bab 3 Hukuman untuk Jenny
Keesokan paginya, suasana di vila keluarga Wijaya tampak tenang, meski ketegangan masih terasa di antara mereka. Di ruang makan yang mewah dengan meja panjang yang penuh dengan berbagai hidangan sarapan, Jenny duduk di salah satu ujung meja, mengaduk-aduk bubur oatnya tanpa semangat. Ayahnya, Leon, duduk di ujung lain dengan wajah serius, sementara Alya, ibunya, duduk di sampingnya, terlihat cemas dan khawatir.
Setelah beberapa menit dalam keheningan yang canggung, Leon meletakkan sendoknya dan menatap Jenny dengan pandangan tegas. "Jenny, kita perlu bicara."
Jenny mengangkat wajahnya, merasa sedikit gugup. "Apa lagi, Dad?" tanyanya dengan nada yang masih terdengar kesal.
Leon menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Setelah memikirkan semuanya dengan matang, aku dan ibumu memutuskan bahwa ada hal yang harus berubah. Gaya hidupmu yang berfoya-foya dan tidak bertanggung jawab tidak bisa terus berlanjut seperti ini."
Jenny mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Leon melanjutkan dengan suara tenang tapi tegas. "Kami akan mencabut semua fasilitas yang kamu nikmati selama ini. Kartu kreditmu akan kami blokir, mobilmu akan ditarik, dan kamu tidak akan lagi mendapatkan uang saku bulanan."
Mendengar itu, Jenny merasakan gelombang kemarahan dan ketidakpercayaan. "Kalian tidak bisa melakukan itu! Aku butuh semua itu untuk hidup!"
Leon menatap putrinya dengan tatapan yang penuh keteguhan. "Justru itulah intinya, Jenny. Kamu harus belajar untuk hidup tanpa bergantung pada semua kemewahan itu. Kamu perlu belajar tentang tanggung jawab dan kemandirian."
Jenny berdiri dengan marah, nyaris membalikkan kursinya. "Ini tidak adil! Kalian hanya ingin menghukum aku karena aku tidak sesuai dengan harapan kalian!"
Alya, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan suara lembut namun tegas. "Jenny, sayang, kami melakukan ini bukan karena kami tidak mencintaimu, tapi karena kami sangat mencintaimu. Kami ingin kamu tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Ini untuk kebaikanmu sendiri."
Jenny memutar bola matanya, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Jadi, apa yang kalian rencanakan? Membiarkan aku hidup di jalanan?"
Leon menggeleng. "Tidak, kami tidak akan sekejam itu. Kami telah mengatur agar kamu tinggal sementara di sebuah kampung di luar kota. Di sana, kamu akan belajar tentang kehidupan yang sebenarnya, jauh dari semua kemewahan yang selama ini kamu nikmati."
Jenny membelalakkan mata, terkejut dengan keputusan tersebut. "Kampung? Kalian ingin aku tinggal di kampung?"
Leon mengangguk. "Ya, di sana kamu akan tinggal dengan keluarga sederhana yang kami kenal. Mereka akan membantumu memahami nilai kerja keras, kesederhanaan, dan tanggung jawab."
Jenny merasa dunianya runtuh. "Kalian benar-benar serius dengan ini?"
Alya menatap Jenny dengan mata penuh kasih. "Ini tidak akan selamanya, Jenny. Ini hanya sementara, sampai kamu bisa menunjukkan bahwa kamu bisa hidup dengan bertanggung jawab dan mandiri. Kami percaya kamu bisa melakukannya."
Dengan hati yang bergejolak antara kemarahan, kekecewaan, dan sedikit rasa takut, Jenny berbalik dan berlari ke kamarnya. Ia merasa dikhianati oleh orang tuanya sendiri, tidak percaya bahwa mereka bisa mengambil langkah sejauh itu.
Di kamarnya, Jenny membanting pintu dan melempar dirinya ke tempat tidur, menangis dengan perasaan marah dan bingung. Ia merasa dihukum atas sesuatu yang ia anggap sebagai haknya, kebebasan untuk menikmati hidup. Tetapi di lubuk hatinya yang terdalam, ada sedikit suara yang mengatakan bahwa mungkin ini adalah kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa ia bisa bertanggung jawab.
Beberapa jam kemudian, dengan koper yang sudah dikemas dengan pakaian dan barang-barang secukupnya, Jenny turun ke ruang tamu. Mobil sudah siap di depan, dengan sopir keluarga yang akan mengantarnya ke kampung tersebut. Leon dan Alya berdiri di pintu, menatap putri mereka dengan campuran perasaan antara kekhawatiran dan harapan.
Leon mendekati Jenny dan memeluknya dengan hangat. "Kami melakukan ini demi kebaikanmu, Jenny. Percayalah, ini bukan untuk menghukummu, tapi untuk membantumu menjadi pribadi yang lebih baik."
Jenny tidak bisa menahan air mata yang mengalir di pipinya. "Aku harap kalian benar, Dad. Aku harap kalian benar."
Alya juga memeluk putrinya dengan erat. "Kami akan selalu ada di sini untukmu, sayang. Tetaplah kuat dan ingat bahwa kami mencintaimu."
Dengan hati yang masih penuh kekesalan namun juga sedikit rasa haru, Jenny masuk ke dalam mobil. Ketika mobil mulai bergerak meninggalkan vila megah keluarganya, Jenny melihat ke belakang, melihat orang tuanya berdiri di depan pintu, berharap bahwa perjalanan ini akan membawa perubahan positif dalam hidupnya.
Perjalanan menuju kampung itu adalah awal dari babak baru dalam hidup Jenny, sebuah perjalanan yang akan menguji batas-batasnya dan mengajarinya tentang nilai-nilai kehidupan yang selama ini mungkin diabaikannya.
