Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 . Preman

Madeline tenggelam dalam lautan dokumen dan tulisannya. Setelah semua selesai, Madeline mulai mengetik rangkumannya ke dalam laptop. Saat semua selesai, langit sudah gelap dan Madeline terkejut saat melihat waktu yang ternyata sudah pukul 10 malam. Dirinya, melupakan makan malam dan itu tidak bagus.

Dokumen bertebaran di lantai dan Madeline harus melompat untuk melewati lautan kertas itu. Pergi ke dapur dan menyeduh teh. Madeline bersyukur, Jay tidak datang mengganggunya. Lebih tepatnya, bersyukur karena Max tidak memanggilnya.

Madeline memasukkan satu sendok gula ke dalam tehnya dan mengambil buah, lalu memakannya. Hmmm, tinggal diperiksa ulang sekali lagi, maka apa yang dikerjakannya sudah dapat dikirim ke alamat surel pria itu.

"MADELINE!" panggil Jay yang berlari masuk dalam ruangan.

Teriakan Jay membuat Madeline terkejut, beruntung cangkirnya tidak terlepas dari pegangannya.

"Ada apa?" tanya Madeline yang berlari keluar dari dapur.

"Kode merah! CEPAT!" teriak Jay langsung menarik tangan Madeline dan mereka berlari keluar.

Kode merah? Apa itu? Namun, Madeline tidak memiliki kesempatan untuk bertanya dan dirinya berusaha menyamakan langkah kaki Jay yang ternyata cukup lebar.

Mereka menggunakan tangga darurat. Ada apa? Apakah sesuatu yang buruk terjadi? Apakah Maximillian Qin terluka? Bukankah jika terluka seharusnya mencari dokter, bukan dirinya. Mereka berlari turun 3 lantai dan Jay membuka pintu dengan kuat, mereka lanjut berlari.

Jantung Madeline berdebar kencang, memikirkan apa yang sedang terjadi. Apakah ada orang yang terluka? Atau? Pikirannya melayang jauh akan kemungkinan terburuk.

Jay berhenti dan dengan ngos-ngosan pria itu menunjuk ke arah depan dan berkata, "T-Tuan ingin kamu menyelesaikan itu!"

Madeline mengikuti arah yang ditunjuk Jay dan mengangkat kedua alisnya tidak percaya. Saat ini mereka berdiri di tengah-tengah lobi lantai ini. Maximillian berdiri di hadapannya, cukup jauh. Pria itu berdiri bersandar di dinding granit yang indah. Seperti biasa, penampilan pria itu begitu memukau dengan setelan mahal, tetapi itu tidak membuat Madeline kagum.

Beberapa pengawal berdiri di sana mengelilingi tempat kejadian perkara. Anehnya, lantai ini sepi tidak terlihat orang-orang yang berlalu lalang.

Apa yang sedang terjadi adalah dua wanita sedang berkelahi, berteriak dan saling menjambak. Pakaian mereka yang minim, membuat tubuh mereka terlihat jelas. Itu membuat mata semua pria, ya termasuk Max terfokus di sana. Kembali, Madeline merasa mual.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Madeline datar.

"Itu! Itu! Minta mereka berhenti!" ujar Jay.

"Apa para pengawal itu tidak bisa melakukannya?" tanya Madeline sama datarnya.

"Tentu bisa! Tapi, Tuan memerintahkan agar dirimu yang melakukannya!" jawab Jay jujur.

Ya, ini termasuk dalam pekerjaan kotornya. Namun, jika dirinya masuk ke tengah-tengah perkelahian itu, maka mungkin mereka akan kembali berkelahi dan bertambah satu orang. Madeline yakin itu yang diinginkan Max.

Madeline menghela napas dan melihat ke sekeliling ruangan. Tatapannya tertuju pada meja bulat di sudut ruangan itu. Di atas meja bulat batu alam itu ada sebuah vas kristal yang indah dengan bunga mawar merah di atasnya.

Madeline berjalan ke sana dan mengeluarkan bunga-bunga itu, meletakkannya ke atas meja. Kedua tangannya mengangkat vas kristal itu yang masih berisi air, ternyata cukup berat.

Madeline mulai menghitung sudut di mana dirinya dapat memecahkan vas ini tanpa melukai orang lain. Ah, itu spot yang tepat, batin Madeline.

Lalu, Madeline berjalan ke arah itu.

"Minggir!" perintah Madeline kepada pengawal yang berdiri di sana.

Tentu apa yang dilakukan Madeline tidak luput dari tatapan Max. Awalnya, Max mengira perempuan itu akan menuangkan air vas itu kepada kedua wanita yang sedang berkelahi. Sepertinya itu ide yang cukup bagus, batin Max.

Namun, apa yang kemudian dilakukannya Madeline membuat mereka semua terdiam.

PRANGGG!

Ya, Madeline menjatuhkan vas kristal itu ke lantai dan membuat suara pecahan yang memekakkan telinga. Berhasil, kedua wanita itu berhenti dan menatap ke arah Madeline.

Beruntung, Madeline mengenakan celana panjang jeans, jadi tidak ada pecahan kaca yang mengenainya. Lalu, Madeline jongkok dan mengambil satu pecahan vas yang paling besar, berdiri, lalu berjalan ke arah kedua wanita itu.

Mengacungkan pecahan vas itu tepat di depan wajah kedua wanita itu.

