yang tahan melayani dirinya, setelah kepergian Bibi Luo, pengasuhnya. Setelah itu, tidak ada yang tahan, sampai dirinya bertemu dengan Jay 5 tahun lalu. Ya, pria itu satu-satunya orang yang mengikutinya paling lama.
Sambil menghisap rokoknya, Max berbalik pergi meninggalkan ruangan ini, ruang bermainnya.
***
Keesokan paginya, sinar mentari yang terik membangunkan Madeline.
Madeline merenggangkan tubuhnya dan duduk. Tubuhnya sakit karena tidur di lantai, saat kesadarannya telah kembali. Pikirannya kembali melayang pada apa yang dialaminya dan itu membuat Madeline menghela napas berat.
Dirinya berdiri dan melipat selimut itu. Tidak yakin, apakah pasangan mesum itu sudah meninggalkan kamar atau belum. Madeline tidak mau mencari tahu dan berjalan ke kamar mandi di dekat dapur, mandi.
Tepat saat Madeline keluar dari kamar mandi, saat itu juga wanita mabuk kemarin keluar dari kamar dengan tubuhnya terbalut selimut.
"Max..., Maximillian!" panggil wanita itu dengan suara serak.
Madeline menelan ludah dan menghampiri wanita itu. Wanita muda dan sangat cantik.
"Di mana Max?" tanya wanita itu gusar.
"Entahlah!" jawab Madeline jujur.
"Kau..., siapa kamu?" tanya wanita itu kembali dan menatap tajam pada Madeline dengan riasan luntur di wajahnya.
"Apa?" tanya Madeline.
Belum sempat mencerna maksud wanita itu, rambutnya sudah ditarik kuat oleh wanita itu dan membuat Madeline terduduk di lantai.
"Panggil Max! PANGGIL MAX!" teriak wanita itu.
"Arghhh!" teriak Madeline sambil berusaha melepaskan tarikan di rambutnya.
"Aku tidak tahu di mana pria itu! Aku hanya pembantu!" teriak Madeline.
Perkataan Madeline, membuat wanita itu melepaskan rambutnya dan mengambil selimut yang terlepas, lalu membalut tubuh telanjangnya kembali.
Ha ha ha!
Wanita itu tertawa sinis, penuh ejekan.
"Apa yang aku pikirkan! Benar kamu pembantu! Max tidak mungkin memiliki kekasih dengan penampilan seperti itu!" ujar wanita itu sambil merapikan rambut merahnya yang kusut.
Hinaan lagi dan itu membuat Madeline murka.
"Lalu, apakah dengan penampilan seperti itu, kamu dapat menjadi kekasihnya?" tanya Madeline sambil menunjukan ke tubuh wanita itu.
"KAU–"
"Apa? Apa kamu yakin pantas menyandang status kekasih? Aku yakin tidak, karena kamu bahkan tidak dapat mencium bibirnya!" balas Madeline, memotong ucapan wanita itu.
Tangan wanita itu melayang tinggi, hendak mendaratkan tamparan. Madeline menangkap tangan wanita itu dan menariknya keras, ya menarik dan menyeret wanita itu ke arah pintu depan ruangan ini.