Bab 6 Kejahilan Raffi
Keesokan hari, kini Jenny berkumpul di meja makan bersama kedua mertua dan suaminya.
"Ibu tahu kalau kamu masih terkejut dengan kejadian kemarin,nak." ucap Bu Sari pada menantunya.
"Tak perlu minta maaf Bu, kita kira siapa yang membuat gosip ini?" tanya Jenny.
"Lauknya cuma tempe dan sayur kangkung, kamu tidak apa-apa?" tanya Ayah Agus pada Jenny.
Jenny mengatakan tak apa-apa pada mertuanya.Dia ingin membuktikan jika dirinya bisa bertahan di kampung Kencana Indah. Ibu dan Ayah merasa lega melihatnya, mereka kembali makan.
tok
tok
suara ketukan pintu membuat mereka teralihkan fokusnya.Raffi lekas bangkit, berniat membuka namun Jenny melarangnya.
Gadis itu membuka pintu rumah Raffi.Dia menatap datar kearah Arumi yang datang.Tiba tiba Arumi menariknya ke luar.
Plak
"Kenapa kamu merebut bang Raffi dariku." amuk Arumi setelah menampar pipi Jenny.
Raffi dan orang tuanya tentu saja terkejut. Jenny berdecak pelan lalu mengumpat kelakuan Arumi.
"Berani beraninya lu nampar aku. " geramnya yang membalas tamparan ke pipi Arumi.
"Sekarang bang Raffi, suamiku dan aku harap kamu jaga sikap Rumi!" tegas Jenny dengan seringai miring.
Arumi tentu saja marah dan berniat membalas tamparan namun tangannya dicekal oleh Raffi.Gadis itu tentu saja marah dengan Raffi dan memukulinya.
Jenny merotasi bola matanya melihat drama yang ditunjukkan oleh Arumi padanya.Dia membuang napas berat, berusaha mengontrol emosinya.
"Jangan menyentuh bang Raffi, dia suamiku." geram Jenny menepis kasar tangan Arumi dari tubuh Raffi.
"Neng Jenny." ucap Raffi namun dihiraukan oleh Jenny. gadis itu masuk ke dalam rumah. Tak lama dia keluar sambil membawa ember berisi air.
bu Sari dan suaminya merasa awas dengan tindakan menantu mereka. Mereka terhenyak kaget kala Jenny menyiram satu ember air kearah Arumi.
byur
Kini Arumi tampak basah kuyup akibat ulah Jenny.Gadis itu tersenyum puas melihat Arumi yang tampak emosi.
"Pulang sana, mau aku viralin ke sosial media hah?" ancam Jenny.
"Awas saja kamu." ancam Arumi berlalu pergi sambil menahan malu.
Jenny mengambil embernya lalu membawanya masuk ke dalam.Raffi pamit pada ayah dan ibu, dia berniat mengajak istrinya pergi ke ladang.
Perempuan itu mengikuti langkah suaminya.Saat ini dia mengungkapkan sandal jepit seperti suruhan Raffi.
Matahari baru saja terbit ketika Jenny dan Raffi berjalan menuju ladang di pinggir desa. Udara pagi yang segar dan embun yang masih menempel di daun-daun memberikan sedikit ketenangan di tengah kebingungan yang mereka rasakan. Langit berwarna oranye muda dengan sedikit awan yang berarak pelan, menciptakan pemandangan yang indah namun kontras dengan perasaan mereka.
Jenny melangkah pelan di samping Raffi, sesekali melirik suaminya yang tampak fokus pada jalan setapak di depan mereka. Pikiran Jenny kembali melayang pada kejadian pagi tadi ketika dia, dalam kemarahan dan keputusasaan, menyiram Arumi dengan seember air. Arumi, wanita yang dianggap sebagai biang keladi semua tuduhan tak masuk akal itu, tampak terkejut dan marah. Namun, bagi Jenny, itu adalah satu-satunya cara untuk melampiaskan rasa frustrasinya.
"Jenny," suara Raffi memecah lamunan Jenny, membuatnya kembali ke realitas saat ini. "Aku tahu ini sulit bagimu. Bagaimana kalau kita fokus pada pekerjaan di ladang hari ini? Mungkin itu bisa membantu mengalihkan pikiranmu."
Jenny mengangguk pelan, tersenyum tipis. "Aku akan mencoba, bang. Aku hanya... Aku masih merasa marah dan kesal pada Arumi."
Raffi meraih tangan Jenny, menggenggamnya dengan lembut namun erat. "Aku mengerti. Tapi lupakan kejadian tadi."
Saat mereka tiba di ladang, pemandangan tanaman yang hijau dan subur menyambut mereka. Raffi mulai menunjukkan area mana yang perlu mereka kerjakan, sementara Jenny mencoba menenangkan pikirannya dengan mengamati sekeliling. Ladang ini, meskipun sederhana, memberikan sedikit pelarian dari kekacauan yang terjadi di desa.
Raffi memulai pekerjaannya, menggali tanah dan menyiapkan area untuk menanam bibit baru. Jenny, yang belum terbiasa dengan pekerjaan di ladang, mengikuti langkah-langkah yang diberikan Raffi dengan hati-hati. "Begini caranya," kata Raffi, menunjukkan cara memegang cangkul dengan benar dan bagaimana menggunakannya untuk menggemburkan tanah.
Jenny mencoba mengikuti instruksi Raffi, merasakan beratnya cangkul dan kerja keras yang dibutuhkan. Meskipun awalnya canggung, perlahan-lahan dia mulai merasa lebih percaya diri. "Ini memang melelahkan, tapi setidaknya aku bisa melupakan sejenak masalah yang ada," gumam Jenny kepada dirinya sendiri.
Sementara mereka bekerja, suara alam sekitar menjadi latar belakang yang menenangkan. Kicauan burung, gemericik air dari sungai kecil di dekat ladang, dan suara angin yang berhembus lembut di antara pepohonan memberikan rasa damai yang jarang mereka rasakan belakangan ini.
Setelah beberapa jam bekerja, mereka beristirahat di bawah pohon rindang. Raffi mengambil botol air dari tasnya dan memberikannya kepada Jenny. "Minumlah, kau pasti lelah," katanya sambil tersenyum.
Jenny menerima botol itu dan minum dengan lahap. "Terima kasih, Bang. Ini sangat membantu." Dia menyeka keringat di dahinya dan menatap langit yang semakin cerah. "Aku merasa sedikit lebih baik sekarang."
Raffi duduk di sampingnya, melihat ke arah ladang yang baru saja mereka kerjakan. "Aku senang mmendengar-nya mendukung.Sebaiknya kamu pakai pakaian santai tapi tertutup saja selama disini.
Jenny mengangguk, merasakan kehangatan dan mendengarkan nasehat dari Raffi. "Baiklah, aku akan menurutimu!"
Setelah istirahat sejenak, mereka kembali bekerja dengan semangat yang baru. Hari itu di ladang menjadi titik awal bagi mereka untuk menemukan cara baru untuk bertahan dan menghadapi semua rintangan yang ada.
Saat matahari semakin tinggi, mereka bekerja dengan tekad yang lebih kuat, menggarap ladang dengan harapan dan keberanian. Setiap cangkul yang mereka ayunkan, setiap bibit yang mereka tanam, adalah simbol dari tekad mereka untuk terus berjuang dan mencari kebebasan yang mereka dambakan. Bersama-sama, mereka siap menghadapi hari esok dengan hati yang lebih kuat dan semangat yang tak tergoyahkan.
"Oh ya bang, sejak kapan abang kenal dengan Arumi?" tanya Jenny.
"Dia teman masa kecilku, neng." jawab Raffi.
"Mungkin dia cemburu bang, setelah tahu abang menikahi aku dan makanya tadi dia marah." jawab Jenny.
"Maafkan Arumi ya neng, sikapnya pasti membuat eneng sakit hati." jawab Raffi.
"Its oke bang, aku dah biasa menghadapi perempuan seperti Arumi waktu di kota." jawabnya santai.
Raffi dengan jahil mengambil sesuatu dari tanah lalu menunjukkan pada Jenny.Gadis itu langsung histeris dan menjauh melihat hewan kecil yang mengerikan yaitu cacing.
"Geli Bang, buang sana." pekik Jenny kesal.
Raffi justru tertawa, dia mengejar istrinya dan berusaha menakuti Jenny.Perempuan itu langsung lari disekitaran ladang setelah itu pergi dari sana.
Tak lama mereka sampai dirumah, bu Sari terkejut melihat menantunya menangis.
"Jenny ada apa nak, kenapa kamu menangis?"
"Ini bu, bang Raffi menakuti aku pakai cacing." jawabnya.
"Raffi." tegur ibu pada sang anak.Raffi langsung meminta maaf pada istrinya lalu mengajak Jenny ke kamar.Bu Sari menggeleng pelan melihat kelakuan keduanya.