Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Terima kasih untuk hari ini

bab 4

Andini mengamati laki-laki muda yang menyebut dirinya Ray tadi. Laki-laki itu bertubuh tegap dengan tinggi badan sekitar 165 cm, cukup tinggi untuk ukuran dia yang tinggi badannya tak lebih dari 150 cm.

Wajahnya terlihat tegas dengan sorot mata misterius yang tak bisa dipahami oleh Andini.

"Namaku Andini," ujarnya. Dia menangkupkan tangan di dadanya, membiarkan telapak tangan laki-laki itu menggantung begitu saja di hadapannya.

Laki-laki itu mengangguk paham. Dia menarik tangannya dan menangkupkan tangan di dadanya. "Maaf, Mbak," ujarnya.

"Tidak apa-apa, Mas," sahut Andini. "Aku memang tidak biasa berjabat tangan dengan laki-laki."

"Wow ... super sekali, baru kali ini ada cewek yang menolak diajak bersalaman denganku." Dia tertawa lebar.

"Ya sudah. kamu mau kemana? Biar aku antar," tawar Ray. Dia menunjuk sebuah mobil berwarna putih yang tak jauh dari tempat duduk mereka.

Andini menggelengkan kepala.

"Sebenarnya aku mau pulang ke rumah," sahutnya. Dia memperbaiki letak duduknya, terlihat malu-malu ketika laki-laki itu mendaratkan tubuh di sampingnya.

Andini mencium bau maskulin yang menguar dari tubuh laki-laki itu. Bau itu sangat dikenalnya dan mengingatkannya kepada Zaki. Ah, lagi-lagi laki-laki itu. Laki-laki yang dibenci dan dicintainya sekaligus. Laki-laki yang membuatnya selalu ingin bersama dan bercerai sekaligus.

"Bagaimana kalau kamu aku antar saja sampai ke rumah. Sangat menyenangkan rasanya bisa ngobrol denganmu," tawar laki-laki itu.

Andini menggelengkan kepala. "Terima kasih, Mas. Aku sudah memesan ojek dan aku tidak mau membatalkan. Kasihan," ucap Andini.

Laki-laki itu kemudian mengajaknya berbicara banyak hal. Kesan pertama di mata Andini, Ray adalah laki-laki yang menyenangkan, sopan dan terlihat baik.

"Semoga aku tidak salah menilaimu, mas Ray," gumam Andini dalam hati.

"Kenapa tadi kamu menangis?" tanya Ray.

"Panjang ceritanya, Mas," sahut Andini.

"Kalau kamu memang belum siap bercerita, tidak apa-apa, tapi seandainya kamu memang ingin menceritakan sesuatu kepadaku, berceritalah. Aku siap untuk menampung segala masalahmu," ucapnya. Laki-laki itu mengambil ponsel di saku celananya.

"Bisakah kita berteman sekarang berapa nomor ponselmu?" tanya Ray.

Andini menyebut nomor ponselnya dengan ragu-ragu.

"Jangan takut, aku bukan orang jahat," ucap Ray melihat perubahan wajah wanita muda di sampingnya. "Aku hanya ingin berteman. Selama ini temanku hanya bunda. Siapa tahu nanti kita bisa menjadi teman yang baik," harapnya.

"Bunda?" tanyanya.

"Iya. Dia bunda, ibuku," jelasnya.

"Aku dan bunda seperti sahabat dekat, meskipun belakangan ini aku jarang pulang karena tuntutan pekerjaan. Bunda yang mengurusku sejak masih bayi."

"Maksudnya?" Andini mengerutkan kening. Dia tak mengerti.

"Aku hanyalah anak angkat bunda. Bunda yang menemukanku di tepi jalan. Sewaktu bayi, aku dibuang oleh seseorang, entah itu orang tua atau orang lain di tong sampah. Bunda membawaku pulang." Matanya menerawang.

"Waktu itu bunda baru saja melahirkan, tapi sayang anaknya meninggal dan kehadiranku membuat bunda kembali menemukan semangat hidup. Dia menganggap aku seperti anaknya sendiri. Iya, memang benar sih. Aku anak bunda dan bunda adalah ibu susuku." Ray mengembangkan senyumnya.

"Sekarang aku dan bunda lebih mirip sepasang sahabat. Oh, ya, kapan-kapan kalau kamu bersedia, aku akan ajak kamu bertemu bunda." Ray berbicara panjang lebar

"Terima kasih," gumam Andini.

Cerita Ray mengenai bunda mengingatkan dirinya dengan ibunya. Tiba-tiba ia merasa nyaman dengan laki-laki itu. Mungkin karena kehidupan mereka yang mirip, yaitu sama-sama tidak memiliki ayah.

Sebuah kendaraan berhenti di hadapan mereka. Andini bangkit berdiri dan menyerahkan saputangan itu kembali kepada Ray.

"Ini sapu tanganmu, Mas. Maaf ya, jadi agak kotor sekarang. Terima kasih untuk hari ini," ucap Andini.

"Tidak usah dikembalikan, Mbak. Biar saja itu untuk Mbak, sebagai kenang-kenangan." Laki-laki itu pun bangkit dari tempat duduknya kemudian segera berlalu melangkah menuju mobil yang terparkir tidak berapa jauh dari tempat duduk mereka.

Andini menatap punggung laki-laki muda itu sekilas kemudian segera menaiki motor.

"Atas nama Mbak Andini, kan?" tanyanya sembari mengulurkan helm untuk Andini.

"Iya, Mas," jawab Andini singkat.

"Tujuannya sesuai aplikasi ya, Mbak." Andini mengangguk. Sekejap kemudian mereka sudah berlalu meninggalkan tempat itu.

Sepanjang jalan, Andini berusaha untuk mencerna kembali cerita dari Roy, laki-laki yang baru saja dikenalnya. Entah benar, entah tidak. Namun, harus diakui baru kali ini ia memiliki teman bicara yang nyaman. Orang-orang yang pernah dikenalnya terlanjur memandangnya rendah lantaran ia hanya memiliki seorang ibu dalam hidupnya

Baru kali ini ia merasa tenang saat berbicara dengan seseorang. Dia merasa dianggap sebagai manusia, bukan sesosok tubuh hasil dosa orang dewasa sebelumnya.

Tak terasa dia sudah sampai di rumah. Setelah membayar ongkos ojek, dia masuk ke dalam rumah. Seorang wanita tua tengah duduk di kursi ruang tengah.

"Dari mana saja, Nak?" tegurnya.

"Bertemu Bang Zaki, Ma." Perempuan muda itu menundukkan kepala.

"Kamu masih mengharap laki-laki itu, Nak? Apa yang kamu harapkan?"

"Andini sudah tidak berharap apapun dari mana Zaki, Ma, tapi Bang Zaki tidak mau memutuskan Andini," keluhnya

"Mama harap kamu bisa berpikir secara jernih. Mama tidak ingin kamu mengalami hal-hal yang buruk. Mereka bisa melakukan apapun, karena kita ini hanya orang kecil, Nak." Ibunya menghela nafas.

"Sebenarnya Andini juga tidak mau berurusan dengan Bang Zaki, tapi dia yang selalu mengejar Andini." Perempuan muda itu mendaratkan tubuhnya disamping ibunya. Wajahnya keruh.

"Andini sudah lelah, tapi Bang Zaki tidak pernah mau mengerti. Dia masih ingin mengikat Andini. Sekarang ini status Andini sebagai istri hanya di dalam akad. Apa artinya?"

"Sebaiknya kita harus pergi jauh dari tempat ini, Nak. Mama tidak mau kamu mendapatkan masalah lagi. Lupakan Zaki, lupakan laki-laki itu," ucap ibunya.

"Lalu kita mau tinggal di mana? Kita hanya memiliki rumah ini."

"Yang penting kita harus pergi meninggalkan kota ini. Kota ini sudah tidak nyaman lagi untuk kita tinggali," kata ibunya.

Perempuan tua itu menghela napas panjang. Tersirat di dalam ucapannya, ada beban pikiran yang seakan tak tertanggungkan.

"Bagaimana dengan nasib Andini, Ma? Bang Zaki tidak mau menceraikan Andini."

"Nanti kita pikirkan belakangan. Insya Allah pasti akan ada solusinya. Percayalah, Andini. Menjauhi laki-laki itu dan keluarganya adalah solusi yang terbaik untuk saat ini," ujar ibunya.

"Sekarang kemasi barang-barangmu. Besok kita harus pergi meninggalkan kota ini."

"Bagaimana dengan rumah ini, Mama?"tanya Andini.

"Mama akan menjualnya. Untuk sementara, biarlah kita kosongkan dulu." ucap ibunya.

"Lagi pula sudah saatnya kita memulai hidup baru, terlepas dari gunjingan orang-orang yang selama ini tidak menyukai kehadiran kita di sini." perempuan tua itu menghela nafasnya

Andini bergerak membuka pintu kamar. Dia menghela nafas sembari menatap ruangan yang sempit itu. Dari sejak kecil ia menempati ruangan ini. Tak ada yang berubah. Meskipun sederhana, tetapi betapa banyak kenangan yang ada dan tersimpan di ruangan ini. Ada perasaan tidak rela di hatinya. Akan tetapi, dia tak akan membantah keinginan sang ibunda untuk segera pindah dari tempat ini. Andini berpikir pasti ibunya telah mempertimbangkan semua ini secara matang. Mungkin ibunya memang ingin hidup lebih tenang menikmati hari-hari tuanya.

"Ya, sudahlah," keluh perempuan muda itu. Dia mengambil tas besar dan segera mengisinya dengan pakaian dan perlengkapan pribadinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel