Ringkasan
Jennyta Arsellyna, seorang nona muda dari keluarga Wijaya. Dia merupakan gadis yang angkuh dan manja. Sikapnya yang suka membuang uang membuat kedua orang tuanya mengucilkan Jenny dan menarik segala fasilitas yang mereka berikan pada Jenny. Ditengah hukuman itu, Jenny bertemu dengan seorang pria pengangguran bernama Raffi. Dia harus tinggal bersama Raffi dan hidup sederhana di kampung. Akankah Jenny bisa melewati ujian itu atau justru membuat kekacauan akibat ulahnya sendiri?
Bab 1 Keras Kepala
Pada suatu sore yang cerah di vila megah keluarga Wijaya, suasana di dalam rumah kontras dengan keindahan luar. Di ruang tamu yang luas dengan dekorasi mewah dan perabotan mahal, terdengar suara ketukan pintu keras yang menandakan ketegangan yang melanda rumah tersebut. Jenny Wijaya, seorang gadis muda berusia 22 tahun dengan gaya hidup glamor dan manja, baru saja pulang dari sebuah klub malam. Gaun malam yang mahal masih melekat di tubuhnya, dan aroma parfum mahal bercampur dengan bau alkohol menyebar di sekitar dirinya. Wajahnya yang cantik terlihat kusut dan mata birunya menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah semalam suntuk berpesta.
Di ruang tamu, ayahnya, Leon Wijaya, seorang pengusaha sukses dengan penampilan yang selalu rapi dan tegas, duduk di sofa dengan ekspresi marah yang jelas terlihat di wajahnya. Di sampingnya, Alya Wijaya, ibunya yang anggun dan penuh kasih sayang, tampak cemas namun tegar. Alya memegang tangan suaminya, berusaha menenangkan Leon yang tampaknya sudah di ambang batas kesabarannya.
"Jenny, duduk!" perintah Leon dengan suara berat yang tak terbantahkan. Jenny mendengus kesal, tapi menuruti perintah ayahnya, duduk di kursi di seberang mereka.
"Apa lagi sekarang, Dad? Aku capek. Aku butuh istirahat," kata Jenny dengan nada malas dan acuh tak acuh.
Leon menghela napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Jenny, ini bukan pertama kalinya kamu pulang dalam keadaan seperti ini. Pesta, mabuk, dan menghabiskan uang seenaknya tanpa memikirkan akibatnya. Kami sudah cukup menoleransi, tapi ini harus berhenti."
Jenny memutar bola matanya. "Apa salahnya menikmati hidup? Aku muda, kaya, dan bebas. Apa kalian mau aku jadi biarawati atau apa?"
Alya, dengan suara lembut namun penuh kekhawatiran, mencoba berbicara. "Sayang, bukan itu maksud kami. Kami hanya ingin kamu lebih bertanggung jawab. Uang bukanlah segalanya, dan sikapmu yang suka berfoya-foya hanya akan membawa masalah. Kami mencintaimu dan tidak ingin melihatmu hancur karena gaya hidup yang berlebihan."
Jenny tertawa kecil, sinis. "Oh, jadi sekarang kalian mencintai aku? Cinta yang aneh, jika yang kalian lakukan hanya mengomel dan mengontrol hidupku."
Leon, yang tampaknya sudah tidak bisa lagi menahan emosinya, berdiri dan berbicara dengan nada keras. "Jenny, kamu tidak mengerti betapa kerasnya aku bekerja untuk memberikan semua ini padamu! Aku tidak mau melihatmu menghancurkan dirimu sendiri dan reputasi keluarga ini hanya karena kesenangan sesaat. Kamu harus berubah, mulai sekarang!"
Jenny juga bangkit berdiri, menatap ayahnya dengan tatapan penuh pemberontakan. "Kalian tidak bisa mengontrol hidupku selamanya! Aku akan melakukan apa yang aku mau, kapan aku mau!"
Sebelum Leon sempat merespons, Alya berdiri dan memeluk Jenny, berusaha menenangkan ketegangan. "Sayang, tolong dengarkan kami. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Berpesta bukanlah masalah, tapi lakukanlah dengan bijak dan jangan sampai merusak dirimu sendiri."
Jenny terdiam sejenak, tampak bingung antara kemarahan dan rasa sayang terhadap orang tuanya. Namun, egonya yang besar membuatnya sulit untuk langsung menerima nasihat mereka. "Baiklah, aku dengar apa yang kalian katakan. Tapi aku tetap butuh waktu untuk sendiri sekarang."
Jenny lalu berbalik dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya di ruang tamu yang masih dipenuhi ketegangan. Leon menghela napas berat dan duduk kembali, sementara Alya menatap putri mereka dengan rasa prihatin yang mendalam.
"Leon, kita harus lebih sabar. Jenny sedang mencari jati dirinya. Kita hanya perlu terus mendukung dan memberinya cinta, tanpa henti," kata Alya pelan, mencoba meyakinkan suaminya dan dirinya sendiri.
Leon hanya mengangguk pelan, berharap bahwa suatu hari Jenny akan memahami dan meresapi semua nasihat serta kasih sayang yang mereka berikan.
Jenny berjalan cepat menuju kamarnya, menyusuri koridor yang panjang dengan lukisan-lukisan mahal dan dekorasi mewah yang melambangkan kekayaan keluarganya. Pintu kamarnya yang besar dan berukir rumit ia dorong dengan keras hingga tertutup dengan bunyi yang menggema. Ia berdiri sejenak di tengah kamar, mengatur napas yang memburu karena kemarahan.
Kamar Jenny adalah sebuah ruangan luas dengan dinding berwarna pastel lembut, dipenuhi dengan perabotan elegan dan berbagai barang berharga. Tempat tidurnya berkanopi dengan tirai sutra, dipadukan dengan bantal dan selimut yang tampak sangat nyaman. Meja riasnya penuh dengan kosmetik dan parfum dari merek-merek ternama, serta berbagai perhiasan yang berkilauan di bawah cahaya lampu kristal.
Dengan gerakan cepat, Jenny melepaskan sepatu hak tingginya, lalu melemparkannya sembarangan ke pojok ruangan. Ia berjalan menuju cermin besar di sudut kamar, menatap refleksi dirinya dengan pandangan yang penuh kemarahan dan frustrasi.
“Mereka tidak mengerti apa-apa,” gumamnya sambil membuka gelang dan kalungnya, melemparkan perhiasan tersebut ke atas meja rias dengan bunyi berderak. “Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Jenny duduk di depan cermin, meraih kapas dan pembersih wajah untuk menghapus riasan malamnya. Sambil membersihkan wajahnya, pikirannya melayang ke perbincangan dengan orang tuanya tadi. Ia merasa lelah dan tertekan oleh ekspektasi mereka yang tinggi. Baginya, berpesta dan bersenang-senang adalah cara untuk melarikan diri dari tekanan tersebut.
“Kenapa mereka selalu mempermasalahkan hal ini? Aku hanya ingin menikmati hidupku,” katanya pada dirinya sendiri, suaranya mulai bergetar.
“Apa salahnya bersenang-senang? Apa salahnya merasa bebas?”
Air mata mulai mengalir di pipinya saat ia merenungi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jenny merasa seolah-olah ia hidup di dalam sangkar emas, di mana segala sesuatu terlihat sempurna dari luar tetapi penuh dengan tekanan di dalam. Ia merindukan kebebasan, namun setiap langkahnya selalu diawasi dan dikritik oleh orang tuanya.
Setelah menghapus semua riasannya, Jenny menatap wajah polosnya di cermin. Ia melihat seorang gadis muda yang sebenarnya rapuh, penuh kebingungan dan ketidakpastian tentang masa depannya. Ia merasa kesepian meskipun dikelilingi oleh kemewahan dan kekayaan.
Jenny berdiri dan berjalan menuju jendela besar di kamarnya, menyingkap tirai tebal dan membuka jendela lebar-lebar. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, memberikan sedikit rasa tenang. Ia melihat ke arah taman luas di bawah, yang tampak tenang dan indah di bawah sinar rembulan.
“Saat aku di klub, setidaknya aku bisa melupakan semua ini. Aku bisa jadi diriku sendiri, tanpa harus memikirkan apa yang mereka inginkan dariku,” bisiknya pada angin malam.
“Di sana, aku bebas. Aku bahagia.”
Jenny berdiri di sana beberapa saat, menikmati ketenangan malam dan mencoba meredakan emosinya. Namun, bayangan percakapan dengan orang tuanya terus menghantui pikirannya. Ia merasa terjebak antara keinginannya untuk bebas dan tanggung jawab yang diberikan oleh keluarganya.
“Kapan mereka akan mengerti?” tanyanya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
“Kapan mereka akan berhenti mencoba mengontrol hidupku?”
Dengan berat hati, Jenny menutup kembali jendela dan menurunkan tirai. Ia berjalan ke tempat tidurnya, membaringkan tubuhnya yang lelah di atas kasur empuk. Namun, pikirannya masih berkecamuk, membuatnya sulit untuk tertidur. Ia terus memikirkan kata-kata orang tuanya, dan bagaimana ia bisa menjalani hidup sesuai keinginannya tanpa terus menerus bentrok dengan mereka.
“Besok, aku harus cari cara untuk buktikan pada mereka. Aku harus tunjukkan kalau aku bisa bertanggung jawab dengan caraku sendiri,” pikir Jenny sebelum akhirnya matanya terpejam, berharap hari esok akan membawa jawaban dan perubahan yang ia cari.