Bab 2 Sahabat
Pada sore hari yang tenang, suasana di vila keluarga Wijaya terasa lebih damai. Burung-burung berkicau di pepohonan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga yang mekar di taman. Namun, di dalam hati Jenny, badai emosi masih bergejolak. Ia memutuskan untuk mencari ketenangan di gazebo yang terletak di ujung taman, jauh dari hiruk-pikuk rumah besar itu.
Gazebo itu terbuat dari kayu jati dengan atap jerami yang artistik, dikelilingi oleh tanaman hijau dan bunga-bunga berwarna-warni. Jenny berjalan dengan langkah gontai menyusuri jalur setapak berbatu yang menuju ke sana. Setibanya di gazebo, ia duduk di salah satu bangku kayu, memandang ke arah kolam ikan kecil yang memantulkan sinar matahari sore. Suara gemericik air dari pancuran di kolam sedikit menenangkan perasaannya, meskipun kekesalan terhadap orang tuanya masih membayangi pikirannya.
Jenny menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa marah yang terus membebani dadanya. Ia memejamkan mata, membiarkan angin sore menyapu wajahnya yang hangat. Dalam pikirannya, percakapan dengan orang tuanya tadi pagi terus terulang. Ia merasa terjebak antara cinta dan kekangan, antara kebebasan dan tanggung jawab.
"Kenapa mereka tidak bisa melihat dari sudut pandangku?" pikir Jenny sambil menggigit bibir bawahnya. "Mengapa mereka selalu melihatku sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa?"
Ia meraih sebuah buku catatan dari tas kecil yang dibawanya. Buku itu adalah tempat Jenny menuliskan perasaannya, tempat ia bisa mengungkapkan segala yang ada di hatinya tanpa merasa dihakimi. Dengan pena di tangan, ia mulai menulis, mencurahkan segala emosi yang ia rasakan.
_"Dear Diary,_
_Hari ini aku merasa sangat kesal dengan Mom dan Dad. Mereka terus-menerus mengatur hidupku seolah-olah aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Aku tahu mereka khawatir, tapi kenapa mereka tidak bisa memberiku sedikit ruang untuk bernafas?_
_Aku hanya ingin bersenang-senang, merasa bebas, menikmati hidupku. Apa salahnya? Aku lelah dengan ekspektasi mereka. Aku lelah dengan tekanan untuk selalu menjadi sempurna._
_Aku mencintai mereka, tapi kadang-kadang cinta mereka terasa seperti belenggu. Aku ingin mereka melihatku sebagai seorang dewasa, seseorang yang mampu membuat keputusan sendiri._
_Aku harus menemukan cara untuk menunjukkan pada mereka bahwa aku bisa bertanggung jawab tanpa harus kehilangan diriku sendiri._
_Cinta,_
_Jenny"_
Jenny menutup buku catatannya dan menghela napas panjang. Menulis membuatnya merasa sedikit lebih lega, seolah sebagian beban di dadanya terangkat. Ia menatap langit sore yang mulai berwarna jingga, merasa bahwa dunia di luar sana sangat luas dan penuh kemungkinan, tetapi ia masih merasa terkurung di dalam harapan dan aturan keluarganya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat dari arah rumah. Jenny menoleh dan melihat sahabatnya, Lisa, datang dengan senyum hangat. Lisa adalah teman masa kecil Jenny, satu-satunya orang yang selalu bisa memahami dan mendukungnya tanpa syarat.
"Hey, Jenny," sapa Lisa sambil duduk di sebelahnya. "Aku dengar dari staf rumah kalau kamu ada di sini. Apa kabar?"
Jenny menghela napas lagi, kali ini lebih ringan. "Hey, Lisa. Aku... tidak terlalu baik, sejujurnya."
Lisa mengangguk pelan. "Aku bisa lihat itu. Ceritakan saja apa yang terjadi?"
Jenny menceritakan semua kejadian pagi itu, tentang percakapan yang membuatnya merasa semakin jauh dari orang tuanya. Lisa mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak memotong atau menghakimi, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan.
"Jadi, mereka masih mempermasalahkan kebiasaanmu ke klub?" tanya Lisa setelah Jenny selesai bercerita.
Jenny mengangguk. "Iya, seperti biasanya. Mereka bilang mereka khawatir, tapi aku merasa mereka hanya ingin mengendalikan hidupku."
Lisa menepuk lembut bahu Jenny. "Aku mengerti, Jen. Kadang-kadang orang tua kita terlalu protektif karena mereka sangat mencintai kita. Mereka hanya tidak tahu cara lain untuk menunjukkan itu."
