Bab 4 Petani Tampan
Pagi kedua Jenny di Kampung Kencana Indah dimulai dengan perasaan enggan yang masih menggelayut. Ia masih merasa kesal dan tidak percaya bahwa orang tuanya benar-benar mengirimnya ke sini. Meskipun hari pertama berjalan cukup lancar, Jenny masih merasakan beban emosi yang berat. Namun, ia tahu bahwa mengeluh tidak akan membantu, jadi dengan perasaan terpaksa, ia bersiap untuk hari itu.
Setelah sarapan, Bu Sari mengajak Jenny ke dapur. "Jenny, hari ini kita akan membuat kue untuk acara pasar mingguan. Aku butuh bantuanmu untuk menyiapkan bahan-bahan dan memanggangnya," kata Bu Sari dengan senyum lembut.
Jenny mengangguk tanpa semangat. "Baik, Bu Sari. Apa yang harus saya lakukan?"
Bu Sari mulai menjelaskan langkah-langkahnya, memberikan tugas-tugas sederhana kepada Jenny. Meskipun enggan, Jenny mengikuti instruksi dengan patuh. Ia mengocok adonan, menakar bahan-bahan, dan membantu mengawasi oven. Setiap kali Bu Sari memuji hasil kerjanya, Jenny hanya membalas dengan senyum tipis, masih merasa tidak bersemangat.
Saat mereka sedang bekerja, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahunan masuk ke dapur. Ia tinggi, dengan rambut hitam tebal dan senyum ramah yang mengingatkan Jenny pada Bu Sari. "Bu, saya sudah selesai membersihkan kandang," katanya.
"Oh, Raffi, kenalkan ini Jenny. Dia akan tinggal bersama kita untuk sementara waktu," kata Bu Sari memperkenalkan.
Raffi mengulurkan tangan dengan ramah. "Hai, Jenny. Senang bertemu denganmu."
Jenny menjabat tangannya dengan lemah. "Hai, Raffi."
Raffi tersenyum, tampak tidak terpengaruh oleh sikap dingin Jenny. "Jadi, kamu membantu ibu membuat kue? Semoga kamu suka di sini."
Jenny hanya mengangguk tanpa kata. Raffi sepertinya mengerti dan tidak memaksa lebih jauh. Ia kemudian keluar lagi untuk melanjutkan pekerjaannya di luar.
Setelah beberapa jam bekerja di dapur, Jenny merasa pegal dan lelah. Namun, ketika ia melihat deretan kue yang sudah matang dan wangi yang menguar di dapur, ia merasa sedikit bangga meskipun tidak mau mengakuinya. Bu Sari tersenyum puas melihat hasil kerja mereka.
"Kerja bagus, Jenny. Kamu cepat belajar," kata Bu Sari sambil menyeka tangannya dengan lap.
Jenny hanya mengangguk, merasa lelah tapi juga sedikit tersentuh oleh pujian itu. "Terima kasih, Bu Sari."
Setelah selesai di dapur, Bu Sari memberi tugas baru kepada Jenny, kali ini di kebun. Mereka harus menyiangi gulma dan menyirami tanaman. Jenny melakukannya dengan terpaksa, mengikuti semua instruksi Bu Sari tanpa banyak bicara. Ia merasa tugas-tugas ini monoton dan melelahkan, jauh berbeda dari kehidupan glamor yang biasa ia jalani.
Saat Jenny sedang menyiram tanaman, Raffi datang lagi, kali ini dengan membawa seember air. "Butuh bantuan, Jenny?" tanyanya dengan senyum hangat.
Jenny mendesah, merasa lelah dan sedikit frustrasi. "Aku baik-baik saja, terima kasih."
Raffi memperhatikan Jenny dengan penuh pengertian. "Aku tahu ini mungkin sulit bagimu. Pindah ke tempat yang sangat berbeda dari yang biasa kamu kenal. Tapi percayalah, ada banyak hal yang bisa kamu pelajari di sini."
Jenny menatap Raffi, merasa sedikit terhibur oleh sikapnya yang ramah dan pengertian. "Mungkin. Tapi ini semua masih sangat baru dan berat bagiku."
Raffi mengangguk. "Aku mengerti. Jika kamu butuh bantuan atau hanya ingin bicara, aku ada di sini."
Jenny hanya mengangguk sebagai tanda terima kasih, meskipun dalam hatinya masih ada rasa ketidakpastian dan kecemasan.
Hari itu berlanjut dengan berbagai tugas di kebun dan ladang. Setiap kali Bu Sari memberi perintah, Jenny mengikuti dengan perasaan terpaksa, berusaha menahan keluhan yang ingin keluar dari bibirnya. Ia merasa seperti berada dalam mimpi buruk yang panjang, di mana setiap tugas adalah pengingat akan hukuman yang dijatuhkan oleh orang tuanya.
Namun, ada momen-momen kecil yang mulai membuat Jenny melihat sisi lain dari kehidupannya di kampung. Ketika ia melihat hasil kerja kerasnya di kebun, ketika Raffi membantu tanpa diminta, dan ketika Bu Sari berbicara dengan penuh kasih sayang tentang tanaman dan hewan yang mereka pelihara, Jenny mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Malam harinya, setelah mandi dan makan malam, Jenny duduk sendirian di teras, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Suara jangkrik dan angin sepoi-sepoi memberikan ketenangan yang jarang ia rasakan sebelumnya. Ia berpikir tentang orang tuanya, tentang kehidupan lamanya, dan tentang hari-hari yang ia jalani di kampung ini.
"Apakah aku benar-benar bisa berubah dan belajar dari semua ini?" pikir Jenny dalam hati. "Apakah orang tuaku benar-benar tahu apa yang terbaik untukku?"
Saat ia tenggelam dalam pikirannya, Raffi datang dan duduk di sebelahnya. "Kamu kelihatan sedang banyak berpikir," katanya dengan senyum kecil.
Jenny tersenyum tipis. "Ya, aku masih mencoba memahami semuanya."
Raffi mengangguk. "Aku tahu ini sulit. Tapi kadang-kadang, hal-hal yang paling berharga dalam hidup adalah yang kita pelajari melalui kesulitan. Kamu akan menemukan caramu sendiri di sini, Jenny."
Jenny menatap Raffi, merasa sedikit lega dengan kehadirannya. "Terima kasih, Raffi. Aku berharap kamu benar."
Dengan hati yang masih bergejolak namun mulai membuka diri, Jenny merasakan sedikit harapan. Meskipun hari-hari ke depan mungkin masih akan penuh dengan tantangan, ia mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang berharga yang bisa ia pelajari dari kehidupan di Kampung Kencana Indah.
"Besok, aku akan mengajakmu jalan-jalan di kampung ini." ucap Raffi.
"Baiklah, sekalian aku juga butuh uang." jawab Jenny.
"Kau bisa bekerja bersama ibu dan ayahku di ladang atau bisa bekerja di tempatnya Arumi." sahut Raffi.
Jenny tertarik dengan tawaran yang diberikan Raffi padanya.Raffi langsung pergi ke kamarnya meninggalkan Jenny sendirian.
Gadis itu membuang napas berat, segera naik ke atas ranjang sempitnya. Dia mulai membaringkan tubuhnya di sana lalu memejamkan mata.
Keesokan hari
Hari ketiga Jenny berada di kampung Kencana Indah.Gadis ke luar dari rumah setelah sarapan bersama dengan keluarga Raffi.Saat ini dia bersama Raffi tengah berjalan kaki menuju ke rumah Arumi.
"Apa masih jauh tempatnya?" tanya Jenny dengan ketus.
"Sedikit lagi kita sampai, lagipula mulai sekarang kau harus membiasakan diri berjalan kaki.Kehidupan di kampung sangat berbeda dengan kehidupan kamu di kota." jawab Raffi setengah menyindir.
Sepanjang jalan Jenny terus mengeluh hal itu membuat Raffi jengah namun dia memilih diam.
Rumah Bercat Biru, rumah Arumi.
"Abang sudah sampai pagi pagi gini." cetus Arumi dengan senyuman sumringah.
"Iya Neng, oh ya kenalin ini Jenny dari kota." jawab Raffi.
Senyuman Arumi seketika luntur melihat sosok gadis cantik disebelah Raffi. Dengan malas dia menyapa dan mengulurkan tangannya kearah Jenny.
"Arumi."
"Aku Jenny,"jawabnya.
" Begini Rum, Jenny butuh pekerjaan dan bukankah kamu bilang masih ada pekerjaan ditoko kamu?"tanya Raffi.
"Duduk dulu bang." sahut gadis itu dengan lembut.Dia mengajak Raffi duduk di teras depan diikuti Jenny.
Jenny tentu saja jengkel dengan kelakuan Arumi, namun dia hanya bisa memaki Arumi dalam hati.