Pustaka
Bahasa Indonesia

Terjerat Pernikahan Siri

65.0K · Ongoing
Jannah Zein
72
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Jika sebuah pernikahan hanya di jadikan sebagai sarana untuk menguasai seorang wanita, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan seorang Andini yang berjuang untuk mendapatkan kata cerai dari seorang laki-laki yang menikahinya secara rahasia, sedangkan sang suami bersikukuh untuk tidak akan pernah menceraikannya dengan syarat dan tebusan apapun? Akankah kata cerai itu bisa ia dapatkan? Ataukah ia malah semakin terpuruk di dalam penjara pernikahan atas nama cinta? Mungkinkah ada solusi lain untuk Andini?

PerceraianRomansaMetropolitanPernikahanIstriLove after Marriage

Apa artinya cinta

Bab 1

Andini meremas tisu di tangannya. Sepasang netranya menatap sang suami yang balas menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Ah, laki-laki itu sungguh egois. Sudah sekian lama ia menunggu pertemuan seperti ini untuk membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Akan tetapi, Zaki tampak begitu tenang dan tak tergoyahkan.

"Sudah Adek katakan sejak awal, kalau memang orang tua Abang tidak suka dengan Adek, lebih baik ceraikan Adek. Beres masalah. Kita tidak perlu berurusan dengan keluarga Abang lagi dan Adek tidak perlu di hina terus." Andini menghela nafas. Bibirnya bergetar.

"Abang tidak bisa menceraikan kamu, Sayang. Abang masih sangat mencintaimu."

"Apa artinya cinta kalau hanya membuat luka? Apa artinya hubungan kita, kalau tak ada kebersamaan di antara kita. Sekarang kita masih suami istri, tapi hanya status!" Andini tak bisa menahan tangis. Bulir-bulir bening itu lolos begitu saja dari mulutnya.

"Apakah di namakan cinta kalau tak ada perjuangan Abang untuk membuat kita bersama?"

"Abang hanya ingin memilikimu, Dek. Abang tak sanggup kehilangan Adek."

"Selama ini kita tinggal terpisah, Bang. Adek tak kuat kalau begini terus menerus. Andini istri Abang, tapi statusnya seperti selingkuhan."

Zaki menghembuskan nafasnya. Berat sekali. Di tatapnya kembali sang istri yang masih terisak di hadapannya. Tangannya bergerak menyentuh pipi yang basah itu dan mulai menyapu air matanya. Ingin rasanya ia memeluk wanita berparas ayu itu. Sayang, ini adalah tempat umum.

"Abang harap, Adek lebih bersabar. Abang pun ingin kita seperti orang lain. Hidup bersama layaknya suami istri normal. Abang akan berusaha agar keluarga Abang menerima kehadiran Adek,"

Andini tertawa hambar.

"Sampai kiamat pun mereka tak akan menerima Adek. Mereka tak akan menerima Adek yang tak jelas asal usulnya. Adek yang tak memiliki Ayah. Adek yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah. Bahkan saat nikah dengan Abang pun, terpaksa harus memakai wali hakim." Andini kembali terisak.

"Mereka akan menerima Adek pada saatnya. Sabarlah, Sayang," sahut Zaki.

"Adek lelah, Bang. Adek ingin mengakhiri hubungan serba tidak jelas ini. Ceraikan Adek, Bang."

"Sudah Abang bilang, Abang tidak akan menceraikan kamu!" Suara Zaki meninggi.

"Adek terlalu mudah menyerah. Kita baru beberapa tahun menikah dan Adek sudah minta cerai?!"

"Beberapa tahun itu waktu yang lama, Bang. Adek sudah lelah dengan semuanya."

"Abang akan ada dan menjadi tempat menyandarkan dari rasa lelahmu, Sayang," bisiknya. Dia mengecup punggung tangan Andini.

Andini terdiam. Matanya kosong menatap seraut wajah tampan di depannya.

"Kita sudah sering membahas ini, kan? Kita terima dulu keadaan kita seperti ini," kata Zaki. Ekor matanya melirik ke sebuah sudut ruangan.

Zaki mengumpat dalam hati saat mengetahui sesosok tubuh tengah duduk di sudut ruangan kafe. Ia mengenali siapa laki-laki itu. Meskipun wajahnya di samarkan dengan topi lebar dan koran yang pura-pura di bacanya. Laki-laki itu adalah orang suruhan ibunya yang memang bertugas memata-matai dirinya.

"Jangan lagi Adek mengucapkan kata-kata itu pada Abang. Itu sangat menyakitkan. Abang tak akan menceraikan kamu. Kamu adalah milik Abang selamanya. Paham?"

"Adek butuh kejelasan status Ade."

"Adek adalah istri Abang. Sah menurut agama. Apa itu masih kurang jelas?!"

*****

Bukan ini yang Andini inginkan. Sungguh bukan seperti ini yang ia harapkan dari Zaki. Mereka memang menikah dan ia adalah istri Zaki yang sah. Akan tetapi, buat apa?

Selama beberapa tahun usia pernikahan, mereka hanya bisa bertemu beberapa kali. Itupun sangat terbatas. Mereka harus rela main kucing-kucingan dengan keluarga Zaki yang memang sejak awal menentang keras hubungan mereka.

"Setidaknya kita bisa menghalalkan hubungan kita, Adek. Itu sudah merupakan sebuah kemajuan. Nanti pelan-pelan kita coba untuk melunakkan hati mama." Zaki mencoba membujuk istrinya.

"Kalau harus menunggu sampai mendapat restu mama, mau sampai kapan? Memangnya kamu mau hamil duluan sebelum nikah? Abang tidak menjamin lo, bisa menahan diri secara terus-menerus. Abang ini lelaki normal, Sayang ...."

Zaki mendesah kasar. Belum saatnya Andini mengetahui perseteruan antara dirinya dan kedua orangtuanya. Papa dan mamanya sama saja, sama-sama memiliki kepentingan terhadap dirinya, meskipun dengan cara berbeda.

"Dan Andini tak perlu tahu itu," batinnya. Sebelah tangannya terulur mengelus kepala perempuan itu.

Andini semakin terisak. Sepanjang perjalanannya menuju rumah, ia tak henti menyusut air matanya. Duduk berdampingan satu mobil dengan Zaki membuat dadanya begitu sesak.

Sejenak ia melirik Zaki. Laki-laki itu tengah fokus menatap jalanan di depannya. Akhirnya ia pun mengalihkan pandangan kepada kendaraan yang hilir mudik di sepanjang jalan.

Andini mengerutkan kening saat ia menyadari mobil Zaki tidak sedang berjalan di jalan menuju rumahnya.

"Bang, berhenti dulu!" teriak Andini.

Tiit..

Zaki menginjak rem lalu menepikan mobilnya di tepi jalan.

"Bang, ini bukan jalan menuju rumah Adek, kan?"

"Iya, Sayang. Kita jalan-jalan dulu ya. Mampung bisa ketemu dengan Adek."

"Adek takut, Bang." Matanya liar menatap ke luar jendela mobil.

"Adek takut orang-orang itu mengikuti kita seperti di kafe tadi."

Bukan cuma Zaki saja yang menyadari bahwa dia sedang di awasi. Andini pun tahu kalau gerak-gerik dia selama ini di pantau oleh orang-orang suruhan dari keluarga Zaki.

"Biarkan saja mereka memata-matai kita. Abang hanya ingin bersama Adek saat ini." Zaki kembali menghidupkan mesin mobil.

Mobil kembali meluncur di jalanan. Zaki nampak tenang dan fokus mengemudikan mobilnya. Berbanding terbalik dengan Andini yang gusar dengan tingkah suaminya.

"Bang, sebenarnya kita kemana sih?" tanya Andini. Perempuan itu tampak berusaha menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan mereka.

"Ke hotel, Sayang. Memangnya kamu tidak kangen dengan Abang? Hmmm ...."