Mobil melaju pelan meninggalkan vila megah keluarga Wijaya, membawa Jenny menuju kehidupan yang sama sekali berbeda dari yang pernah ia kenal. Di dalam mobil, Jenny duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, menatap keluar jendela dengan mata yang berkaca-kaca. Suasana hati yang kelam dan perasaan sedih mendalam menyelimuti dirinya sepanjang perjalanan itu.
Suara deru mesin mobil dan pemandangan yang berganti-ganti di luar jendela terasa seperti latar belakang yang jauh, tidak relevan dengan badai emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Perasaan ditinggalkan dan tidak dipahami oleh orang tuanya membuat Jenny merasa terpuruk. Ia menekan bibirnya, berusaha menahan air mata yang terus menggenang di sudut matanya.
"Aku tidak percaya mereka benar-benar melakukan ini padaku," gumam Jenny pelan pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin mobil.
Sopir, yang sudah bekerja dengan keluarga Wijaya selama bertahun-tahun, melirik Jenny melalui kaca spion dengan rasa simpati. Namun, ia tahu lebih baik untuk tidak mengganggu gadis itu dalam momen yang penuh dengan perasaan seperti ini.
Setelah beberapa saat, pemandangan perkotaan mulai berubah menjadi pedesaan yang lebih hijau dan tenang. Jalan-jalan besar yang ramai berganti menjadi jalan-jalan kecil yang sepi, dikelilingi oleh sawah dan perbukitan. Udara terasa lebih segar, tetapi Jenny hampir tidak menyadarinya. Pikirannya dipenuhi oleh kenangan tentang kehidupan yang akan ditinggalkannya, serta ketidakpastian tentang kehidupan yang akan dihadapinya.
"Apa aku benar-benar bisa melakukan ini?" pikir Jenny. "Bagaimana aku bisa bertahan di tempat yang tidak pernah kukenal, tanpa semua fasilitas yang biasa kumiliki?"
Perasaan takut dan cemas menyelimuti hatinya, tetapi di sisi lain, ada juga sedikit rasa penasaran. Bagaimana kehidupan di kampung itu? Apa yang akan dia pelajari di sana? Meskipun marah dan kecewa, di lubuk hatinya, Jenny menyadari bahwa mungkin ada kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru tentang dirinya sendiri.
Beberapa jam kemudian, mobil memasuki sebuah desa kecil yang tenang. Rumah-rumah sederhana berdiri di antara ladang-ladang hijau, dan penduduk desa yang ramah melambaikan tangan ketika mobil melewati mereka. Jenny memperhatikan pemandangan itu dengan campuran perasaan asing dan kagum.
"Ini sangat berbeda dari apa yang aku bayangkan," pikir Jenny, merasa sedikit terkejut dengan kesederhanaan dan kedamaian tempat itu.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kayu yang sederhana namun bersih dan terawat. Di depan rumah, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat berdiri menunggu. Sopir keluar dan membantu Jenny dengan barang-barangnya, sementara wanita itu mendekat.
"Selamat datang, Jenny," sapa wanita itu dengan suara lembut. "Aku Bu Sari. Kami sudah menunggu kedatanganmu."
Jenny mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih berat. "Terima kasih, Bu Sari," jawabnya pelan.
Setelah berpamitan dengan sopir, Jenny mengikuti Bu Sari masuk ke dalam rumah. Interior rumah itu sederhana namun nyaman, dengan perabotan kayu dan kain tenun yang menghiasi setiap sudutnya. Jenny merasa sedikit terhibur oleh kehangatan tempat itu, meskipun perasaan sedih masih mendominasi hatinya.
Bu Sari menunjukkan kamar yang akan menjadi tempat tinggal Jenny selama di desa itu. Kamar itu kecil, dengan sebuah ranjang sederhana, meja belajar, dan lemari pakaian. Sebuah jendela besar di sebelah ranjang memberikan pemandangan langsung ke ladang hijau di belakang rumah.
"Ini kamarmu, Jenny. Semoga kamu merasa nyaman di sini. Jika ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk memberi tahu kami," kata Bu Sari dengan senyum hangat.
Jenny meletakkan kopernya di lantai dan duduk di tepi ranjang. Ia merasa sedikit bingung, tidak tahu harus berkata apa. "Terima kasih, Bu Sari. Saya akan mencoba menyesuaikan diri."
Bu Sari menepuk bahu Jenny dengan lembut. "Kami di sini untuk membantumu. Kamu akan baik-baik saja."
Setelah Bu Sari meninggalkan kamar, Jenny duduk sendirian, menatap koper dan barang-barangnya. Perasaan kesepian dan kesedihan kembali menyerangnya, membuatnya merasa lelah dan putus asa. Namun, di dalam dirinya, ada juga sedikit harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan sesuatu yang berharga dari pengalaman ini.
Dengan berat hati, Jenny membuka kopernya dan mulai menata barang-barangnya di kamar barunya. Setiap benda yang ia keluarkan mengingatkannya pada kehidupannya yang dulu, tetapi ia mencoba untuk tidak terlalu terikat pada kenangan itu.
"Ini adalah awal yang baru," pikirnya, mencoba menyemangati dirinya sendiri. "Aku harus menghadapi ini dan membuktikan bahwa aku bisa."
Malam itu, Jenny berbaring di ranjangnya, memandangi langit-langit kamar yang sederhana. Suara jangkrik dan angin yang berhembus lembut di luar jendela memberikan perasaan tenang yang asing baginya. Dengan hati yang masih berat namun bersemangat untuk mencoba, Jenny memejamkan mata, berharap bahwa hari-hari mendatang akan memberinya kekuatan dan pengertian yang baru.