Jenny menatap Lisa, mencoba mencari pengertian lebih dalam dari kata-katanya. "Jadi, apa yang harus aku lakukan? Aku merasa tidak bisa bernafas dengan semua tekanan ini."
Lisa tersenyum hangat. "Mungkin kamu bisa coba bicara lagi dengan mereka, tapi kali ini dengan kepala dingin. Tunjukkan pada mereka bahwa kamu memang bisa bertanggung jawab. Kadang-kadang, kita juga perlu memberi mereka waktu untuk melihat perubahan dalam diri kita."
Jenny terdiam sejenak, merenungkan saran sahabatnya. "Mungkin kamu benar. Tapi rasanya sulit untuk bicara tanpa emosi ketika aku merasa sangat tertekan."
Lisa mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Jenny. "Aku tahu itu tidak mudah. Tapi kamu kuat, Jenny. Aku yakin kamu bisa menemukan cara untuk membuat mereka mengerti tanpa harus kehilangan dirimu sendiri."
Jenny tersenyum kecil, merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Lisa. "Terima kasih, Lisa. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
Lisa tersenyum kembali. "Itu yang sahabat lakukan, kan? Selalu ada untuk satu sama lain."
Mereka berdua duduk di gazebo, menikmati sisa sore itu dengan berbincang-bincang dan tertawa. Meskipun masalah Jenny dengan orang tuanya belum sepenuhnya terselesaikan, setidaknya ia merasa ada harapan dan dukungan dari sahabat yang selalu siap mendampinginya. Dan di bawah sinar matahari yang mulai meredup, Jenny bertekad untuk mencoba berdamai dengan orang tuanya, serta menemukan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab yang selama ini ia cari.
Setelah menghabiskan waktu yang menyenangkan di gazebo, Lisa akhirnya pamit pulang. Jenny mengantar sahabatnya sampai ke gerbang utama vila, di mana mereka saling berpelukan sebagai tanda perpisahan. Lisa menjanjikan Jenny bahwa dia akan selalu ada untuknya, tidak peduli apa pun yang terjadi.
"Jangan ragu untuk meneleponku jika kamu butuh teman bicara, Jen," kata Lisa dengan senyum hangatnya.
Jenny tersenyum, merasa beruntung memiliki sahabat sebaik Lisa. "Terima kasih, Lisa. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
Setelah Lisa pergi, Jenny kembali ke dalam mansion dengan langkah ringan. Meskipun masih ada kecemasan dan ketegangan dalam hatinya, kehadiran Lisa telah memberinya sedikit kelegaan dan harapan baru. Ia berjalan menuju ruang tamu, tempat yang sering menjadi tempat bersembunyi dan merenung baginya.
Di ruang tamu yang megah dengan perabotan mewah dan hiasan seni yang indah, Jenny merasa kesepian meskipun di sekelilingnya dipenuhi dengan kemewahan. Ia duduk di sofa yang empuk, memandang jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman vila yang indah. Suasana senja mulai menyelimuti ruangan, menambah kesan damai namun juga sepi.
Jenny memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan pikirannya yang kacau. Ia merenung tentang percakapan dengan Lisa tadi, serta saran yang diberikannya tentang cara menghadapi masalah dengan orang tuanya. Meskipun tidak mudah, Jenny menyadari bahwa ia harus mencoba bicara dengan kepala dingin, tanpa terbawa emosi.
Namun, pikirannya kembali melayang ke pertengkaran pagi itu. Ia masih merasa marah dan frustasi atas sikap orang tuanya yang terus mengontrolnya. Tetapi di tempat sepi ini, ia juga merenung tentang kata-kata Lisa, tentang kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia bisa bertanggung jawab tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Seiring waktu berlalu, suasana ruang tamu mulai semakin gelap dengan datangnya malam. Jenny bangkit dari tempat duduknya, merasa bahwa ia tidak bisa terus mencekam dalam kesedihan dan kekesalan. Ia harus mencari cara untuk menyelesaikan masalah dengan orang tuanya, untuk merestuasi hubungan yang terganggu.
Dengan langkah mantap, Jenny meninggalkan ruang tamu dan menuju ke arah tangga menuju lantai atas. Ia berencana untuk menemui orang tuanya, untuk mengungkapkan perasaannya dengan jelas dan tanpa terbawa emosi. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia siap untuk menghadapinya.
Dengan tekad yang kuat dan harapan yang baru, Jenny melangkah maju. Ia yakin bahwa meskipun ada rintangan di depannya, ia akan mampu menemukan jalan untuk berdamai dengan orang tuanya dan menjalani hidupnya sesuai dengan keinginannya.