"Pria itu Maximillian Qin, dengan cap playboy ulung di dahinya. Jadi, mengapa kalian berkelahi untuk pria yang tidak akan memilih satu di antara kalian berdua? Ambil uangnya, ya minta yang banyak. Setelah itu, temukan pria baik-baik yang layak dinikahi!" ujar Madeline. Mengapa dirinya bertingkah seperti ibu-ibu? batinnya kesal.

Kedua wanita itu menelan ludah dan mundur satu langkah, menatap ngeri ke arah pecahan vas yang ada digenggaman Madeline. Ya, Madeline menilai dirinya seperti seorang ibu, tetapi pihak lain melihat dirinya seperti seorang preman.

"Jadi, ini selesai? Kalian akan berdamai dan berjanji tidak akan mengulang hal ini lagi?" tanya Madeline masih mengacungkan pecahan vas itu.

Kedua wanita itu mengangguk patuh dan merapikan pakaian mereka yang robek.

"Hei! Kalian berdua berikan jas kalian pada wanita-wanita itu! Pakaian mereka robek!" perintah Madeline kepada dua pengawal yang berdiri di sampingnya.

Patuh, kedua pengawal itu melepaskan jas mereka dan menyerahkan kepada wanita-wanita itu.

Madeline melemparkan pecahan vas yang dipegangnya ke lantai dan menatap Maximillian, ya, pria itu memang sudah menatapnya.

"Berikan uang untuk wanita-wanita itu, mereka perlu berobat!" ujar Madeline lantang.

Max mengangkat tangannya memberikan kode kepada Jay, untuk mematuhi instruksi Madeline. Jay berlari ke arah dua wanita itu dan menyerahkan cek kepada mereka masing-masing.

"Pulanglah!" perintah Madeline dan kedua wanita itu patuh, berlari kecil ke arah lift dan buru-buru menekan tombolnya.

Setelah kedua wanita itu menghilang ke dalam lift, Madeline menghela napas lelah. Menatap kekacauan yang dibuatnya, dirinya yakin membersihkan kekacauan ini adalah tugasnya.

Max berjalan ke arah Madeline dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Apakah kamu seorang preman?" tanya Max santai, saat berada di hadapan Madeline.

"Apakah kamu begitu senang melihat wanita-wanita itu berkelahi karena dirimu?" tanya Madeline.

"Tidak bisakah kamu menjawab saat ditanya?" tanya Max.

"Tidak, aku bukan preman! Hanya saja, itu berhasil dan mereka langsung patuh!" jawab Madeline.

Max tidak tahu harus berkata apa, baru kali ini dirinya di hadapkan dengan perempuan yang membuatnya terpana. Bukan karena kecantikan, tetapi karena sikapnya yang tidak biasa.

"Bersihkan kekacauan itu!" ujar Max dan berjalan pergi, diikuti oleh barisan pengawal.

Kembali Madeline mendesah dan berbalik menatap Jay, "Di mana peralatan kebersihan?"

Ya, begitulah Madeline membersihkan kekacauan yang dibuatnya. Beruntung Jay membantunya.

***

Keesokan paginya, Madeline baru sempat mengirim rangkuman yang dibuatnya ke surel Maximillian Qin.

Setelah itu, Madeline ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dirinya tidak tahu apakah Jay akan datang atau tidak, jadi Madeline menyiapkan lebih banyak.

Sarapan sehat selesai dan di tata di atas meja dan tepat saat itu pintu dibuka. Apakah itu Jay? Bukan, yang datang adalah Hansen Qin.

"Selamat pagi!" sapa Hans ceria.

"Selamat pagi!" balas Madeline datar.

"Jay belum datang," ujar Madeline santai dan sambil mengetik sesuatu di laptop baru itu.

"Aku datang mencarimu," ujar Hans dan menarik kursi di hadapan Madeline. Tanpa permisi, Hans memakan sarapan yang Madeline siapkan untuk Jay.

"Hei, itu bagian Jay!" protes Madeline.

"Jay tidak akan keberatan," jawab Hans. Lalu, pria itu melipat kedua tangannya di atas meja. Mencondongkan tubuhnya dan menatap tajam ke arah Madeline.

"Ada apa?" tanya Madeline malas dan mendorong laptopnya ke samping.

"Kamu hebat!" puji Hans

"Apa yang kamu lakukan kemarin malam sungguh mengagumkan. Kamu memecahkan vas antik milik Nyonya besar keluarga Qin! Milik nenek kami!" ujar Hans.

Uhuk uhuk uhuk!

Madeline terbatuk, ya dirinya sedang meneguk teh saat Hans berkata seperti itu.

"Apakah sangat mahal?" tanya Madeline was-was.

Hans tersenyum lebar dan berkata, "Jangan khawatir. Jika nenek marah, maka aku akan membantumu!"

"Hei, aku serius!" gerutu Madeline.

"Aku juga serius! Vas itu mahal dan kesayangan nenek, jadi jika nenek marah, aku akan membelamu!" jawab Hans.

"Mencurigakan! Mengapa kamu bersikap baik terhadapku?" tanya Madeline. Dirinya penuh curiga, wajar saja setelah apa yang dialaminya, Madeline menjadi lebih sensitif.

"Bukankah sudah aku bilang, aku menyukaimu!" jawab Hans santai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel